Siang ini terik sekali. Pohon-pohon dan bunga-bunga yang ditanam oleh Ibu di halaman rumah ternyata masih kalah oleh matahari yang nampaknya sedang happy karena sinarnya berseri-seri sekali, hehehe. Kalau sudah begini aku jadi membayangkan teh manis dingin yang dicampur sedikit susu. Yumm, pasti nikmat sekali membasahi tenggorokanku yang kering. Eh... tapi jangan dulu, aku sedang puasa, ---harus tunggu dulu sampai adzan magrib berkumandang :D Kalau suasananya seperti ini aku jadi ingat waktu kecil, waktu belajar puasa. Can’t believe how time flies... Sekarang hatiku bisa dengan mantap mengingatkan agar aku menahan diri. Tapi kalau dulu... jangankan hati, diingatkan Ibu pun pertahananku tetap goyah, hahaha.
Ibu dan Bapak nggak pernah memaksakanku untuk berpuasa. Mereka memastikan aku mengerti dengan maknanya sebelum ikut-ikutan menahan haus dan lapar. “Kalau datangnya bukan dari hati, ---hanya karena ikut-ikutan,--- bisa puasa sampai magrib pun itu percuma,” begitu kata Bapak. Jadi waktu teman-teman sudah mulai puasa, aku dulu cuek saja makan es krim di tengah hari. Aku baru mengerti makna puasa di usia 9 tahun, itu pun sebatas penjelasan sederhana dari Ibu. “Kita berpuasa agar selalu ingat bahwa Tuhan sayang sama kita, Indi. Kita beruntung, diberi rezeki untuk makan 3 kali sehari. Satu bulan dalam satu tahun saja kita harus menjalankan ini, sementara ada orang lain yang hanya makan 1 kali sehari, ---meskipun sedang nggak berpuasa.” Sejak saat itulah aku mulai berlatih berpuasa, dimulai saat sahur dan berbuka ketika adzan dzuhur berkumandang.
Meskipun sudah mulai mengerti dengan makna puasa, pada kenyataannya aku masih sering tergoda. Baru jam 9 pagi perutku sudah bunyi dan mengeluh lapar pada Ibu. Biasanya beliau langsung mengalihkan perhatianku dengan mengajak beraktivitas, seperti menonton televisi atau bermain di luar. Tapi tentu saja itu nggak bisa dilakukan setiap hari karena selain sebagai ibu rumah tangga beliau juga seorang wanita karir. Meskipun letak kantornya nggak jauh-jauh, sih, masih di dalam rumah, hehehe. Ibu mempunyai butik yang dikelola sendiri setelah sebelumnya pernah bekerja di sebuah perusahaan. Beliau ingin tetap dekat dengan keluarganya tapi juga nggak meninggalkan hobi mendesain pakaiannya. Maka dengan bantuan Bapak dirombaklah ruang tamu kami menjadi sebuah butik mungil :)
Bagian rumah yang disulap menjadi butik mungil Ibu :) |
Jika Ibu sedang bekerja terkadang aku bertemu dengan beberapa pelanggannya. Maklum letak butik yang berdekatan dengan ruang TV membuatku sering lalu-lalang di sana. Rata-rata pelanggan Ibu adalah para ibu muda, dengan anak yang usianya nggak jauh denganku. Mungkin karena itulah mereka sangat baik padaku. Pernah suatu kali aku sangat-sangat-sangaaaaat haus, padahal baru jam 10 pagi. Dengan wajah lesu aku masuk ke butik Ibu dan langsung duduk di sofa, ---tanpa melihat kalau sedang ada tamu di sana. Tamu Ibu, yang ternyata orangtua dari teman sekelasku langsung menatapku khawatir dan bertanya mengapa aku kelihatan lesu. Secara spontan aku menjawab, “Aku haus” yang rupanya terdengar sangat memilukan, hahaha. Singkat cerita, tamu Ibu tersebut tahu bahwa aku sedang berlatih puasa. Segera aku dihujani oleh pujian, katanya aku hebat karena putranya hanya berpuasa sampai jam 9 saja. Ia berkata pada Ibu bahwa lebih baik aku nggak perlu ikut berpuasa dulu. “Kasihan, lihat wajahnya sampai pucat,” begitu katanya. Mungkin karena merasa nggak enak dengan tamunya, Ibu pun mengizinkanku untuk berbuka puasa.
Little Indi :) |
Ide nakal pun muncul di kepalaku. Hari-hari setelahnya setiap kali merasa mulai haus atau lapar, aku masuk ke butik Ibu sambil memasang wajah lesu. Bisa ditebak, tamu-tamu Ibu langsung memberika tatapan simpatik, bahkan nggak jarang ada yang memberikanku macam-macam jajanan. Aku yakin perasaan Ibu pasti bercampur aduk, antara bangga karena anaknya dibanjiri pujian, tapi juga jengkel karena aku memanfaatkan bakat acting untuk menarik simpatik, hehehe. Alhasil puasaku banyak yang bolong. Tapi Ibu nggak pernah menegur apalagi memarahi, beliau hanya mengingatkan bahwa Tuhan selalu tahu kalau aku pura-pura lapar atau bersungguh-sungguh.
Sampai sekarang Ibu masih mengingat dengan jelas apa yang dulu aku suka lakukan di butiknya. Kadang-kadang beliau bercerita tentang ini pada kerabat atau saudara-saudaranya, ---well, sepertinya Ibu menganggap ini kenangan yang lucu. Aku pun terkadang menggoda Ibu dengan berpura-pura haus atau lapar ketika beliau sedang bekerja. Tapi tentu saja nggak di depan tamu-tamunya, hehehe. Mengingat masa kecil memang terkadang bikin aku “nggak percaya” dengan kelakuan Little Indi dulu. Tapi aku beruntung karena Ibu dan Bapak selalu memperlakukanku sebagai anak-anak, nggak memaksaku untuk melakukan sesuatu kecuali jika aku sudah mengerti tujuannya. Aku beruntung karena begitu dekat dengan mereka sehingga berani untuk bilang secara langsung alih-alih makan atau minum secara diam-diam di belakang mereka.
Ah, matahari nampaknya masih belum mau sembunyi. Lebih baik akh masuk dulu ke dalam rumah sebelum sinarnya membuatku teringat kembali dengan es teh manis, hehehe (ups, becanda). Hmm, kira-kira di dalam Ibu sedang apa, ya? Kalau sedang di butik sepertinya ini waktu yang tepat untuk mengasah bakat beractingku dengan memasang wajah lesu dan berkata, “Bu... aku lapaaaaaaaar.” :D
(not so) little indi (anymore),
Indi
______________________________