OOTD: Hair bow: random | Cape: Toko Kecil Indi | Dress: Toko Kecil Indi | Shoes: Fillmore |
Howdy again, Bloggies! Yes, it's me Indi. Blog ini nggak di-hack, kok, aku memang pengen buat post baru lebih cepat dari biasanya, hehehe :p
So, how's your day? Di sini hampir selalu hujan, langit cuma cerah dari jam 10 pagi sampai jam 2 siang, selain itu pasti hujan disertai petir. Aku harap cuaca bisa segera ramah, karena keluarga dan teman-temanku banyak yang kena flu. Meski kesehatan sudah dijaga sebaik mungkin, dalam cuaca seperti ini kan sulit juga... Getwell, getwell, getwell buat semua yang sedang sakit ya, dan keep well buat yang sehat ;)
Seperti hari ini, it's rain rain rain (dinyanyikan seperti lagu Mika, lol) dan aku harus pergi ke kampus dengan menggunakan taksi karena mobil lagi dipakai Ibu ke luar kota. Tasku lebih berat dari bulan kemarin karena selain membawa buku dan bekal makan siang, aku juga membawa jaket dan payung. Perjalan yang aku tempuh cukup lama, hampir satu jam karena kampusku berada di daerah padat. (Well, sebenarnya aku lebih suka menyebutnya TK karena aku sedang mengikuti pendidikan sebagai guru TK di sana. Kalau kuliah S1 ku sih sudah lulus sejak tahun 2010 lalu, hehehe). Syukurlah ketika sampai hujan sudah sedikit reda jadi aku nggak perlu repot membongkar tas.
Aku datang terlambat, teman-temanku sudah mulai makan siang dan beberapa ada yang izin sembahyang. Aku langsung bergabung dengan teman-teman yang sedang makan dan membuka kotak makanku sendiri (of course! :p ). It's my favorite moment, karena meski kami berasal dari tempat berbeda dan dengan kepercayaan berbeda pula, kami tetap dekat dan nggak segan untuk berbagi cerita. Malah, nggak jarang kami memanfaatkan waktu makan siang yang cuma sebentar ini untuk janjian outfit apa yang akan kami pakai besok, hihihi. Maklum lah, para calon guru TK ini meski banyak yang sudah menikah tapi usianya masih di bawah 30 tahun semua :D
Tiba-tiba, Cice, salah satu teman yang berasal dari Bali membuka percakapan. Ia bercerita tentang beberapa senior yang bersikap 'berbeda' pada kami. Iya, soal mereka sebenarnya aku juga merasakan (paling merasakan malah), tapi aku nggak menyangka bahwa situasinya semakin 'membesar'.
So, how's your day? Di sini hampir selalu hujan, langit cuma cerah dari jam 10 pagi sampai jam 2 siang, selain itu pasti hujan disertai petir. Aku harap cuaca bisa segera ramah, karena keluarga dan teman-temanku banyak yang kena flu. Meski kesehatan sudah dijaga sebaik mungkin, dalam cuaca seperti ini kan sulit juga... Getwell, getwell, getwell buat semua yang sedang sakit ya, dan keep well buat yang sehat ;)
Seperti hari ini, it's rain rain rain (dinyanyikan seperti lagu Mika, lol) dan aku harus pergi ke kampus dengan menggunakan taksi karena mobil lagi dipakai Ibu ke luar kota. Tasku lebih berat dari bulan kemarin karena selain membawa buku dan bekal makan siang, aku juga membawa jaket dan payung. Perjalan yang aku tempuh cukup lama, hampir satu jam karena kampusku berada di daerah padat. (Well, sebenarnya aku lebih suka menyebutnya TK karena aku sedang mengikuti pendidikan sebagai guru TK di sana. Kalau kuliah S1 ku sih sudah lulus sejak tahun 2010 lalu, hehehe). Syukurlah ketika sampai hujan sudah sedikit reda jadi aku nggak perlu repot membongkar tas.
Aku datang terlambat, teman-temanku sudah mulai makan siang dan beberapa ada yang izin sembahyang. Aku langsung bergabung dengan teman-teman yang sedang makan dan membuka kotak makanku sendiri (of course! :p ). It's my favorite moment, karena meski kami berasal dari tempat berbeda dan dengan kepercayaan berbeda pula, kami tetap dekat dan nggak segan untuk berbagi cerita. Malah, nggak jarang kami memanfaatkan waktu makan siang yang cuma sebentar ini untuk janjian outfit apa yang akan kami pakai besok, hihihi. Maklum lah, para calon guru TK ini meski banyak yang sudah menikah tapi usianya masih di bawah 30 tahun semua :D
Tiba-tiba, Cice, salah satu teman yang berasal dari Bali membuka percakapan. Ia bercerita tentang beberapa senior yang bersikap 'berbeda' pada kami. Iya, soal mereka sebenarnya aku juga merasakan (paling merasakan malah), tapi aku nggak menyangka bahwa situasinya semakin 'membesar'.
Let me share the story from the beginning...
Suatu hari, kelas kami disatukan dengan kelas senior karena beberapa dari mereka belum mengikuti salah satu mata pelajaran. Karena mereka datang belakangan, kami langsung pindah ke bangku yang lebih belakang supaya mereka bisa duduk tanpa harus melewati yang lain. Awalnya sih semua baik, sampai aku dipanggil dosen ke depan kelas untuk bernyanyi. Karena posisiku terhalang oleh salah seorang senior perempuan, aku langsung bilang, "permisi" sambil tersenyum dan melewatinya. Aku nggak sempat melihat ekspresi wajahnya, tapi yang jelas ketika aku bernyanyi di depan, cuma ia yang nggak tersenyum dan malah menatapku heran. Aku nggak ambil pusing dan setelah selesai bernyanyi langsung kembali ke tempatku duduk dengan manuver yang sama: bilang "permisi" dan terseyum. Lalu akupun sadar sesuatu, ekspresinya waktu melihatku bernyanyi bukan kebetulan, ia memang 'begitu' setiap melihatku.
Puspa, salah seorang temanku langsung heran melihat tingkah senior kami. Spontan ia bertanya sambil berbisik, "Indi, dia kenapa? Waktu kamu lengah dia lihatin kamu dari atas sampai bawah".
Eh, really? Aku bahkan nggak memperhatikan.
Cerita tentang mbak senior itu lambat laun menyebar di kelasku, dan ternyata mereka setuju bahwa mbak senior itu memang selalu 'berbeda' setiap kali melihatku. Malah suatu kali mbak senior itu terang-terangan cengengesan sambil melintas di depan kelas kami (and, yes, she pointed at ME!). Kami langsung setuju bahwa ia punya masalah. Masalah apa, entahlah, yang jelas kami yakin bahwa ia ada masalah.
Lalu cerita datang dari Dila, ia yang termuda di kelas kami (19 tahun). Katanya ia dilihatin secara 'berlebihan' oleh senior yang sama dengan yang cengengesan padaku. Well, kami coba berpikir positif. Aku bilang sama teman-teman yang lain bahwa mungkin saja Mbak senior itu memang punya tatapan yang seperti itu, toh karakter orang kan berbeda-beda. Apalagi ternyata bukan cuma menimpaku, tapi juga Dila. So, bukan nggak mungkin kan kalau ia memang begitu sama semua orang?
Tapi lama-kelamaan beberapa dari kami kesal juga dengan tingkahnya, apalagi ia mulai 'mengajak' teman-temannya untuk seperti itu pada kami (baca: tertawa berlebihan dan menatap sinis waktu melintas). Di dunia per-bully-an masa SMA ada prinsip dasar: jangan terlihat mencolok kalau nggak mau ditegur senior. Aku nggak tahu kalau di dunia dewasa juga ternyata masih berlaku, tapi tetap kami instrospeksi diri, melihat penampilan kami siapa tahu ada yang salah. Blazer, dress, kitten heels dan rambut rapi. Standar guru. Bahkan tertulis di modul "Etika Profesi Guru". Jadi apa yang salah? Kami mengikuti standar dan perilaku kami juga baik. Kami bahkan nggak pernah membalas perlakuan mereka dan sepakat membalasnya dengan senyum meski kesal.
(Oh, FYI, 'mereka' bukan berarti semua senior, ada juga kok yang ramah pada kami :) ).
Suatu hari, kelas kami disatukan dengan kelas senior karena beberapa dari mereka belum mengikuti salah satu mata pelajaran. Karena mereka datang belakangan, kami langsung pindah ke bangku yang lebih belakang supaya mereka bisa duduk tanpa harus melewati yang lain. Awalnya sih semua baik, sampai aku dipanggil dosen ke depan kelas untuk bernyanyi. Karena posisiku terhalang oleh salah seorang senior perempuan, aku langsung bilang, "permisi" sambil tersenyum dan melewatinya. Aku nggak sempat melihat ekspresi wajahnya, tapi yang jelas ketika aku bernyanyi di depan, cuma ia yang nggak tersenyum dan malah menatapku heran. Aku nggak ambil pusing dan setelah selesai bernyanyi langsung kembali ke tempatku duduk dengan manuver yang sama: bilang "permisi" dan terseyum. Lalu akupun sadar sesuatu, ekspresinya waktu melihatku bernyanyi bukan kebetulan, ia memang 'begitu' setiap melihatku.
Puspa, salah seorang temanku langsung heran melihat tingkah senior kami. Spontan ia bertanya sambil berbisik, "Indi, dia kenapa? Waktu kamu lengah dia lihatin kamu dari atas sampai bawah".
Eh, really? Aku bahkan nggak memperhatikan.
Cerita tentang mbak senior itu lambat laun menyebar di kelasku, dan ternyata mereka setuju bahwa mbak senior itu memang selalu 'berbeda' setiap kali melihatku. Malah suatu kali mbak senior itu terang-terangan cengengesan sambil melintas di depan kelas kami (and, yes, she pointed at ME!). Kami langsung setuju bahwa ia punya masalah. Masalah apa, entahlah, yang jelas kami yakin bahwa ia ada masalah.
Lalu cerita datang dari Dila, ia yang termuda di kelas kami (19 tahun). Katanya ia dilihatin secara 'berlebihan' oleh senior yang sama dengan yang cengengesan padaku. Well, kami coba berpikir positif. Aku bilang sama teman-teman yang lain bahwa mungkin saja Mbak senior itu memang punya tatapan yang seperti itu, toh karakter orang kan berbeda-beda. Apalagi ternyata bukan cuma menimpaku, tapi juga Dila. So, bukan nggak mungkin kan kalau ia memang begitu sama semua orang?
Tapi lama-kelamaan beberapa dari kami kesal juga dengan tingkahnya, apalagi ia mulai 'mengajak' teman-temannya untuk seperti itu pada kami (baca: tertawa berlebihan dan menatap sinis waktu melintas). Di dunia per-bully-an masa SMA ada prinsip dasar: jangan terlihat mencolok kalau nggak mau ditegur senior. Aku nggak tahu kalau di dunia dewasa juga ternyata masih berlaku, tapi tetap kami instrospeksi diri, melihat penampilan kami siapa tahu ada yang salah. Blazer, dress, kitten heels dan rambut rapi. Standar guru. Bahkan tertulis di modul "Etika Profesi Guru". Jadi apa yang salah? Kami mengikuti standar dan perilaku kami juga baik. Kami bahkan nggak pernah membalas perlakuan mereka dan sepakat membalasnya dengan senyum meski kesal.
(Oh, FYI, 'mereka' bukan berarti semua senior, ada juga kok yang ramah pada kami :) ).
Begitu. Itulah awal yang menjadi percakapan kami ketika makan siang hari ini. Aku terus mendengarkan Cice sambil menikmati pasta dingin yang sebenarnya sudah dihangatkan waktu di rumah. Lalu Cice tiba-tiba berhenti dan berkata dengan setengah berbisik, "Kalian tahu kenapa mereka 'begitu' sama kita? Ibu kepala sudah cerita semuanya sama aku. Beberapa senior mengganggap kelas kita terlalu perfect karena semuanya berusia muda dan selalu terlihat ceria".
Aku langsung berhenti makan, nggak percaya dengan apa yang kudengar. Alasannya terdengar sepele dan... dan nggak seharusnya menjadi masalah. Meski kalau aku berada di posisi mbak senior, mungkin aku juga akan sedikit nggak nyaman karena perbedaan usia di kelas mereka relatif lebih jauh daripada di kelas kami. Tapi kalau sampai bersikap negatif, aku rasa itu nggak pantas. Cice juga menambahkan bahwa kekesalan beberapa senior bertambah karena mereka nggak diizinkan berlibur, sedangkan di angkatan kami Ibu Kepala sudah merencanakan acara liburan. Oh, ayolah...
"Tapi ada lho yang mbak senior paling sebel", Cice melanjutkan. "Apa?" sahutku dan beberapa teman lain. Cice kembali berbisik sambil menyebutkan sebuah nama. Katanya mbak senior iri karena di kelas ini ada yang cantik dan disukai. Katanya kalau ada perlombaan kelas kami pasti lebih mudah menang dari pada kelasnya dulu. Aku mendengarkan Cice dengan wajah yang terasa panas... nggak bisa berkata-kata karena tahukah siapa yang dimaksud Cice? Aku. Iya, aku, Indi...
Perasaanku terasa campur-aduk. Ada perasaan sedikit kesal karena perlakuannya yang berbeda ternyata karena hal sepele. Tapi sisanya aku merasa menyesal. Menyesal karena nggak sempat berkenalan dengan 'layak' sehingga ia menjadi salah menilaiku.
Aku pikir seandainya saja aku dan Mbak senior punya waktu untuk berkenalan, ini semua nggak akan terjadi. Ia pasti akan sadar kalau nggak ada sedikitpun dari diriku yang patut ia cemburui apalagi sampai merasa terancam. Situasinya pasti akan berbeda jika ia sedikit tahu tentangkh. Tahukah ia bahwa aku suka sekali berteman? Tahukah ia bahwa dulu aku pernah di-bully karena fisikku dan itu bukan karena aku cantik tapi karena aku berkacamata tebal dan berpenyangga tulang belakang? Tahukah ia bahwa aku sama sekali nggak memiliki prasangka buruk tentangnya? Dan tahukah ia bahwa aku dengan senang hati mengetahui banyak hal lain darinya jika kami berteman?
Bukan cuma aku, teman-teman yang lain juga terkejut dengan apa yang dikatakan Cice. Kami dekat satu sama lain, dan topik 'iri padaku' sama dengan menunggu headline babi bisa terbang, alias itu nggak mungkin! Mereka mengenalku nggak cuma luarnya, tapi juga tahu hal-hal konyol tentangku. Akankah Mbak senior iri dengan perempuan yang makannya paling lambat di kelas, dengan perempuan yang nggak bisa membuat bagan dengan menggunakan komputer dan dengan perempuan yang salah menyanyikan lagu Bingo sampai dua kali? Aku rasa nggak :) Mbak senior itu cuma nggak tahu, ia nggak perlu kami benci apalagi sampai dibalas. Dan aku percaya jika suatu hari ada kesempatan kami berkenalan, ia akan tahu bahwa aku sama sekali nggak 'mengancam'... dan ia akan tahu bahwa setiap kali aku tersenyum, aku benar-benar tulus... :)
Aku langsung berhenti makan, nggak percaya dengan apa yang kudengar. Alasannya terdengar sepele dan... dan nggak seharusnya menjadi masalah. Meski kalau aku berada di posisi mbak senior, mungkin aku juga akan sedikit nggak nyaman karena perbedaan usia di kelas mereka relatif lebih jauh daripada di kelas kami. Tapi kalau sampai bersikap negatif, aku rasa itu nggak pantas. Cice juga menambahkan bahwa kekesalan beberapa senior bertambah karena mereka nggak diizinkan berlibur, sedangkan di angkatan kami Ibu Kepala sudah merencanakan acara liburan. Oh, ayolah...
"Tapi ada lho yang mbak senior paling sebel", Cice melanjutkan. "Apa?" sahutku dan beberapa teman lain. Cice kembali berbisik sambil menyebutkan sebuah nama. Katanya mbak senior iri karena di kelas ini ada yang cantik dan disukai. Katanya kalau ada perlombaan kelas kami pasti lebih mudah menang dari pada kelasnya dulu. Aku mendengarkan Cice dengan wajah yang terasa panas... nggak bisa berkata-kata karena tahukah siapa yang dimaksud Cice? Aku. Iya, aku, Indi...
Perasaanku terasa campur-aduk. Ada perasaan sedikit kesal karena perlakuannya yang berbeda ternyata karena hal sepele. Tapi sisanya aku merasa menyesal. Menyesal karena nggak sempat berkenalan dengan 'layak' sehingga ia menjadi salah menilaiku.
Aku pikir seandainya saja aku dan Mbak senior punya waktu untuk berkenalan, ini semua nggak akan terjadi. Ia pasti akan sadar kalau nggak ada sedikitpun dari diriku yang patut ia cemburui apalagi sampai merasa terancam. Situasinya pasti akan berbeda jika ia sedikit tahu tentangkh. Tahukah ia bahwa aku suka sekali berteman? Tahukah ia bahwa dulu aku pernah di-bully karena fisikku dan itu bukan karena aku cantik tapi karena aku berkacamata tebal dan berpenyangga tulang belakang? Tahukah ia bahwa aku sama sekali nggak memiliki prasangka buruk tentangnya? Dan tahukah ia bahwa aku dengan senang hati mengetahui banyak hal lain darinya jika kami berteman?
Bukan cuma aku, teman-teman yang lain juga terkejut dengan apa yang dikatakan Cice. Kami dekat satu sama lain, dan topik 'iri padaku' sama dengan menunggu headline babi bisa terbang, alias itu nggak mungkin! Mereka mengenalku nggak cuma luarnya, tapi juga tahu hal-hal konyol tentangku. Akankah Mbak senior iri dengan perempuan yang makannya paling lambat di kelas, dengan perempuan yang nggak bisa membuat bagan dengan menggunakan komputer dan dengan perempuan yang salah menyanyikan lagu Bingo sampai dua kali? Aku rasa nggak :) Mbak senior itu cuma nggak tahu, ia nggak perlu kami benci apalagi sampai dibalas. Dan aku percaya jika suatu hari ada kesempatan kami berkenalan, ia akan tahu bahwa aku sama sekali nggak 'mengancam'... dan ia akan tahu bahwa setiap kali aku tersenyum, aku benar-benar tulus... :)
Kami teruskan makan siang kami, di sela-selanya aku masih bisa mendengar kata-kata seperti, "Ya sudah, cuekin saja nanti" atau, "Biarkan saja, jangan anggap serius". Aku yakin tanpa harus terucap kata sepakat pun kami sudah cukup dewasa untuk menghadapi Mbak senior besok. Kami cuma harus tersenyum. Dan jangan pernah membenci.
"Sugar... orang itu seperti apel. Kalau dikupas terus kamu makan buahnya, kamu kamu tidak akan pernah tahu apel warna apa yang sedang kamu makan. Rasanya sama, kan?"
(Kata Mika tentang prasangka. Diambil dari novel "Waktu Aku sama Mika").
apple cheeks smile,
Indi