Setelah menikah aku jadi sering ditanyain soal susah atau nggaknya menikah dengan Warga Negara Asing. Well, dulu aku juga gitu, ---penasaran. Karena katanya sih ribet, jadi pas diajakin nikah langsung "malas" duluan, hahaha. Tapi kenyataan itu mitos, namanya menikah pasti ada prosesnya. Ribet ya kalau dibikin ribet, kalau kita mengikuti aturan sebenarnya ringan-ringan saja, kok.
Sebelum pergi ke KUA :) |
Aku dan Shane hanya melalui proses pacaran yang sebentar. Begitu kami saling suka dia langsung memutuskan untuk pindah ke Indonesia dan mengajak menikah. Semenjak itu aku langsung googling dan tanya-tanya sama teman-teman yang menikah dengan WNA tentang bagaimana prosesnya. Hampir semuanya menjawab, "Ribet dan banyak biaya ini itu!" Untung saja aku bisa mengalahkan rasa "malas menikah", dan setelah dijalani akhirnya membuktikan kalau menikah itu mudah dan murah, ---sekalipun dengan WNA. Mungkin ada yang berpikir, "Ah, murah ya karena lo punya duit atau orangtua lo kaya!" Eits, jangan berprasangka dulu, Ferguso! Kami menikah dengan biaya sendiri (baca: Shane). Dan FYI, aku dan Shane masih muda, penghasilan kami belum banyak. Jadi silakan simpulkan sendiri pernyataanku ini :) Aku share proses pernikahan kami di sini juga semata-mata untuk menyimpan kenangan, dan siapa tahu bermanfaat. Karena aku yakin, I'm not the only one yang mikir-mikir dulu untuk menikah karena takut ribet, hehehe.
Membuat CNI
Jujur aku sempat nangis semalaman karena aku malaaaaas sekali kalau harus dealing dengan segala keribetan yang konon katanya bakal terjadi. Eh, bukan murni malas sih. Tapi juga karena ada perasaan nggak enak, takutnya saking ribetnya aku jadi harus minta bantuan ortu buat nyupir karena harus bolak-balik ke sana-sini. Sampai akhirnya aku putuskan untuk stop googling dan berjanji untuk cari tahu sendiri. Aku tanya lagi sama Shane, apa dia yakin untuk menikah karena selama pengalaman aku berpacaran (ecieeeeh, lol) baru kali ini ada laki-laki yang langsung mengajak menikah di hari pertama berpacaran. Dengan mantap Shane menjawab kalau dia nggak mau mundur dan bakal menjalani segala prosesnya. Jawabannya ini semakin membuatku semangat, screw yang bilang ribet, aku nggak takut, hehehe :p Langkah pertama aku dan Shane datang ke KUA terdekat dan bertanya tentang persyaratan menikah. Meski sudah tahu dari hasil googling sebelumnya, tapi kami pura-pura polos supaya mensugesti kalau kami nggak perlu takut, hehe.
Kami nggak lama-lama di sana, petugasnya hanya memberi kami catatan yang ditulis tangan. Isinya ternyata hanya persyaratan menikah standar. Alias sama seperti menikah dengan WNI. Bedanya setelah itu kami diminta untuk membuat surat izin menikah dulu dari negara Shane (Amerika), baru setelah itu kembali lagi. "Gitu doang?" batinku sambil cengengesan (dalam hati, lol). Meski Shane nggak bawa surat-suratnya ke Indonesia, tapi semua bisa dalam bentuk scan/foto. Jadi dia minta ibunya untuk mengirimkan akta kelahiran, dll via email. Sedangkan untuk izin menikah ternyata maksudnya CNI atau Certificate of No Impediment. Untuk mendapatkannya harus ke kedutaan negara calon mempelai WNA. Nggak menunggu lama kami langsung menghubungi kedutaan via telepon dan akhirnya bertukar pesan di email. Yang perlu datang hanya Shane saja, dan dia mendapat jadwal 2 minggu setelah bertukar pesan. Hanya perlu membawa passport, akta kelahiran dan biaya sekitar Rp.400.000 (aku lupa tepatnya).
Meski aku nggak diperlukan, tapi aku tetap ikut ke kedutaan Amerika di Jl. Medan Merdeka Jakarta. Alasannya? Ya, kepengen saja daripada di rumah sendirian, hehehe. Padahal aku sudah tahu kalau nggak boleh masuk, tapi siapa tahu bisa jajan-jajan di sana. Di luar dugaan lalu lintas sangat lancar, jadi perjalanan Bandung-Jakarta pun sangat cepat sehingga kami tiba jauuuuh lebih awal dari waktu perjanjian. Bersyukur Shane langsung diizinkan masuk. Meski sayang impianku untuk berkuliner gagal karena lokasi kedutaannya nggak asyik, ---tempat parkir jauh dan cuaca sedang panaaaas sekali. Untung saja 15 menit kemudian Shane keluar, kalau nggak, mungkin aku bisa pingsan dehidrasi di trotoar kedutaan, hehehe. Dan... that's it! CNI sudah didapat. Cepat sekali, dan no drama seperti yang orang pernah bilang pada kami :)
Terjemahkan Dokumen ke Bahasa Indonesia
CNI selesai kami pun kembali ke KUA. Siap menikah ceritanya (ciee cieee...). Tapi ternyata pihak KUA minta agar CNI dan akta kelahiran Shane diterjemahkan dulu ke Bahasa Indonesia (meski sebenarnya CNI sudah bilingual). Kami disarankan untuk kembali lagi ke kedutaan karena penerjemahnya harus yang tertunjuk, nggak bisa sembarangan. Tentu kami nggak menurut begitu saja. Untuk urusan ini kami mencoba mencari penerjemah tersumpah di daerah Bandung, dan ternyata... bisa! Biayanya pun murah sekali, untuk 2 halaman nggak lebih dari Rp. 200.000. Dan God bless abang Gojek, kami nggak perlu datang karena dokumen bisa dikirim via email dan diambil oleh Gojek! ;)
Prosesnya cepat sekali, hanya 3 hari itupun karena terpotong weekend. Kalau hari biasa sepertinya bisa sehari saja. Oh iya berhubung yang diterjemahkan itu literally semuanya, jadi aku harus pastikan waktu scan kertasnya nggak terpotong. Karena sampai tulisan yang sekecil kuman pun harus terbaca, hehehe.
Mencari Cincin dan Baju
Aku ingin pernikahan yang sederhana. Sejak awal sudah bilang sama Shane bahwa aku nggak mau dirias ataupun pakai baju yang ribet. Aku ingin momentnya indah dan santai, jadi semua pihak bisa menikmati suasana dan nggak ada "jarak". Syukurlah Shane setuju, dan ternyata pernikahan impian dia juga seperti itu. Karena sudah satu ide, jadi kami pun mengesampingkan soal baju dan lebih mendahulukan cincin. Alasannya karena untuk baju nggak perlu waktu lama untuk dipersiapkan, ---kalau mau pun kami bisa saja pakai baju yang sudah ada. Tapi kalau cincin pasti butuh waktu karena size jariku memang agak besar. Jadwal menikah di KUA sudah dapat, dan jaraknya 5 hari dari pemesanan cincin. Mepet? Nggak juga. Asalkan sudah tahu mana cincin yang dipilih, waktu penyesuaian ukuran cincin sebenarnya cepat, kok.
Kami beli cincin di dua tempat berbeda. Untuk Shane, karena dia hanya mau yang modelnya simple tanpa aksesoris tambahan, kami mencari di sepanjang Jl. Otista Bandung. Di sana banyak sekali toko emas, jadi kalau pun di toko pertama nggak ada yang cocok kami bisa cari di tempat lain. Baru 2 tempat kami datangi, Shane sudah langsung menjatuhkan pilihan. Sedangkan untukku, kami mencari di mall. Tepatnya di Frank & Co Trans Studio Bandung. Dan sama seperti Shane, aku pun nggak perlu waktu lama untuk jatuh hati dengan salah satu cincin di sana. Pilihan jatuh ke diamond ring yang menurutku cantik tapi tetap sederhana. Karena size aku nggak ada, cincin baru akan siap satu hari sebelum hari pernikahan kami.
Cincinku dan Shane. Sederhana dan cantik :) |
Dress yang kudapat di mall, tepatnya di Metro TSM. Last minute, semalam sebelum nikah kami belinya xD |
Ketika cincinku selesai, nggak sabar rasanya mau langsung dipakai. Tapi tentu belum boleh dong, hehehe. Sekalian Shane juga membelikan mahkota bunga dan dress batik untuk hari istimewa kami. Beberapa hari sebelumnya padahal Shane sudah membelikan dress, lho. Tapi tiba-tiba saja dia melihat yang menurutnya lebih bagus. Menurut kami menikah nggak harus pakai "baju khusus". Yang penting nyaman, bersih dan sopan. Sempat aku ajak berkeliling mall tapi Shane tetap teguh dengan keputusannya memakai kemeja batik yang sudah dia punya sejak beberapa bulan lalu. Kebetulan memang belum sempat dipakai. Dan waktu dilihat-lihat... ternyata match dengan dressku! :)
The Day
Kami menikah tanggal 26 Oktober 2018. Jujur, kami nggak memilih tanggal karena percaya kalau semua hari itu baik. Waktu Shane memberi tahu ibunya beliau langsung terharu. Ternyata tanggal dan bulannya sama persis dengan pernikahan pertamanya (---dengan ayah kandung Shane), dan juga pernikahan orangtuanya, aww! :D
Kabar pernikahanku dan Shane membuat beberapa pihak terkejut, tapi juga berbahagia. Sengaja kami memberi kabar pada teman-teman dan kerabat yang nggak terlalu dekat beberapa hari setelahnya agar prosesi berlangsung khidmat. Jadi yang hadir ketika itu hanya orangtua, nenek, dan beberapa om dan tante. Sedangkan ibu mertua datang setelahnya karena menyesuaikan dengan hari libur beliau.
Meski aku belum pernah menghadiri prosesi pernikahan orang lain, tapi sepertinya nggak ada bedanya antara WNI dengan WNA. Pukul 7 pagi aku bangunkan Shane untuk bersiap (---dia masih tidur di kamar atas karena belum sah, hehehe) dan sehabis sarapan kami mandi lalu berangkat ke KUA bersama keluarga. Di sana dilakukan proses ijab kabul dan setelahnya kami langsung mendapatkan buku nikah. Ada istilah "sebaiknya kalau ada yang berniat baik jangan dipersulit", dan itu nyatanya benar. Daripada berijab kabul dengan Bahasa Indonesia yang mana Shane nggak mengerti, kami memilih menggunakan Bahasa Inggris. Alasannya agar dia benar-benar paham apa yang dia ucapkan dan juga paham makna dari pernikahan. Jadi bukan hanya dengan membaca catatan di kertas lalu semua orang berkata "sah" padahal kurang menjiwai. Penghulu juga memberikan wejangan dengan 2 bahasa, Indonesia dan Inggris. Termasuk dalam versi tertulis agar bisa dibaca-baca lagi. Karena "sederhana" bukan berarti main-main. Aku nggak mau kami hanya sekedar mengejar buku nikah sementara prosesinya hanya asal lewat.
Bapak gak bisa menahan tawa melihat kami yang berusaha serius :D |
Hore sudah sah! :D |
Dan begitulah, kami sah menjadi pasangan suami istri. Sepanjang hidupku inilah moment terindah yang aku alami. Semuanya terasa soooo beautiful :) Yang agak menggangu keindahan hanya satu sebenarnya. Kami sempat mengalami pungli di KUA dengan jumlah 2 juta rupiah. Tapi no worry, uang Shane sudah kembali karena aku langsung melaporkan ke akun Instagram KUA. Dan no hurt feeling, ---kami sudah saling bermaafan. Semoga jangan terulang lagi, ya. Karena zaman sudah modern, jadi kalau ada pungli tinggal dilaporkan saja. Dan kalau benar kenapa harus takut ;) As simple as that!
***
Kalau dihitung harinya proses pengurusan pernikahan kami sebenarnya malah lebih singkat dibanding sepupu-sepupuku yang menikah lebih dulu (dengan WNI). Aku sangat sangat sangat bersyukur karena memutuskan untuk mencari tahu sendiri daripada mendengar apa kata orang. Aku juga bersyukur karena nggak merepotkan orangtua selama proses. ---I know, namanya ortu pasti akan senang kalau dimintai bantuan untuk pernikahan anaknya. Tapi aku ingin Ibu dan Bapak kebagian happy nya saja, duduk manis menyaksikan pernikahan kami tanpa harus pusing masalah CNI dan KUA :) Aku juga salut dengan Shane yang berusaha sekeras mungkin agar aku (juga keluarga) nggak mengeluarkan biaya sepeserpun. Bahkan untuk yang seharusnya bagianku (---akan aku ceritakan nanti), dia tetap nggak mau menerima sepeser pun. Bless his heart :)
Aku harap tulisan ini membantu siapa pun yang ragu menikah karena takut ribet dan khawatir masalah biaya. Pernikahan aku dan Shane adalah bukti kalau menikah dengan Warga Negara Asing itu nggak seseram yang orang-orang bilang. Menurut pengalaman kami apa yang membuat lama dan ribet itu justru kalau mempelai nggak siap. Ya, kalau hal kecil seperti akta kelahiran saja nggak ada bagaimana mau lancar? :p Untuk biaya pun jika apa-apa diurus sendiri, tanpa harus melalui pelantara sebenarnya sangat murah. Dan jangan lupa, menikah di KUA itu gratis terkecuali jika weekend atau dilaksanakan di lain tempat. Itu pun hanya dikenai biaya Rp. 600.000. Juga termasuk jika pasangan kita mualaf lho, ya. Jangan mau bayar, karena agama itu bukan untuk dijual belikan.
Jadi kalau ada di antara kalian yang membaca tulisan ini dan punya pacar WNA tapi belum mengajak/mau diajak menikah dengan alasan ribet dan mahal, tunjukkan saja tulisan ini. Kalau sudah ditunjukkan tapi masih nggak mau juga padahal katanya serius... wah, hati-hati! *becanda :p
Ciuman pertama kami sebagai sepasang suami istri. Deg-degan banget :’D |
Makan-makan sebelum hari pernikahan dengan Ibu dan Bapak. |
yang nama belakangnya jadi dua,
Indi
------------------------------------------------------------------------
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com