Minggu, 30 Desember 2018

Singapore Trip: Happy Tapi Kok Minta Pulang?

Hah? Sudah malam tahun baru saja besok :O Time does flies, ya... Rasanya kayak baru kemarin aku asyik edit-edit novel kelima, eh tahu-tahu saja sudah mau berganti tahun. Jujur saja rasanya aku kurang produktif di tahun 2018. Bukan karena 100% malas sih, tapi ada beberapa hal yang berubah dan "mengeluarkan" aku dari zona nyaman, ---yang bikin harus adaptasi dari awal. Kalau saja bisa kembalikan waktu, aku mau. Tapi ini kan dunia nyata bukan The Twilight Zone, hehehe. Jadi daripada disesali lebih baik sih diperbaiki. I'm gonna be a better me. Amen! :) 
Dari sekian hal yang membuat aku "keluar dari zona nyaman" ada satu hal yang sama sekali nggak aku sesali alias nggak mau ganti dengan apapun. Ada yang bisa tebak apa? Well, kalau sempat baca post ku yang kemarin-kemarin pasti tahu. ---Aku punya suami! Selain keinginan dari diri sendiri, dialah yang membantuku pelan-pelan kembali ke track yang benar. Aku bersyukur dia, ---Shane, nggak memaksakan agar aku bisa kembali produktif secara instan, malah kemarin kami sempat jalan-jalan singkat ke Singapore untuk berlibur sekaligus me-restart tubuhku :)


Ide jalan-jalan ini sebetulnya nggak seluruhnya ide suami. Dia memang berencana mengajakku ke Singapore untuk suatu keperluan, tapi lalu Ibu Mertua punya ide agar aku juga bisa bersenang-senang di sana. "Hadiah natal untuk Indi", begitu katanya. Ya sudah yang tadinya aku hanya membawa piyama banyak-banyak (karena niatnya mau stay di hotel saja, hehehe), jadi ditambah beberapa dress deh biar kece :p By the way, ada yang ingat dengan cerita liburanku sebelum ini kah? Nah, setelah pengalaman yang sampai sekarang meninggalkan trauma itu aku jadi wanti-wanti sama Shane untuk membaca baik-baik dulu review hotel tempat kami menginap nanti. Jangan sampai foto-foto di situsnya bagus tapi setelah sampai ternyata jauh berbeda. Aku sih lebih percaya apa kata pelanggan daripada kata situs karena bisa saja dimanis-manisin. Syarat yang kuminta juga nggak muluk-muluk, asal bersih, wifi kenceng, ada bathup, dan bakal nilai plus kalau ada hair dryer karena aku malas bawa tas berat-berat. Maklum dari zaman masih bocah tas travelingku cuma satu dan ukurannya nggak besar-besar amat, hehehe. Akhirnya setelah Shane punya 3 kandidat hotel dia nemu juga hotel yang pas. Keesokan paginya kami langsung terbang ke Singapore, deh :)

Kami terbang dari Bandung dengan menggunakan pesawat Air Asia. Nggak sempat sarapan dan waktu tiba sudah pas-pasan dengan waktu boarding. Sebenarnya ada sih waktu sedikit, tapi kami sempat ditanya-tanya dulu sama petugas imigrasi karena Shane over stayed beberapa hari. Iya, meski kami sudah menikah suamiku masih pakai visa on arrival, jadi hanya berlaku 30 hari. Dan dia sudah tinggal di sini selama 7 bulan, ---jadi coba hitung saja berapa kali dia harus meninggalkan Indonesia setiap bulan agar bisa bersamaku. Saking seringnya Bandung-Singapore-Bandung jadi terasa seperti ke mall saja, karena berangkat pagi sorenya sudah di Bandung lagi. Awalnya rasanya sih kasihan, kok demi pacar begini amat. Tapi sekarang aku malah merasa wajar, you need to fight for love, benar nggak? :) 
Setelah selesai dengan urusan imigrasi (---yang menurut Shane petugasnya flirting sama aku karena kami disangka temenan, bhahahahaaaa) penerbangan berjalan lancar. Nggak sempat tidur sih karena perut lapar dan menu di pesawat nggak ada yang vegan friendly. Tapi mood kami baik sekali, sepanjang perjalanan ngobrol terus dan main cilukba dengan penumpang cilik yang duduk di depan kami, hehehe.


Setiba di Changi airport kami nggak langsung ke hotel tapi cari makan dulu. Sekalian Shane juga ajak aku berkeliling karena airport ini sudah jadi "tempat tinggal" keduanya selama 7 bulan terakhir (aww...). Pilihanku nggak jauh-jauh sama Nasi Padang. Paling aman deh, soalnya ada menu perkedel sama terong dan nasinya segunung jadi dijamin kenyang dan vegan (eh tapi nggak tahu ya kalau ternyata perkedelnya pakai egg wash T_T). Selesai makan kami duduk-duduk sambil main ukulele. Mau menginjakkan kaki ke luar rasanya malaaaaas banget, soalnya matahari lagi terik-teriknya. Jadi kami santai dulu sambil menunggu waktu check in hotel. Ini nih salah satu alasan kenapa aku cinta sama Shane, kami sama-sama malas panas-panasan, hehehe. Oh iya, dulu pas aku ke Singapore sama Bapak kami boros banget gara-gara pakai taksi ke mana-mana. Bersyukur aku diberitahu teman, Wilson namanya, untuk pakai aplikasi Grab saja karena lebih murah dan cepat dapatnya. Aplikasinya nggak perlu khusus, secara otomatis bakal baca lokasi kita meski download app nya pas di Indonesia. Pokoknya ini life saver banget karena dari pintu terminal kami rupanya cukup susah untuk dapat taksi dan kendaraan umum lainnya. Saking susahnya driver yang jemput kami sempat salah lokasi. Untung saja beliau sabar banget dan mau muter-muter tanpa charge kami lebih *fiuuuh* :D


Hotel yang Shane pilih itu namanya Grand Pasific. Entah deh masih ada hubungannya dengan hotel yang bernama sama di Bandung atau nggak. Jarak dari airport sekitar 20 menitan, tepatnya di Victoria Street. Kesan pertama, aku suka dengan suasana daerahnya yang sepi. Nggak gitu banyak turis lalu lalang dan hotelnya juga sederhana. Kalau kata Shane sih, "Gedungnya tua, tapi tuanya tua dalam artian bagus." ---Nggak tahu deh apa maksudnya, hahaha :') Kami kebagian di lantai 10, di kamar paling ujung dekat tangga darurat. Aku dan Shane langsung girang, soalnya itu artinya kami bisa nyanyi dan main ukulele sampai larut tanpa takut ada yang merasa terganggu. Hore! Sudah dua kali berturut-turut saat menginap kami kebagian kamar yang "bebas merdeka", sungguh kebetulan yang menyenangkan :D Prinsip kami sih mending menginap di tempat yang lumayan supaya fasilitas toiletries atau personal carenya lengkap. Jadi space di tas bisa buat alat musik, laptop dan, ehm... boneka kelinciku, hehehe. Paling hanya sabun cuci muka dan deodoran saja yang bawa dari rumah, lainnya seperti lotion, qtips, dll sudah ada. Karena happy ala kami ya begitu, bisa menulis, bisa nonton film, bisa main musik, bisa santai... Rasanya kaya surga dunia, hehehe. 



Shane langsung rebahan di kasur sementara aku langsung berendam air hangat. Rasanya nyaman sekali setelah paginya aku mandi agak keburu-buru. Sayangnya aku lupa bawa bathboom yang mertuaku kasih, jadi cuma pakai shower gel biasa. Aku juga sudah siap bawa HP ke kamar mandi supaya bisa sambil nonton film, tapi rupanya wifi selalu putus-nyambung begitu di wilayah tub. Jadi ya sudah aku merem-melek saja sambil menikmati siang menjalang sore. Setelah selesai aku pun menyusul Shane yang sudah terlelap (mungkin kelamaan nungguku, hehehe). Saking nyenyaknya kami terbangun tengah malam dalam keadaan lapar. Insting pertamaku langsung ajak Shane jalan kaki buat cari makan murah-meriah. Tapi lalu aku sadar kalau di daerah ini restoran sudah pada tutup, dan yang buka 24 jam cuma mini market. Yah... makan mie instannya besok-besok saja dulu deh... Masa lagi liburan sudah berasa kaya pas akhir bulan di rumah, hehehe :p Hasil cek google restoran terdekat yang masih buka jaraknya di atas 4 KM semua. Jangankan cuci muka, buat ganti piyama dengan yang baju yang agak mendingan saja aku sudah malas... Akhirnya kami putuskan untuk pakai Grab food. Agak asing dengan aplikasinya karena di Bandung kami biasa pakai Gofood atau delivery order ke restorannya langsung. Sempat 2 kali gagal karena jaraknya di luar area, dan waktu akhirnya dapat ternyata makanan Meksiko. Padahal awalnya aku lagi kepengen banget makanan India, hehehe. Tapi nggak apa-apa deh, soalnya Baja Bowl dari Baja Fresh Mexican Grill ternyata enak banget! Aku sampai habiskan 2 mangkuk besar dan setelahnya... langsung tidur lagi. Kekenyangan!


Karena aktivitas hari pertama kami cuma makan-tidur-makan-tidur, besoknya kami bangun pagi-pagi sekali. Rambutku agak lepek jadi sekalian saja aku mau coba jajal kemampuan hair dryer hotel. Di luar dugaan, meski kecil ternyata oke juga. Anginnya kuat banget, sampai-sampai rambutku yang tebal ini lumayan cepat keringnya. Sayangnya colokan di wastafel kamar mandi hanya untuk shaver. Jadi sehabis rambut kering aku nggak bisa styling pakai catokan di sana :( Untung saja aku banyak akalnya (lol). Aku pakai kamera selfie HP ku sebagai cermin! Agak-agak kagok sih, tapi it works. Sudah kece kami niatnya mau cari sarapan di luar. Alasannya karena menginap ternyata exclude sarapan. Tapi iseng-iseng kami tanya berapa harganya, ternyata terjangkau (kalau nggak salah sekitar 200 ribuan per orang) dan all you can eat! Ya sudah kami makan di sana, namanya Sun's Cafe. Menunya ala makanan rumah gitu, dan ada pilihan untuk vegan. Aku dan Shane puas banget dan berandai-andai kalau saja kami bisa makan "menu sarapan" untuk makan siang dan malam juga. Kan bisa hemat tuh. Secara pas kami hitung-hitung untuk makan malam yang lalu habis 500 ribuan. Mending aku makan di Ampera deh bisa traktir sekeluarga plus gratis teh anget :') 





Keinginanku buat main ukulele sepuasnya tercapai juga. Mungkin karena nggak was-was ada yang terganggu rasanya jadi lebih kreatif. Aku bikin lagu di sana, ---tepatnya pas lagi nongkrong di kamar mandi, hehehe. Aku dan Shane memang nggak banyak ke luar, sebagian besar waktu kami dihabiskan di kamar saja. Kami hanya keluar untuk makan, itu pun nggak jauh-jauh. Ada restoran namanya Din Tai Fung yang jaraknya cuma 2 belokan dari hotel. Sejauh ini rasa makanannya jadi yang paling memuaskan lidahku, soalnya pedas dan nendang. Sedangkan sisanya kami makan di kamar saja sambil genjang-genjreng ukulele. Eh, ngomong-ngomong ada pengalaman cukup horror lho di kamar kami. Seperti yang sudah aku sebutkan, kamar kami ada di ujung. Jadi sisi kirinya mentok dan sisi kanan langsung ke tempat tidur kamar lain bukan kamar mandi. Di depan kamar kami juga kosong dan kamar kami menghadap ke jalan, jadi suara yang terdengar harusnya cuma lalu-lalang kendaraan saja. Tapi beberapa kali kami dengar ada suara air mengalir, seperti orang pakai shower dan flush toilet gitu. Padahal aku sudah cek kalau ada yang pakai kamar mandi nggak terdengar tuh ke luar. Pernah lagi asyik nonton TV tiba-tiba saja ada "suara-suara". Malah yang lumayan bikin deg-degan lampu kamar kami suka kaya ada yang mainin. Seram-seram kocak, soalnya kami senang nonton film horror tapi kalau ngalamin ternyata takut juga, hahaha.







Di hari ketiga aku kepengen pulang. Padahal seharusnya kami menginap satu malam lagi, bahkan sudah berencana ganti hotel segala biar nggak bosan. Entah kenapa aku kepikiran melulu ikanku, Fish O'Fish. Jadi sebelum berangkat aku memang sempat nangis kejer gara-gara si ikan lagi sakit pop eye (mata bengkak). Sudah diobati dan minta saran sama teman-teman di grup tapi kondisinya masih gitu-gitu saja. Yang bikin makin khawatir dia jadi susah makan, padahal biasanya lahap. Selama di Singapore aku whatsapp bapakku terus buat nanya keadaannya. Katanya sih baik-baik, tapi karena nggak kirim bukti foto kok aku jadi curiga (---padahal rupanya memang baik-baik saja, lol). Aku bilang sama Shane kalau pulangnya lebih baik dipercepat saja. Toh aku sudah dapat cukup waktu untuk refreshing dan lama-lama bingung juga mau ngapain lagi. Sayangnya karena mendadak kami nggak dapat tiket yang langsung ke Bandung kecuali kalau berangkat pagi-pagi sekali. Well, itu sih nggak mungkin karena aku minta pulangnya saja sudah hampir tengah hari. Aku pikir sudahlah kami ke airport dulu siapa tahu ada yang cancel dan jadi rezeki kami. Jadilah kami check out dan jalan-jalan dulu sebentar. ---Maksudnya literally jalan kaki sambil ngalor-ngidul karena Shane rupanya belum mantap untuk pulang. Kami mampir dulu ke Food Republic dan ngobrol-ngobrol di sana. Kami bahas apa plus-minusnya kalau kami pulang sekarang atau besok. Tapi nggak butuh waktu lama Shane pun setuju untuk pulang, alasannya karena cuaca sangat panas dan setelah dihitung baju bersih dia juga tinggal satu, hahaha. Jadilah kami pesan Grab dan menuju airport.




Pas banget sampai di airport ibuku video call. Beliau kaget karena aku sudah mau pulang dan belum dapat tiket. Kayanya Ibu khawatir kalau aku bakal nginep di airport saking malas ke mana-mananya :p Tapi aku jelaskan kalau Shane sedang cari tiket, dan terakhir waktu kami cek ada penerbangan ke Jakarta untuk sore hari. Syukurlah ternyata kami kebagian meski sisa hanya beberapa seats saja, ---dan aku masih kebagian window seat pula! Alhamdulillah! :D Pokoknya aku girang-segirangnya. Kami cuma punya waktu 30 menit sebelum boarding, dan itu aku pakai untuk beli oleh-oleh baju buat Ali keponakanku, sementara Shane beli burger sayur untuk bekal di pesawat karena tahu nggak ada menu vegan di udara. Kami sempat berselisih, karena waktu kami sudah dipanggil Shane ternyata masih belum kembali. Padahal aku sudah ingatkan dia untuk lari. Aku sampai bilang kalau sampai kami ketinggalan aku mau nangis kejer, hahaha. *becanda*
Waktu kami duduk di pesawat rasanya aku lega banget. Nggak sabar untuk tidur di kamar kami dan ketemu lagi sama keluarga dan hewan-hewan peliharaan di rumah. Singapore memang negara yang menyenangkan, aku nggak pernah kecewa setiap kali berkunjung ke sana. Tapi nggak ada yang mengalahkan nyamannya rumah dan nikmatnya masak di dapur sendiri :))


Rupanya memang benar, aku hanya perlu refreshing. Keluar dari rutinitas ternyata membuatku rindu untuk kembali produktif. Mungkin karena terlalu larut dengan kemageran, bikin aku lupa tentang "pentingnya" liburan. Serius guys, jangan pernah menyepelekan kekuatan dari ambil break buat diri sendiri. Nggak usah jauh-jauh, nggak usah lama-lama. Yang penting beri diri sendiri waktu untuk rehat because you deserve it! ;)



nb: Aku deg-degan banget waktu buka pintu kamar, takutnya Fish O'Fish kenapa-napa. Rupanya oh rupanya, dia malah jauuuuh lebih sehat dari sebelumnya. Aku memang suka khawatir berlebih ya, hahaha :D


penggemar burger sayur,

Indi

-----------------------------------------------------------------------
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

Kamis, 13 Desember 2018

Glamorous Camping? Indi Happy atau Nelangsa? :p

Kayanya bukan lagi rahasia bagi orang-orang dekatku, kalau aku itu lebih suka aktivitas indoor daripada outdoor! :p Eh, bukan berarti aku nggak suka alam atau nature, lho. Aku suka, ---bahkan paling hobi lihat pemandangan. Tapi kalau boleh memilih aku pasti akan prefer menghabiskan waktu di dalam ruangan setelah berjalan-jalan di alam. Bisa menginap di hotel, villa, atau di rumah teman. Pokoknya asalkan nggak tidur di luar aku nggak masalah. Well, IDK, menurutku tidur di bawah bintang hanya terdengar indah di film atau di novel saja. Aku terlalu "takut" dengan udara dingin dan gigitan nyamuk. Jadi jalan-jalannya cukup siang sampai sore saja deh, sisanya di kamar, hehehe. Nah, beruntungnya aku punya suami yang (hampir) sepemikiran. Dia juga suka alam, tapi kalau istirahat pilihnya ya di ruangan meski dia suka kegiatan outdoor macam mengendarai dirt bike, main skateboard dan lain sebagainya (---aku mah nggak, lol).

Makanya waktu Om Reza, adiknya ibuku menawari kami untuk menginap, aku nggak pakai ragu bilang kalau kami pengen tempat yang damai (jauh dari hiruk pikuk kota, bosan aku sebagai orang Kota Bandung, hehehe) dan nyaman. Mau di gunung pun nggak masalah, tapi kalau bisa ---ehm, menginapnya di hotel. Biar sehabis lelah jalan-jalan aku bisa nonton film, berendam air panas atau malah dipijitin. Itulah kenapa aku selalu menolak kalau jalan-jalannya bareng orang lain alias grup, karena aku pasti (dianggap) ngerepotin minta ini-itu. Tapi ya mau gimana lagi aku itu orangnya seimbang, suka alam tapi juga suka moderenisasi :p *ngeles*
Om bilang dia minta tolong temannya, orang travel buat cari hotel yang lokasinya di alam buat kami. Setelah dapat aku langsung dapat kiriman video lewat whatsapp yang isinya kondisi tempat menginap dan pemandangan sekitarnya. Waktu menonton aku dan Shane langsung curiga, kok nggak seperti hotel. Tapi pemandangannya sih bagus, menghadap danau dan sunyiiiii banget. Ternyata benar saja, setelah googling tempat yang dicarikan temannya Om itu ternyata villa. Tadinya aku mau nawar, minta menginap di hotel saja. Tapi setelah dipikir berkali-kali plus diskusi mondar-mandir sama ortu dan suami, akhirnya aku deal. Di video pemandangannya bagus, nggak apalah tanpa room service yang penting sepadan dengan apa yang kami lihat nanti :)

Lokasinya di Pangalengan-Jawa Barat. Aku nggak akan bilang di mana tepatnya (kalian akan tahu alasannya nanti), tapi yang pasti cukup populer dan reviewnya banyak di Google. Karena sudah tahu bakal menginap di villa, aku dan Shane bawa perlengkapan lengkap. Dari mulai makanan (instan dan sayuran, dasar vegan! Lol), selimut, losion anti nyamuk, gitar dan ukulele untuk anti bosan, sampai obat-obatan. Perjalanan cukup jauh dari rumah kami di Bandung Kota. Berkelok-keloknya bikin pusing tapi pemandangannya memanjakan mata, hijau di mana-mana! Shane sampai sering ambil video dari dalam mobil karena kagum. Mood kami juga bagus, bawaannya cekikikan terus, mungkin karena excited :) Sayangnya ketika tiba tempatnya ternyata nggak seindah yang video... Begitu turun kami langsung mencium bau amis dan banyaaaak sekali lalat. Aku nggak lebay, ini lalat banyaknya sampai masuk ke dalam villa dan nempel-nempel di jendela DALAM kamar! Speechless, waktu barang-barang diturunkan dari mobil aku nggak rela. Tapi mau gimana lagi, kami sudah deal dan akhirnya ditinggal berdua saja di sana. Then the nightmare begin... Waktu kami mulai beres-beres aku mulai notice kalau dapurnya kotor banget. Di peralatan makannya masih ada kecap ---or whatever lah nempel-nempel. Aku dan Shane langsung berinisiatif cuci semuanya dan begitu rak diangkat... ADA KECOA, SAUDARA-SAUDARA! Aku coba nggak panik dan minta Shane lap meja, dll dengan tisu basah antiseptik milikku (lap yang di sana sudah compang-camping dan bau, hiks), sementara aku hidupkan anti nyamuk elektrik yang rupanya nggak mempan untuk mengusir lalat. 


Seperti ini kira-kira gambar dan video yang dikirimkan orang travel (foto dari Google). Jauh banget sama kenyataannya yang kotor. Bahkan danaunya pun sedang surut :(


Waktu dicek, kamar mandi rupanya nggak ada air. Pusing tujuh kelilinglah kami, sudah datang jauh-jauh maunya istirahat malah "harus" beres-beres. Kami sampai nggak berani menginjakan kaki di kamar karena selain jendela, tempat tidur juga dilalerin. Aku sampai pengen nangis mikir gimana cara lewatin malem kalau kondisinya kaya gini. Shane lalu ajak aku melihat-lihat keluar villa sambil mencari orang yang bisa dimintai tolong. Bad idea! Lalat semakin banyak, bahkan beberapa langkah saja dari villa kami aku baru ngeh kalau ada seonggok (maaf) pup. Ya Tuhaaaan, fix aku mau minta pulang saja *cry emoji* 
Tapi ternyata nggak semudah itu. Handphoneku nggak ada sinyalnya dan wifi juga mati. Petugas villa entah di mana dan hari juga sudah mulai gelap. Sumpah dah aku lebih baik diserang zombie daripada diserang lalat, hahaha. Kami pun jalan ke luar wilayah villa dengan harapan dapat sinyal. Lumayan jauh, tapi akhirnya dapat. Saking leganya aku sampai nggak mau balik lagi ke villa, biar deh aku berdiri di sana dilalerin asal bisa telepon. Dan akhirnya, setelah 2 jam kami dijemput!

Di mobil kami sudah siap-siap terlelap, ---lelah fisik dan batin :p Tapi malah ditawari untuk menginap di tempat lain. Langsung saja kami tolak, waktu semakin larut dan yang aku pengen waktu itu cuma mandi terus salin pakai piyama :( Om ku yang lagi OTW ke luar kota whatsapp bilang supaya minta dicarikan hotel. Dia bersikeras agar aku dan Shane tetap jadi menginap di tempat yang nyaman. Bimbang deh aku, hati sebenarnya pengen pulang tapi nggak enak kalau menolak permintaan Om yang notabene cuma ingin menyenangkanku. Karena semua kekacauan ini bukan salahnya, murni dari pihak travel DAN villanya. Akhirnya setelah diskusi sedikit dengan Shane yang mulai tampak seperti zombie, kami setuju untuk menginap di tempat lain dengan syarat harus BERSIH dan aku bisa mandi. Orang travelnya setuju, dan dia merekomendasikan resort yang katanya nyaman dan pasti aku suka. Waktu dia tunjukan fotonya aku dan Shane lihat-lihatan. Not again... Lagi-lagi bukan hotel. Bahkan tempatnya semi outdoor karena konsepnya glamping, alias camping yang "glamour". Di kepalaku langsung keluar naskah panjang kesewotanku tentang kenapa ini travel nggak mau kasih kami hotel saja. Terserah deh mau hotel bintang satu juga asalkan kami bisa tidur di dalam kamar. Tapi di kenyataan aku cuma ngangguk saja. ---Akika lelah, bo :(


Tentang Glamping

Malam, lupa jam berapa, akhirnya kami tiba di lokasi resort glamping di Lembang, namanya Trizara. Kata orang travelnya begini, "Lihat saja dulu, kalau nggak suka boleh pulang." Aku nggak becanda, aku masuk ke lobby pakai sarung di kepala, sudah kaya ninja saja. Kesanku dan Shane waktu menginjakan kaki di sana; looks nice (waaaaay nicer daripada tempat sebelumnya), mirip lobby hotel "normal" dan kekinian. Aku sih cuma bisa membatin saja kenapa kami nggak dibawa ke sini dari awal. Memang belum lihat bagaimana suasana area glampingnya sih, tapi at least dari lobbynya saja sudah terlihat bersih. Herannya waktu aku setuju buat menginap di sini, pihak resort butuh waktu cukup lama untuk mengantarkan kami ke "kamar" (---pakai tanda kutip karena bukan kamar konvensional ya, hehehe). Lobbynya semi outdoor dan Lembang sedang hujan, jadi terbayang dong gimana dinginnya kami. Untung saja di sini sepi banget, jadi nggak banyak orang yang lihat aku jadi ninja. Well, sebenernya sih bodo amat, yang penting anti masuk angin :p

Pemandangan malam hari, waktu kami tiba.


Akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba. Kami diantarkan ke "kamar" yang (kupikir) berupa tenda camping. Tapi ternyata itu hanya dari luarnya saja. Begitu petugas membuka resleting tenda terlihatlah isinya yang terlihat seperti kamar pada umumnya. Tempat tidur luas, kotak penyimpanan, kamar mandi lengkap dengan air panasnya, juga termos elektrik untuk memanaskan air! Waktu aku perhatikan ternyata rangkanya permanen dan lantainya juga terbuat dari semen, bukan tanah. Langsunglah aku membuang napas lega *fiuh* Dibandingkan tempat yang sebelumnya, yang ngakunya villa ternyata malah lebih hommy di sini (lebih dekat dengan rumahku juga. Asyem, buang-buang waktu saja di jalan). Petugasnya nanya apa aku dan Shane mau pindah lokasi atau tetap di kamar yang ditawarkan saja. Kami langsung sepakat kalau nggak mau lihat-lihat lagi meskipun kiri-kanan-bawah kamar kami kosong. Setelah itu kami diberi kunci dan gemboknya, juga diingatkan kalau sampai jam 10 malam ada bonfire yang bisa dinikmati bersama pengunjung resort lainnya.

Meski ngarepnya ada bathup buat berendam, tapi adanya shower dengan air panas juga good enough. Sementara Shane beres-beres barang bawaan kami, aku mandi lalu berganti dengan piyama. Padahal paginya aku sudah mandi, tapi mungkin karena di mobil berjam-jam plus dilalerin rasanya badanku kotor banget, ---banget! Eh, aku surprise lho dengan kamar mandinya, selain air panasnya stabil, perlengkapannya juga lengkap. Ada shower cap segala yang biasanya cuma aku temui di hotel yang "bagus". Kesannya memang sepele, tapi dengan mandi rupanya bisa mereset moodku, hehehe :p Kami sempat kepikiran mau ikutan bonfire, tapi setelah dipikir-pikir rasanya lebih nyaman di kamar saja. Tawaran genjrang-genjreng gitar sambil membakar marshmallow pun nggak terlalu menggiurkan bagi kami. Alasannya karena kami vegan (masa mau bakar kapas? Lol), juga karena kami membawa gitar dan ukulele sendiri dari rumah. Di dalam kamar kami merasa lebih bebas bermain musik sekeras apapun karena kebetulan kami satu-satunya yang mengisi kamar di jajaran atas. Kalau di depan orang lain kan gawat, kami suka nggak kira-kira kalau nyanyi :p


Tenda alias kamar kami tampak depan. Kiri-kanan sama bawah nggak berpenghuni, hehehe.


Kamar mandinya tanpa bathup, tapi air panasnya stabil, bikin betah. Dari sabun sampai losion juga sudah tersedia.


Itu selimut Shane yang bawa sendiri dari rumah, soalnya kami suka agak "gimanaaa" gitu pakai selimut orang lain :'D Oh, btw itu si Onci, boneka kelinciku juga ikut.


Nggak ada TV di kamar kami karena katanya sih konsepnya less gadget. Wifi tetap ada yang fungsinya untuk memanggil butler kalau lapar tengah malam. Tapi bukan Indi namanya kalau nggak segala dibawa, hahaha. Dengan menggunakan wifi aku dan Shane menonton film horror di laptop! Untung saja wifinya cukup kencang, jadi hanya 2 kali buffer dan sisanya aman. Sengaja pilih horror (Creep 2, karena sudah nonton yang pertama) karena itulah satu-satunya genre film yang kami nggak pernah bosan. Herannya setelah filmnya habis kami nggak ngantuk sama sekali, padahal sebelumnya kami terkantuk-kantuk di mobil. Pilihan aktivitas di tengah malam juga nggak banyak (ya kali, lol), kalau nggak makan ya lagi-lagi main musik. Oh iya, kami masak mie instan dan bubur kacang pakai air dari termos elektrik, lho. Karena tadinya sudah berencana buat masak-masak di villa jadi kami bawa sekantung besar makanan. Kan sayang kalau dibuang. Cukup menantang juga, tapi hasilnya enak. Apalagi aku juga sudah iris-iris sayur dari rumah, jadi kami nggak kekurangan gizi. Istri idaman banget kan aku :D *wek!*

Semenjak menikah kalau aku insomnia Shane juga ketularan. Padahal dulu dia sih cuek saja kalau aku melek, ---atau sebaliknya. Jadilah kami zombie berdua. By the way, mungkin sih ini karena suasana di sini kurang cocok dengan "style" kami beristirahat. Tendanya sih nyaman dan cukup bersih (debu-debu di sudut atap mah wajar lah, rumahku juga gitu, hehe), tapi polusi suaranya kencang bangeeet. Aku pikir karena kami di gunung jadi bakal sunyi gitu, tapi ternyata suara jalan raya terdengar banget. Apalagi suara motor yang ngebut-ngebut ngepot, bikin elus dada :'( Belum lagi karena di kamar nggak ada AC atau heater (hanya kipas di langit-langit) bikin malam yang dingin semakin terasa. Tenda pun jadi sedikit berkibar-kibar dan bikin kami rebutan selimut. Akhirnya aku dan Shane memutuskan untuk berjalan-jalan di luar saja. Biarlah kalau badan kami jadi berpeluh lagi setelah mandi, lebih baik daripada menahan dingin. Lagipula kami memang berjiwa horror, sudah lama memimpikan untuk bisa jalan-jalan tengah malam tapi di daerah kami terlalu ramai, hehehe. Ternyata seru juga, kami jadi bisa melihat suasana di sekitar resort termasuk tempat bonfire yang kami lewatkan. Tapi yang paling seru sih waktu kami sembunyi-sembunyi dari penjaga malam. Setiap cahaya senternya diarahkan ke dekat kami, kami langsung jongkok. Nggak apalah mengkhayal jadi buronan daripada bosan :p

Setelah jadi "buronan" pun kami tetap belum mengantuk. Sekitar jam 3 pagi (pokoknya menjelang subuh gitu) kami masuk kembali ke kamar dengan sepatu yang penuh lumpur karena hujan gerimis. Rasanya antara perasaan dan badanku nggak singkron. Badan sudah lelah selelah-lelahnya, tapi setiap dengar suara bising dari jalan raya aku otomatis melek dan siap siaga. Syukurlah aku masih diberi tidur sama Tuhan, menjelang pagi aku akhirnya tidur sebentar (dan katanya Shane menyusul terlelap nggak lama setelah aku) dan bangun sekitar jam 8. Aku agak-agak pusing gimana gitu, sebelum tidur Shane bungkus badanku pakai selimut ala-ala kepompong supaya aku merasa aman. Iya sih ampuh, tapi kan nggak bisa gerak, hahaha. Lagi-lagi bersyukur karena kami sudah siap obat-obatan, jadi begitu waktunya sarapan aku sudah segar kembali. Sarapannya di cafe dekat lobby yang cukup okay, tapi sayang banyak lalat. Jangan-jangan lalat dari villa sebelumnya ngikut, nih, lol. Tapi rasa makanannya cukup mengobati. Kami pesan nasi goreng (iya, sarapannya perpaket gitu, nggak all you can eat, huhu), buah-buahan, kopi dan jus mangga. Nilai plusnya mereka memasak ketika ada yang memesan, alias fresh. Terbukti karena waktu kami request nasi goreng vegan mereka menyanggupi padahal nggak ada di menu :)


Pemandangan ketika kami bangun. Indah ya, meski agak gelap karena musim hujan :)

Bangun tidur ku terus nongkrong, tidak lupa minta difoto :p

Waktu nggak bisa tidur kami jalan-jalan sampai ke bawah, lho (lihat di belakangku).


Karena masih pagi kami jadi bisa lihat pemandangan resort dengan lebih jelas. Dan ternyata indaaaaaah sekali. Sampai hampir lupa kalau semalam bisingnya sudah kaya nonton balap liar :') Karena lagi musim hujan langit jadi nggak terlalu cerah, tapi tetap saja rasanya sayang kalau nggak diabadikan. Shane langsung punya inisiatif untuk merekamku bernyanyi dan bermain ukulele sambil memperlihatkan suasana resort. Kocak juga sih, karena lagu yang  kumainkan "Twoday" belum pernah direkam. Jadi aku cuma sok-sok lipsync gitu. Terbukti waktu videonya dicocokan dengan lagunya ternyata nggak match. Untung saja kemampuan mengedit Shane lumayan. Baru kali ini videonya duluan yang direkam baru lagu, hahaha :D Aku nggak tahu dengan hari-hari lain, tapi waktu aku dan Shane stay kayanya nggak banyak yang menginap. Waktu sarapan kami hanya bertemu dengan 2 tamu lainnya. Juga waktu merekam video kami cuma bertemu dengan beberapa petugas yang berjaga. Bagus juga sih, jadi berasa shooting video clip beneran :D *boom cess!*


Ini ayunan buat anak-anak sebenarnya. Tapi aku bebas pakai sepagian, soalnya sepi, hehehe.

Nggak ada yang ambil foto kami, ya sudah selfie :p

Nah, ini malah aneh. Aku lagi selfie eh Shane ambil fotoku, hahaha.

Ada musik = bikin lebih happy :))


Jadi apakah pengalaman glamping kami menyenangkan? Shorta! Karena sebenarnya bisa lebih baik kalau saja suasana nggak bising dan di kamar ada heather. Please jangan ada yang nanya kenapa suamiku orang Amerika yang biasa kena salju masih juga kedinginan padahal cuma hujan. Ya atuh, kan mereka juga pakai heater, saudara-saudara :') Kami sih menikmati sekali pemandangannya, juga fasilitas kamarnya. Tapi kalau bisa memilih ya lebih pilih hotel yang dekat dengan alam saja. Atau seenggaknya motel, yang penting kamar berdinding sungguhan. Apa aku merekomendasikan para pembaca yang budiman untuk mencoba glamping? IYA! Saranku carilah tempat yang jauuuuuuh sejauh-jauhnya dari jalan raya supaya terasa menyatu dengan alam, bukan dengan knalpot :( Menurutku glamping ini cocok banget buat yang rindu camping tapi keadaan kurang memungkinkan. Misalnya terkendala kesehatan (nggak bisa melewati jalan terjal berliku) atau sudah berkeluarga dan ada balita (eh tapi banyak juga sih balita yang naik gunung, pokoknya you know what I mean lah ya). Mudah-mudahan sih tulisan aku ini bisa memberi ide untuk ke mana kalian mengisi liburan akhir tahun nanti. Dan juga untuk yang penasaran semoga pengalamanku memberi gambaran. Terakhir, jangan lupa kalau setiap orang punya kesukaan yang berbeda. Kalau kami nggak betah karena dingin, siapa tahu kalian malah suka. So give it a try! :)


"TWODAY". Lagu baruku dan Shane yang videonya dishoot waktu kami glamping :)


yang kemana-mana bawa sayur dan ukulele,

Indi

-----------------------------------------------------------------------
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

Rabu, 05 Desember 2018

(Tiba-Tiba) Menikah.

Waktu bilang kalau aku sudah menikah banyak yang nggak percaya. Teman-teman dan saudara-saudaraku bertanya-tanya; kapan? Sama siapa? Kok nggak bilang-bilang? Lho, pacarannya kapan? ---dan lain sebagainya.
Sebetulnya jangankan mereka, aku juga masih nggak percaya kalau sekarang sudah menikah, hahaha.


Pernah punya hubungan jangka panjang yang (tujuannya sih) serius membuatku malas untuk terlalu berbagi kehidupan pribadiku lagi. Alasannya karena batas care dan kepo teman-teman dunia mayaku sudah makin tipis. Bukannya memberi selamat ketika tahu aku punya pacar, eh malah nanyain ke mana mantanku *palm face* Entah mereka murni nggak punya manner, polos atau karena mereka pikir pacarku nggak bisa baca jadi nggak akan tahu mereka komentar begitu, yang pasti itu membuat aku nggak nyaman. Padahal siapa yang tahu dengan masa depan, kan? Rencanaku (dan pasanganku kala itu) pasti baik, tapi kalau Tuhan berkehendak lain ya pasti itulah yang terbaik. 
Tapi sekarang setelah satu bulan kami menikah, aku pikir ini adalah saat yang tepat untuk membagi cerita kami. Nggak ada yang salah sama hubungan kami. Shane itu orang baik, dan aku punya hak to tell the world. Kalau ada yang menduga-duga dan membandingkan dengan mantan itu juga hak mereka, aku nggak bisa cegah. Tapi what's matter itu siapa yang menikahiku pada akhirnya, kan ;)

Cerita mundur ke sekitar 6 tahun yang lalu. Aku yang waktu itu baru di dunia YouTube benar-benar nggak tahu gimana cara website itu berfungsi. Akunku kosong, nggak ada foto atau videonya. Karena waktu itu tujuanku hanya untuk berkomentar di video-video musik idola. Dengan bantuan Bapak (as always) aku membuat 2 video pertama; video Eris, anjingku yang sedang melakukan trik ala ala Air Bud (lol) dan videoku nyanyi di kamar sambil megang buku karena nggak hapal liriknya (---I know right, norak banget, namanya juga bocah, huahaha...). Nah, aku itu ngefans banget sama yang namanya John Frusciante, setiap ada yang cover lagunya pasti aku tonton dengan seksama. Sampai suatu hari aku nemu satu video cover di daftar rekomendasiku, iseng-iseng aku klik. Yang di video itu cowok, namanya Shane Combs. Dia main gitar sambil nyanyi. Videonya keren, nggak dibuat-buat tapi sukses bikin aku amaze. Lalu dengan PD nya aku komentar di video itu nyuruh dia buat nonton videoku yang lagi nyanyi sambil bawa buku (---ampun dah Indi malu-maluin...). Nggak disangka cowok itu balas, katanya dia sudah nonton videoku dan dia suka. Lalu kami pun menikah lalu hidup bahagia selamanya.
Hahaha, just kidding. Sehabis komentar itu aku nggak pernah ada kontak apa-apa lagi sama dia. Murni komentar iseng, hanya menyampaikan kekaguman dan aku memang pengen pamer video :")

Di pertengahan tahun 2016 suatu kebetulan mempertemukanku dengan dia lagi. Waktu lagi iseng baca kolom komentar video clipnya Princess Chelsea, aku nemu komentar dia! Dengan sok akrabnya aku sapa dia dan bilang kalau aku surprise karena kami dengar musik yang sama. Mungkin karena kebetulan sedang sama-sama online, dia langsung balas. Katanya dia tahu Princess Chelsea karena nonton salah satu coverku. Agak malu juga sih karena kupikir dia nggak pernah mampir ke channelku lagi setelah aku "paksa" nonton videoku. *ngumpet* Dan lagi-lagi, setelah itu nggak ada obrolan lebih lanjut. Nggak tahu deh dengan kalian, aku biasanya selalu ada firasat alias hint kalau ketemu orang. Misalnya langsung tahu kalau nantinya bakal jadi teman akrab, atau sebaliknya. Nah, sama Shane ini justru nggak ada sama sekali. Pokoknya tiap ngobrol rasanya hanya sekali lewat doang. Bahkan sampai beberapa bulan kemudian waktu kami memutuskan untuk bikin lagu bareng pun nggak pakai basa-basi dulu. Dia tinggal di mana, tampangnya gimana, umurnya berapa, aku nggak tahu. Pokoknya habis lagunya selesai, ya sudah, kami kembali ke alam masing-masing :p

Jadi kapan kami mulai berteman dan naksir-naksiran? Nggak tahu. Seingatku kami mulai mengobrol di pertengahan tahun 2017, dekat-dekat ulang tahun kami yang beda 10 hari saja. Awalnya sih seperti sebelumnya, kami membuat musik. Lalu tiba-tiba saja jadi akrab dan obrolan kami nggak lagi melulu soal musik. Setiap video call bisa berjam-jam, bahkan nggak jarang kami nggak tidur seharian dan ngobrol sampai belasan jam! Rekor yang aku ingat kami pernah ngobrol 13 jam, sampai Ibu nanya kenapa aku nggak keluar kamar selama 2 hari, hahaha. Tapi jangan dikira kami saling naksir. Hubungan kami memang istimewa, tapi kami murni bersahabat. Shane sering bercerita tentang perempuan yang dia taksir. Begitu juga aku yang sering bercerita tentang kecengan-kecengan khayalanku yang jumlahnya segudang. Hubungan kami tanpa beban, nggak pernah sekalipun ada keingingan untuk bertemu karena sudah tahu bahwa kami ternyata tinggal di 2 negara yang dari ujung ke ujung; Amerika dan Indonesia. Bagi kami video call lebih dari cukup, kami sama-sama senang itu yang terpenting :)

Akhir Januari 2018 kami mulai mengakui bahwa saling menyukai. Lagi-lagi jangan tanya bagaimana awalnya karena kami nggak ingat. Tahu-tahu seminggu sebelumnya kami saling mengakui kalau ada perasaan memiliki dan mulai ada keinginan kuat untuk bertemu. Jadi nggak ada acara "tembak-tembakkan". Waktu itu Shane bilang kalau dia akan datang ke Indonesia agar kami bisa tinggal bersama. Orangtuaku kaget, karena nggak pernah sekalipun aku menyebut tentang punya pacar. Padahal aku juga kaget (banget), soalnya begitu ada perasaan dia memang langsung memutuskan untuk ke sini, dan statusnya memang bukan pacar, kok :p Jadi memang nggak ada jeda sama sekali buat ngomong, ---bahkan buat mikir-mikir, hahaha. Begitu juga orangtua Shane, mereka kaget karena anaknya belum pernah ke luar negeri atau bahkan mengenal sedikit pun tentang Indonesia, ---tapi tiba-tiba saja bilang kalau akan menetap! (Yup, saudara-saudara, bayangkan gimana reaksi ibunya begitu tahu anak cowok satu-satunya mau tinggal bareng cewek yang belum pernah ditemui).
Aku pernah bertanya apa dia nervous akan meninggalkan segala kenyamanan di negaranya dan harus belajar bahasa yang sama sekali baru. Dia bilang "nggak", dia malah excited karena artinya nggak harus lewat video call lagi untuk "bertemu" denganku. Katanya, kalau di telepon saja kami sudah bahagia, apalagi di dunia nyata nanti. Dan aku setuju dengannya :)

Jika pasangan yang berasal dari beda negara identik dengan LDR alias long distance relationship, itu nggak berlaku buat kami. Dan aku sangat bersyukur dengan itu! Shane segera mengurus passport, visa dan barang-barang apa saja yang akan dibawa. Maret 2018 dia sudah siap terbang ke Indonesia dan selama menunggu yang kami bicarakan adalah betapa nggak sabarnya kami untuk bertemu, ---juga keinginan Shane untuk menikahiku. Iya, menikah. Awalnya aku pikir Shane hanya bercanda karena kami memang sering bergurau dan aku memang belum menemukan "sisi romantis" darinya. Tapi semakin lama aku jadi yakin kalau dia bersungguh-sungguh karena nada bicaranya selalu terdengar lebih serius setiap dia berbicara tentang hubungan kami. Katanya apapun akan dia lakukan supaya nggak berpisah lagi dengan sahabatnya, —-aku. Dan menikah adalah jalan yang dia pikirkan. Aku pikir, kalau pun nanti dia berubah pikiran karena belum pernah bertemu aku sebelumnya, ya sudah. Dia tinggal pulang lagi saja ke negaranya. Toh visa kunjungannya hanya berlaku satu bulan, hahaha.

And here we are now, kami menikah di bulan Oktober 2018 dengan dihadiri oleh beberapa anggota keluarga saja. Alasannya karena aku ingin pernikahan kami khidmat dan sakral. Aku pernah bermimpi bagaimana rasanya menikah, tapi ternyata yang aku alami ini lebih indah daripada impian. Aku menikahi sahabatku! :) Setiap detik yang aku alami rasanya seperti mimpi, sepanjang prosesi pernikahan aku nggak bisa berhenti tersenyum. Jalan Tuhan memang misterius, video konyol di YouTube itu ternyata jalan kami untuk saling menemukan belahan jiwa. Aku nggak akan pernah menganggap sepele lagi setiap hal kecil yang terjadi di hidupku, karena siapa tahu itu clue Tuhan untuk sesuatu yang lebih besar.


Dan soal hint, atau firasat. Saat menulis ini aku jadi sadar kalau sebenarnya "tanda-tanda" itu sudah ada tapi akunya saja yang cuek, ---mungkin karena terlalu menganggap kalau Shane itu nggak akan pernah lebih dari sahabat. Pernah suatu hari Shane memberiku batu yang dia ambil dari depan rumah John Frusciante, idolaku. Aku bilang, jika suatu hari nanti aku menikah, aku akan meminta calon suamiku melamar dengan batu itu. Dan yang kedua, tahun lalu aku menulis lagu yang berjudul "If I". Liriknya seperti ini; "If I get married today, I will wear white dress and flower crown." Satu hari sebelum menikah Shane membelikanku gaun putih bermotif batik dan mahkota bunga. Coba tebak?! Aku benar-benar memakainya di hari pernihakan kami! :)
Jadi rupanya dia sudah di sini bersamaku the whole time, my best friend is my husband.

Ah, rasanya aku ingin bercerita lebih banyak lagi tentang kami. Tapi mungkin lain kali karena sebentar lagi Shane akan selesai cuci piring sehabis memasak untuk kami, hihi. Sekarang aku mau siap-siap istirahat dulu. See you, teman-teman! :)


xx,

Indi



Lagu baru Indi dan Shane di sini: KLIK


--------------------------------------------------------------------

Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here |Contact: namaku_indikecil@yahoo.com