Tampilkan postingan dengan label Terapi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Terapi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Januari 2015

Pakai Brace? Siapa takut! Aku Nggak Sendirian, Kok ;)

Howdy do, bloggies! Wah, nggak terasa sekarang sudah weekend dan aku belum update apa-apa di dunia kecilku ini (kecuali repost dari channelku di YouTube). Padahal cukup banyak yang ingin aku ceritakan, lho. Terutama tentang keseharian dan hobi baruku yang super fun. Tapi kalau ditulis semua sekarang sepertinya jari-jariku nggak akan sanggup, deh. Soalnya ceritanya bakal panjang, hehehe. Untuk sekarang aku mau bercerita tentang pengalaman memakai SpineCor, atau soft brace untuk scoliosis. Kalau teman-teman sering mampir ke sini pasti sudah tahu kalau aku mengidap scoliosis sejak berusia 13 tahun :)

Nah, sama nggak terasanya seperti update blog ini yang tersendat (hihihi), persahabatanku dengan SpineCor juga tahu-tahu sudah berjalan lebih dari 6 bulan. Mungkin karena begitu nyamannya brace yang satu ini (---dibandingkan dengan boston brace) sampai-sampai aku nggak ingat waktu :D Kalau mendengar kata ‘brace’ tadinya aku sudah malas duluan, karena ingat pengalaman memakai boston brace selama 5 tahun tanpa pengurangan kurva sedikitpun (malah bertambah ketika dilepas). Apalagi di usiaku yang sudah mature semakin pesimis lah aku dengan fungsi brace untuk scoliosisku. Tapi rupanya SpineCor ini beda, setelah pengurangan kurva yang membuatku merasa ada harapan, hasil review bulan lalu membuatku YAKIN bahwa SpineCor memang memberikan bukti, bukan cuma harapan. Selain keluhan ‘khas’ scoliosisku semakin berkurang, kurvaku juga ikut berkurang. Aku belum tahu berapa derajat (---rencananya x ray akan dilakukan segera), tapi yang pasti aku membaik :) Punukku memang masih ada, tapi sekarang nggak terlalu jelas terlihat.

Aku memakai SpineCor, brace scoliosis yang sangat support untuk beraktivitas dan ber-fashionable ria, hihihi :D

Dengan kabar baik ini tentu saja aku semakin bersemangat memakai SpineCor. Meski nggak sabar untuk melihat hasil akhirnya, tapi aku memilih untuk menikmati proses selama program 18 bulan ini. Supaya nanti ketika sudah boleh dilepas aku bisa mengenang-ngenang suka duka bersama si kulit kedua ini, hihihi. Menurutku sih “duka” memakai SpineCor itu sedikit sekali. Ada perasaan ketat dan tertarik (mirip seperti ketika kita memakai baju renang/senam), tapi semakin lama semakin terbiasa, dan seperti yang aku sebutkan sebelumnya; SpineCor nyaman untuk digunakan dalam sehari-hari. Kalaupun disiplinku dalam pemakaian SpineCor melonggar biasanya alasannya bukan karena kenyamanan tapi karena malas! Iya, kadang aku ingin cepat-cepat berpiyama sehabis mandi sore, padahal proses memakai SpineCor itu nggak lebih dari 1 menit, lho. Untung saja aku punya beberapa hal yang selalu diingat agar disiplinku kembali lagi ;)

1. Movies!
Pengidap scoliosis itu banyak, lho. Dan yang menggunakan brace juga banyak, termasuk di dalam film. Meskipun hanya acting, tapi melihat mereka juga rasanya seperti melihat diri sendiri! Ingat film Forrest Gump? Meskipun di film nggak disebutkan bahwa Forrest mengidap scoliosis tapi dari perkataan dokter yang menyebutkan bahwa "his back is as crooked as a politician," membuat banyak penonton berasumsi bahwa ia seorang scolioser. Kita memang nggak melihat ia memakai brace untuk punggung, tapi Forrest memakai brace untuk kakinya yang lemah. Masa aku masih malas setelah melihat Forrest yang begitu semangat? :) Selain itu ada juga film-film lain yang tokohnya seorang scolioser dan memakai brace di sepanjang film. Tokoh Joanne (Rumer Willis) di film The House Bunny, atau tokoh Indi (hehehe, iya maksudnya aku yang diperankan oleh Velove Vexia) di film Mika dan masih banyak yang lainnya.

Film yang diinspirasi oleh kisah nyataku "Mika", "The House Bunny" dan "Sixteen Candles". Harusnya lebih banyak film lagi yang menceritakan tentang scolioser untuk mengedukasi masyarakat, ya :)


2. Idols
Idolaku, mendiang Kurt Cobain juga mengidap scoliosis. Interview-interviewnya yang menceritakan tentang perjalanannya dengan scoliosis mengingatkan bahwa sudah seharusnya aku mengusahakan kesehatanku sendiri. Tuhan memang maha ajaib, tapi kalau tanpa usaha itu namanya silly. Orang sekeran Kurt Cobain saja masih mau berlelah-lelah ambil sesi chiropractic, masa sekedar brace yang tinggal dipakai dan nggak harus ke mana-mana saja masih malas :p
(note: googling dengan kata kunci Celebrity with scoliosis. Mungkin teman-teman akan surprise dengan nama-nama yang muncul)

Kurt Cobain, Shailene Woodley, Sarah Michelle Michelle Gellar dan banyak orang hebat lainnya juga scoliosis, lho!

3. Ingat tujuan
Kalau sudah diingatkan oleh idola aku masih membandel, maka yang terakhir ini dijamin sangat ampuh. Memang paling tepat untuk memotivasi ya diri sendiri, nggak perlu bergantung dengan orang lain :) Kalau rasa malas menyerang aku akan sempatkan untuk mengingat-ingat apa tujuan dari pemakaian SpineCor; Aku ingin membaik. Jangan sampai suatu hari aku menyesal karena kalah oleh rasa malas. Beruntung aku berkesempatan untuk memakai SpineCor, brace yang banyak diidamkan oleh para scolioser karena nyaman dan lebih efektif daripada boston brace. Sudah semestinya aku nggak menyia-nyiakan kesempatan  ini ;)

Di balik dress ini aku pakai SpineCor, lho. Nggak terlihat, kan? Dulu waktu pakai boston kelihatan banget apalagi kalau bajunya pas badan :D

Minggu depan jadwal gue review bersama Dr. Natalie di Spine Body Center. Semoga saja hasilnya memuaskan. Scoliosis adalah kelaianan tulang belakang yang membutuhkan kerjasama antara dokter dan pasien. Dokter memberikan terapi yang tepat dan tugas pasien untuk melakukannya. Jadi percuma kalau rajin ke dokter tapi nggak ada usaha dari pasien, hihihi. Mungkin ada di antara teman-teman yang membaca blogku yang juga seorang scolioser. Semoga apa yang aku bagi di sini bisa membantu, at least membuat teman-teman ingat kalau kalian nggak sendirian :) Pesanku untuk scolioser yang kebetulan sedang mampir ke sini, don’t let scoliosis make you down. Khawatir boleh, tapi jangan takut ---nggak bisa disembuhkan bukan berarti nggak bisa dikoreksi, kok. Dan jangan lupa ‘trust’ your feeling. Kalau merasa nggak sreg dengan satu dokter, lebih baik kunjungi dokter lain untuk opini kedua. Kadang-kadang kalau merasa cocok dengan dokternya membuat proses ‘koreksi’ kita lebih cepat, lho. Kalau teman-teman mau bertanya seputar SpineCor dan fisioterapi untuk scoliosis, bisa kunjungi Spine Body Center di APL Tower lantai 25 (samping Central Park Mall) Jakarta atau bisa telepon ke (021) 2933 9295. Siapa tahu kita bisa bertemu di sana dan sharing langsung, hihihi ;)

bukan kurt cobain, lol,


Indi

 ___________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | Contact person: 081322339469

Minggu, 03 Agustus 2014

Tetap Aktif dengan Scoliosis! (Up date Pemakaian SpineCor)


Hai bloggies, bagaimana liburan lebarannya? Atau adakah yang sudah mulai kembali ke aktivitas semula? Apapun, semoga hari kalian menyenangkan, ya :) Amen.

Semenjak memakai SpineCor alias soft brace untuk scoliosis gue, banyak sekali yang bertanya tentang perkembangannya. Well, sebenarnya aku sudah berjanji akan selalu meng-update nya di sini, tapi ternyata cukup banyak juga yang nggak sabar menunggu dan bertanya langsung lewat private message, hehehe. Jadi sekarang aku akan share tentang pengalaman gue setelah 1 bulan pemakaian SpineCor :)

Jika belum tahu apa itu SpineCor, silakan lihat ini.

Aku masih ingat waktu pertama kali dokter memintaku untuk memakai brace. Waktu itu gue masih 13 tahun dan brace yang kupakai adalah tipe Boston. Keras dan menutupi seluruh badanku, dari dada sampai pinggul. Bentuknya yang kaku membuat brace susah untuk “disembunyikan” di balik baju. Lekuk tubuhku juga jadi tampak nggak natural. Hampir semua orang yang bertemuku ---meskipun baru sebentar--- langsung sadar bahwa aku memakai brace. Semangatku  untuk disiplin mamakai brace pun jadi on and off. Saat di rumah aku nggak bermasalah untuk memakainya sepanjang waktu (brace harus dipakai 23 jam sehari), tapi lain lagi jika aku sedang di sekolah. Aktivitas yang padat dan membuatku banyak berkeringat membuatku merasa nggak nyaman. Rasanya seperti di sauna permanen, hehehe. 

Sesuai dengan nasehat dokter aku mamakai brace selama masa pertumbuhan tulang,  yang artinya sepanjang 5 tahun sebelum aku berusia 18 tahun. Keberhasilan Boston brace ini memang berbeda-beda pada setiap scolioser dan padaku, too bad kurvaku malah bertambah dari 30 an ke 40 an... Malah di usia dewasa kurvaku sempat mencapai 58 derajat! 
Dokter berkata brace sudah nggak ada gunanya jika tulangku sudah berhenti tumbuh, jadi yang bisa aku lakukan untuk menjaga kurvaku hanya tinggal terapi yang lain seperti berenang, fisio terapi, dan tentu saja jalan terakhir ketika kurva sudah melebihin 40 derajat: Operasi.
Operasi bukan pilihanku, jadi aku mengikuti berbagai terapi fisik baik di Rumah Sakit sampai terapi chiropractic. Chiropractic  memberikan rasa nyaman pada tulang belakangku, tapi kurvaku sama sekali nggak berkurang.

Setelah mendengar tentang SpineCor aku langsung bersemangat untuk mencobanya. Bukan hanya karena banyak selebriti dengan scoliosis yang memakainya tapi karena ini satu-satunya tipe brace yang masih bisa dipakai untuk tulang yang sudah berhenti tumbuh (mature). Aku langsung optimis di hari pertama memakainya, karena selain terasa nyaman, postur tubuhku pun secara instan terasa lebih baik. Apalagi 1 minggu setelah pemakaian hasil x ray menunjukan kurvaku (with brace on) berkurang sebanyak 12 derajat. Yang artinya menjadi kurva “aman” dari operasi!

Kalau dipakai di balik baju SpineCor nggak terlihat, lho. Bahannya juge elastis, nyaman dipakai :)

SpineCor sangat jauh berbeda dengan Boston brace. Bentuknya mengikuti lekuk tubuhku dan tersembunyi dengan baik di balik baju. Gerakan tubuh pun menjadi nggak terbatas. Aku benar-benar bisa beraktivitas sambil memakai SpineCor. Aku bekerja di preschool sambil memakainya. Mengejar anak-anak, jongkok-berdiri sampai berayun di swinging ball pun nggak masalah. Begitu juga dengan kegiatanku sebagai penulis. Aku sangat terbantu dengan SpineCor. Harus duduk berjam-jam di depan komputer sambil mengetik dulu sangat menyiksa, tapi sekarang nyeri punggung dan kesemutanku banyak berkurang :)

Aku pakai SpineCor, lho. Nggak terlihat, kan? ;)


Untuk teman-teman scolioser pasti mengerti mengapa berkurangnya kurva bukan satu-satunya goal. Berkurangnya rasa sakit juga salah satu faktor yang dicari dari sebuah terapi/pengobatan, karena terkadang rasa sakit mengganggu produktifitas kita yang memiliki hidup yang aktif. Berbeda kurva dan tipe, berbeda pula rasanya. Aku sendiri sering mengalami kesemutan di tubuh bagian kanan dan nyeri di punggung atas. Kalau sudah begitu mau nulis pun kurang konsentrasi. Padahal pekerjaanku penulis, ya, hehehe. 

Selama 1 bulan ini SpineCor sudah menjadi bagian dari aktivitasku sehari-hari. Setiap habis mandi aku langsung memakainya dan bekerja seperti biasa. Teman-temanku pun nggak ada yang tahu bahwa aku memakai brace. Kecuali kalau kuberitahu, ya :p Tubuhku rasanya semakin fit dan tentu saja menjadi lebih produktif. Sepulang dari preschool yang biasanya langsung mendarat di tempat tidur, sekarang langsung ambil tali leher dan baju Eris. Yup, aku ajak dulu Eris berjalan-jalan sebelum aku beristirahat! :)

Awalnya karena belum tahu sejauh mana ketahanan tubuhku, aku ajak Eris berjalan-jalan di sekitar lingkungan rumah saja. Tapi setelah beberapa kali percobaan dan aku nggak memiliki keluhan, aku mengajaknya berjalan-jalan ke tempat yang lebih jauh. Aku berkeringat dan kelelahan, tapi hebatnya nggak ada rasa pegal atau kesemutan, semuanya lancar. Well, terakhir aku merasa seperti ini sepertinya waktu SMP. Long long time ago, ya...

Mau jongkok atau berdiri tetap nyaman :)

Karena tubuh fit, waktu berkualitas dengan Eris pun semakin banyak :)

Untuk memastikan bahwa apa yang kurasakan bukan sekedar sugesti, aku mengecek kembali keadaanku ke dokter. Berhubung Dr. Natalie sedang cuti melahirkan, jadi aku ditangani oleh Dr. Irma. Guess what, setelah aku surprise dengan kemajuan setelah pemakaian 1 minggu, sekarang ada lagi kabar gembira. Kemiringan tulang belakangku yang tadinya 20 mm sekarang tinggal 2 mm saja! Memang sih aku belum kembali x ray (jika terlalu sering nggak baik untuk kesehatan), tapi Dr. Irma memeriksanya dengan seksama dan hasilnya membuatku semakin optimis dan semangat untuk terus menggunakan SpineCor :)

Ini baru bulan pertama dan aku excited sekali dengan perkembangan yang akan kudapat. Bahkan dengan operasi scoliosis nggak bisa dikoreksi 100%, jadi aku rasa SpineCor sangat patut diberi kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup scolioser, tua dan muda. Aku harap semakin banyak yang tahu tentang SpineCor. Seorang temanku yang kurvanya sudah 70an derajat pun baru-baru ini memakainya dan kurvanya sekarang sudah berkurang 8 derajat. Benar-benar mematahkan “mitos” yang berkata bahwa bracing hanya efektif untuk kurva di bawah 40 derajat. Yup, ada harapan baru untuk scolioser ;)

Bulan depan aku akan kembali memeriksakan tulang belakangku, sekaligus melihat sejauh mana SpineCor membantuku. Jika teman-teman tertarik dengan SpineCor atau mau tanya-tanya dulu, silakan kunjungi Spine Body Center di APL Tower lantai 25 (sebelah Central Park Mall) Jakarta Barat. Atau bisa menelepon terlebih dahulu ke 021-2933 9295. Staff Spine Body Center pasti dengan senang hati membantu kalian :)

Miracle girl,

Indi

__________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | Contact person: 081322339469

Senin, 02 Juni 2014

Hope for Scolioser :)

Syukuran sederhana berkurangnya kurva scoliosis gue :)
Pernah nggak kalian mengalami sesuatu yang kalian pikir nggak akan mungkin untuk dialami sama diri sendiri? No, no, no, ini bukan seperti waktu gue berumur 7 tahun bermimpi untuk bertemu the greatest rock band ever, Aerosmith dan ternyata terwujud 20 tahun kemudian. Tapi gue bicara tentang sesuatu yang sudah divonis mustahil atau kalaupun ada kemungkinan itu keciiiiil sekali. Nah, gue baru saja mengalaminya. Bahkan sambil mengetik tulisan ini pun gue masih belum sepenuhnya percaya karena... mungkin jika ada orang yang posisinya sama seperti gue dan membaca tulisan ini mungkin menganggap too good to be true.

Ini tentang scoliosis. Iya, tentang kelainan tulang belakang yang didiagnosa saat gue berusia 13 tahun dan membuat gue memakai boston brace selama 5 tahun, setiap hari selama 23 jam per hari. Setelah brace dilepas karena tulang gue sudah mature, kurva scoliosis gue memiliki kelengkungan 52 derajat. Pasti setiap scolioser sudah mendengar tentang ini dari dokter, bahwa kurva di atas 40 derajat disarankan untuk mengambil tindakan operasi. Setelah 5 tahun penggunaan brace ternyata kurva gue masih tetap di atas batas “aman” dari pisau bedah. Apalagi setelah tulang gue mature kemungkinan untuk berkurangnya kurva lewat jalan lain selain operasi (baca: bracing, fisioterapi, dll) katanya sudah nggak ada. Good news nya, kemungkinan besar kurva gue nggak akan bertambah buruk. Meski sebenarnya di atas 50 derajat itu rasanya benar-benar nggak nyaman (gue nggak mau bilang buruk, ya, lol).



Meski begitu gue sebisa mungkin menghindari operasi. Proses penyembuhan yang memakan waktu, resiko dan tentu saja biaya menjadi pertimbangan gue. Mengabaikan kata-kata dokter yang menyatakan bahwa “kalau tulang sudah mature tapi kurva mau berkurang ya harus operasi”, gue mencari terapi alternatif. Eh, tapi bukan berarti di luar medis, ya. Maksudnya gue mencari terapi untuk merawat scoliosis gue secara aman dan hasilnya bisa dipertanggung jawabkan. Perjalanan gue dimulai dengan mencoba chiropractic. Awalnya dari Canadian berganti ke Japanese chiropractic. Hasilnya baik, rasa sakit gue berkurang banyak dan siklus menstruasi gue pun menjadi lancar. Tapi sayangnya setiap kali gue libur terapi rasa sakitnya kembali dan setelah melakukan x ray, kurva gue ternyata nggak berkurang.

Banyak yang salah mengartikan bahwa sembuh dari scoliosis = tulang punggung yang lurus. Padahal scoliosis sendiri bukan penyakit, tapi kelainan. Dan kelainan tentu saja nggak bisa disembuhkan, tapi bisa diminimalisir. Bahkan ada beberapa dokter yang berkata jika tulang belakang bengkok sampai 15 derajat, itu nggak bisa dikategorikan sebagai scoliosis karena nggak ada anatomi tubuh manusia yang benar-benar lurus. Bahkan dengan operasi scoliosis pun tetap akan menyisakan sekian derajat, tergantung dari usia pasien dan seberapa besar kurva sebelum operasi. Makanya yang gue cari adalah terapi untuk meminimalisir kurva dan rasa sakitnya, seenggaknya sampai kurva gue di angka “aman”, tanpa perlu melakukan operasi :)



Dan gue pun menemukan spinecor (baca lengkapnya di sini), sebuah soft brace yang bisa dipakai oleh scolioser yang bahkan sudah bertulang mature (bahkan manula!). Bentuknya elastis dan dipakai dibalik baju, berbeda sekali dengan Boston brace yang sebelumnya gue pakai. Jika Boston brace lebih sering disebut sebagai brace yang bisa mempertahankan kurva, spinecor ini malah katanya bisa mengurangi kurva. Jadi pada tanggal 16 Mei oleh Dr. Natalie dari Spine Body Center gue dipasangi spinecor yang harus dipakai selama 6 jam perhari. Untuk memastikan gue diminta untuk x ray, dan hasilnya tentu saja gue masih stuck di 52 derajat, hehehe. Gue diminta untuk kembali lagi 7 hari kemudian dengan membawa hasil x ray terbaru.  Rasanya harap-harap cemas. Boston brace yang kerasnya minta ampun saja nggak berhasil membuat kurva gue berkurang di usia remaja. Bagaimana dengan spinecor yang rasanya lembut dan dipakai di usia dewasa ini?


Dan ternyata miracle happen! Setelah diukur sebanyak 3 kali ---karena gue nggak percaya dengan hasilnya---, kurva gue berkurang 12 derajat. Dari 52 ke 40! Gue hampir menangis waktu mencoba ukur sendiri dan hasilnya tetap nggak berubah. Terharu... Karena gue tahu bahkan dengan operasi pun pasti menyisakan sekian derajat. Dan kurva scoliosis gue berkurang 12 derajat TANPA operasi. Praise the Lord! :’) Dr. Natalie berkata bahwa setiap pasien pasti hasilnya berbeda-beda, tergantung usia, besarnya kurva dan lain sebagainya. Gue bisa berhasil karena kedislipinan gue memakai spinecor. Gue memakainya sesuai aturan sehari, saat bekerja, menulis bahkan bermain dengan Eris. Ternyata benar apa yang dikatakan Dr. Natalie, dengan spinecor semakin banyak bergerak justru membuat hasilnya lebih maksimal :)

Sebagai ungkapan rasa syukur, ketika sudah di Bandung gue mengundang Ray untuk mengadakan syukuran bersama. Ray membawakan gue kue tart dan gue menyiapkan cemilan untuk berdua. Sederhana, tapi yang penting ada sesuatu yang bisa dikenang. I love celebrating something, meskipun sebuah pencapaian kecil karena membuat semangat gue jadi terpacu. Dan gue sama sekali nggak pernah menyangka akan merayakan berkurangnya kurva gue. Yay, 40 derajat! Sudah di batas aman pisau bedah, hehehe. Thank God :)

Ray sedang menikmati kue tart :)

Me and my Ray. We're really thanking God! :)

Gue mau menikmati masa-masa pencapaian ini dulu, tapi bukan berarti gue akan berhenti berusaha. Perjalanan gue masih panjang, masih 18 bulan lagi sampai brace gue bisa dikurangi frekuensi pamakaiannya. Dengan hasil seperti ini gue semakin optimis dan semangat memakai spinecor. Dokter dulu memang pernah bilang bahwa tulang gue yang sudah mature ini nggak bisa dikurangi kurvanya kecuali dengan jalan operasi, tapi ternyata spinecor bisa. Menjadi seorang solioser memang bukan hal termudah di dunia, tapi selalu ada jalan. Dan spinecor lah jalan gue :)

Sebelum bracing dan setelah bracing, 7 hari kemudian :)

Gue merasa blessed sudah menemukan spinecor dari Spine Body Center. Harganya memang nggak murah, tapi hasilnya sepadan. Gue bisa menjadi lebih produktif dan bugar. Lagipula jika dibandingkan dengan biaya operasi, spinecor jauuuh lebih terjangkau ;)
Jika ada teman-teman yang membaca post ini seorang scolioser atau mengenal seseorang yang scoliosis, coba deh sarankan untuk ke Spine Body Center di APL Tower lantai 25 (sebelah Central Park Mall) di Jakarta. Atau bisa telepon dulu ke 021-2933 9295. Jangan dulu takut atau menyerah karena usia dan besarnya kurva. Selalu ada harapan! :)


Blessed girl,


Indi

_______________________________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | Contact person: 081322339469

Senin, 19 Agustus 2013

"Scolioser" Meeting :)

Halo, halo, halooo bloggies! Hahaha, gue menulis ini di hari terakhir libur pre school, lho. Kinda lazy to work, rasanya masih pengen liburan (karena gue nggak benar-benar libur, ada pekerjaan lain, sniff). But, well, gue kangen sama anak-anak :)  Jadi sambil menunggu "the day" lebih baik gue menceritakan dulu apa yang sudah gue alami kemarin. Karena setelah mulai bekerja pasti akan ada banyak cerita baru :)

What I wore? Dress and hair bow: design by me | Shoes: Gosh

Kemarin, waktu 17 Agustus (happy birthday, Indonesia!) adalah hari yang menyenangkan buat gue. Akhirnya gue bertemu langsung dengan seorang teman yang sebelumnya hanya berkomunikasi lewat telepon dan internet. Namanya Iin, atau biasa gue panggil Inis, akronim dari nama lengkapnya. Perkenalan gue dan Iin terjadi dengan cara yang cukup unik, yaitu dengan peran dari followers gue di twitter! Hehehe, kalau biasanya orang berkenalan karena saling follow atau berteman di facebook, gue dan Iin justru belum pernah menemukan akun satu sama lain.


Gue masih ingat betul bagaimana kejadiannya. Di suatu sore gue dan Ray berjalan-jalan, menunggu waktunya dinner. Lalu handphone gue berbunyi cukup sering, hingga membuat gue penasaran untuk meliriknya. Ternyata ada puluhan mention masuk ke akun gue dengan isi yang hampir sama, "Indi, ada pengidap scoliosis ikut audisi di X Factor." Gue ingin segera menontonnya, tapi sayang di mall tempat kami berjalan-jalan hanya ada TV yang memutar siaran luar negeri. Syukurlah gue ingat kalau X Factor mempunyai channel youtube sendiri, jadi gue lega karena bisa menonton tayangan re-run nya di rumah.

Keesokan harinya gue langsung menemukan rekaman audisi Iin. Waktu itu yang gue pikir adalah, "wow, this girl is really great!" dan nggak ingat kalau sebelumnya orang-orang mengenalkannya kepada gue karena sama-sama mengidap scoliosis. Sebagai ungkapan rasa kagum gue tinggalkan sebuah komentar di sana. Meskipun tahu ini bukan akun Iin, tapi seenggaknya X Factor tahu bahwa dukungan terhadap salah satu kontestannya bertambah 1 suara, hehehe. Sebelum log out, iseng-iseng gue membaca komentar-komentar yang lain. Salah satunya ada yang mencantumkan akun twitter Iin. Gue lalu putuskan untuk menyimpannya meskipun belum terpikir untuk menghubunginya. Siapa tahu nanti kita bisa berteman, begitu gue pikir.

Setelah beberapa hari tersimpan di memory handphone, akhirnya gue putuskan untuk menghubungi Iin. Just a simple message:
"Hai Inis, aku Indi. Aku juga scolioser. Salam kenal." 
Lucky me, ternyata saat itu ia sedang online dan langsung membalas pesan gue. Terjadi percakapan singkat dan beberapa menit kemudian kami sudah saling follow :) Selama perkenalan di twitter itu kami nggak pernah membicarakan tentang scoliosis, hanya sapaan-sapaan ringan yang cukup membuat gue tersenyum. Waktu itu film Mika (yang diambil dari novel pertama gue, "Waktu Aku sama Mika") belum tayang di bioskop dan Iin baru saja lolos jadi peserta X Factor.

Setelah film Mika tayang secara umum gue mulai sibuk untuk mempromosikannya. Gue senang sekali karena tanggapan penikmat film Indonesia sangat positif. Nggak menyangka, ternyata Iin juga tertarik untuk menontonnya. Gue menerima pesan di inbox twitter yang berisi bahwa teman-temannya menganjak ia menonton film Mika karena tokoh Indi (gue, lol) mengingatkan mereka padanya. Gue nggak sabar menunggu kabar dari Iin setelahnya, gue ingin tahu apakah ia menyukai filmnya atau nggak. Karena mendengar pendapat dari seseorang yang juga mengidap scoliosis pasti akan terasa lebih 'akrab' bagi gue.

Dan yup, akhirnya sebuah kabar menyenangkan datang. Iin menyukai filmnya dan mengajak gue bertukar nomor handphone. Lebih menyenangklan lagi Iin ternyata merasa bahwa apa yang digambarkan di film sangat real. Ia juga merasakan apa yang gue rasakan ketika harus memakai brace dan bagaimana terbatasnya aktivitas sehari-hari. Meski belum pernah bertemu gue merasa Iin teman berbicara yang mengasyikan. Percakapan kami pun semakin berkembang, dari scoliosis kami menemukan persamaan lain yaitu kami sama-sama suka desain! Bukan itu saja, kami sama-sama suka binatang. Iin suka kucing dan anjing, sedangkan gue, seperti yang sudah kelihatan... I'm a dog person, hehehe :p

Semakin sering kami mengobrol, semakin besar juga keinginan untuk bertemu. Sayangnya sulit sekali menemukan waktu yang pas. Kami berdua sama-sama nggak tinggal di Jakarta. Dan uniknya meskipun pekerjaan kami menuntut harus cukup sering ke sana, waktunya selalu berlainan. Akhirnya, kemarin gue putuskan untuk menyempatkan menemuinya. Liburan gue nggak lama lagi selesai dan Iin juga hanya bisa berada di Jakarta sampai tanggal 25 Agustus. 

Jadi dengan persiapan seadanya gue ke Jakarta diantar Bapak. Berbekal 1 buah mini suitcase yang di dalamnya ada novel Karena Cinta itu Sempurna oleh-oleh untuk Iin, kami pergi jam 11 pagi. Syukurlah karena masih suasana liburan jalanan nggak terlalu macet. Tapi cuaca sedang panas-panasnya. AC di mobil nggak cukup untuk membuat gue bebas dari keringat. Kening dan telapak tangan gue basah sekali. Sampai-sampai begitu ada mall terdekat kami berhenti dulu dan gue cuci muka di sana, hahaha. Padahal, tempat kami janjian nggak jauh lho sama Slipi Jaya, mall tempat gue cuci muka. Tapi namanya juga sudah nggak tahan :p

facial wash etc, water bottle, KARENA CINTA ITU SEMPURNA, towel dan iphone :)

Sekitar jam 2 siang akhirnya gue dan Bapak sampai di Central Park. Lucunya butuh waktu lebih dari 30 menit untuk kami masuk ke dalam mall. Gedung parkirnya penuuuuh sekali, dan kami kebagian di lantai 10, hahaha. Iin sudah ada di sana sejak jam 12 dan itu membuat gue merasa nggak enak :( Syukurlah setelah 2 kali salah lantai (2 orang security=2 keterangan berbeda, lol) gue bertemu dengan Iin yang sedang duduk di foodcourt. Yaiy! Nggak nyangka akhirnya kami bertemu juga :)

Bertemu dengan Iin secara langsung lebih seru daripada lewat telepon. Meski ini adalah pertemuan yang pertama tapi percakapan kami langsung seru. Sebelum gue datang ternyata Iin habis beli baju lucu untuk kucingnya Cleo. Karena ia juga suka anjing jadi gue tunjukan foto Eris, anjing golden retriever gue yang selalu kelihatan seperti puppy, hehehe. Selain sama-sama suka binatang dan scoliosis ternyata kami juga punya persamaan lain, yaitu: punya masalah gigi! Ya, ampun ternyata kami sama-sama harus menghadapi pisau bedah gara-gara gigi kami bandel. Gigi depan Iin nggak mau turun (tumbuh ke bawah) sedangkan gue, gigi geraham belakang tumbuh ke arah yang salah sehingga harus dibedah. Uh, membicarakannya saja sudah buat kami ngilu, hehehe.

Us :)

Meskipun kami mengobrol santai, tapi soal scoliosis kami membicarakannya cukup serius. Kami sama-sama divonis di usia 13 tahun dan kurva kami di atas 50 derajat yang artinya masuk dalam kategori berat. Gue 58 derajat dan Iin 54 derajat. Kami sama-sama aktif dan mempunyai aktivitas normal (atau malah lebih dari normal? Lol), sangat menikmati itu tapi juga nggak bisa bohong bahwa rasa sakitnya sering mengganggu. Iin menyayangkan bahwa fasilitas perawatan scoliosis di Makassar masih sangat terbatas. Kami memakai Boston brace dengan harga yang hampir sama (punya gue lebih murah) tapi kualitasnya berbeda. Punya gue kelihatan jauh lebih baik, dan tentu saja untuk pilihan terapi gue juga punya lebih banyak karena tinggal di Bandung.

Padahal, menurut Iin di sekolahnya dulu bukan hanya ia yang mengidap scoliosis. Tapi yang lain memilih membiarkannya saja, nggak ditangani karena nggak tahu bahwa bracing dan fisioterapi bisa membantu. Berutunglah Iin mempunyai keinginan kuat untuk "sembuh" (baca: membaik) dan mencari tahu tentang penanganan yang tepat. Mumpung di Jakarta ia juga mencari tempat terapi dan jika ternyata harus pakai brace Iin ingin yang lebih fashionable.

Meski nggak langsung menyadari, tapi semakin dewasa gue semakin sadar bahwa scoliosis bukan akhir dari segalanya. Meski nggak bisa disembuhkan tapi scoliosis bisa dirawat agar kurvanya nggak bertambah atau malah berkurang. Gue dan Iin punya harapan bahwa suatu hari penanganan untuk scoliosis ada di mana-mana, nggak hanya di kota besar. Dan kami heran kenapa desain brace itu sangat nggak menarik, ya? Hehehe. Padahal sebagian besar pengidapnya adalah perempuan yang biasanya terdeteksi di usia remaja. Gue dan Iin jadi punya cita-cita untuk menjadi desainer brace. Gue mau bikin brace bermotif, dan kata Iin minimal setiap scolioser harus punya 3 brace dengan warna berbeda supaya bisa di match dengan baju yang dipakai. Amen for that! :p
Ide menjadi desainer brace mungkin terdengar konyol, tapi menurut kami alasan kenapa banyak scolioser remaja yang menolak memakai brace bukan hanya karena nggak nyaman, tapi juga karena warnanya nggak menarik. Gue harap suatu hari kami menwujudkan ini hingga semakin banyak scolioser yang percaya diri memakai brace setiap hari :) 



Pertemuan dengan Iin membuat perasaan gue semakin positif. Gue selalu percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan fungsinya masing-masing. Nggak ada yang kekurangan, karena kekurangan fisik hanya di mata manusia, bukan di mataNya. Iin adalah contoh nyata, dan gue yakin masih banyak orang sepertinya di luar sana. Beberapa mungkin sudah yakin dengan kemampuan diri, tapi beberapa lagi harus diingatkan, seperti Iin yang mengingatkan gue dan sebaliknya.

Jam 5 sore gue dan Bapak pamit pulang. Meski singkat tapi pertemuan dengan Iin terasa berkesan. Sebelum benar-benar berpisah gue memberikan novel Karena Cinta itu Sempurna padanya. Novel itu berisi perjalanan hidup gue, termasuk proses pencarian terhadap penanganan scoliosis yang panjang. Gue harap sama seperti filmnya, buku itu akan membuatnya merasa nggak sendirian. Kami berfoto beberapa kali, berpelukan singkat dan dalam beberapa menit gue sudah berada di dalam mobil, di perjalanan menuju Bandung. Sambil melepaskan sepatu dan memejamkan mata berharap bisa beristirahat selama 3 jam perjalanan, gue memikirkan tentang ide yang gue dan Iin bicarakan. Kami sudah melawan keraguan terhadap diri sendiri sampai sejauh ini. Jika selanjutnya membuat brace fashionable untuk scolioser, kenapa nggak? Sepertinya nggak ada yang nggak mungkin jika kami berusaha dan berdoa. 

Jadi, kapan kita mulai desain brace nya, Iin? ;)


nb: Scoliosis can be upsetting and depressing diagnosis. Tapi bukan berarti menghalangi pengidapnya dari kesuksesan. Contohnya Liz Taylor, Kurt Cobain, Linda Blair, Liza Minelli, Sarah Michelle Gellar... dan siapa mau jadi selanjutnya? ;)


cheers,

Indi
Vote gue di GOSH photo contest. klik di sini :) 

____________________________________________________
My twitter: here | My facebook: here | Contact me: 081322339469 

Jumat, 15 Juli 2011

Pelajaran Baru :)

It's weekend already? Ya, ampuuun... Nggak terasa ya teman-teman blogger sekarang sudah akhir minggu lagi! :D So how's your weekdays going? Aku harap fun and fine, ya... Aku sendiri berjalan seperti biasa, masih dengan kerjaan yang sama, kesibukan yang sama, kesantaian (ini betul nggak sih dalam Bahasa Indonesia? Lol) yang sama, juga ke'asyik'an yang sama. So far so good :)

Sekarang aku mau cerita soal kemarin, tepatnya hari Kamis tanggal 14 Juli lalu. Jadi sejak 2 bulan lalu aku ganti tempat terapi (aku mengidap scoliosis 55 derajat). Yang tadinya di Canadian Chiropractic jadi di Japanese Chiropractic. Alasannya sih sederhana, aku ingin terapi yang lebih ringan (It was so tiring, badly...) tapi dengan hasil yang optimal. Akhirnya setelah googling sana-sini dan dapet rekomendasi dari salah satu acara TV, aku memutuskan untuk mencoba Japanese Chiropractic. Dan seperti biasa, aku kemarin diantar Bapak untuk terapi. Di perjalanan aku mau dengar CD, tapi tanpa sengaja yang menyala malah DVD player. Heran, siapa yang masukin DVD kesini, apalagi ini DVD film "Hachiko"... Waktu aku tanya Bapak, katanya tadi pagi ada yang servis DVD player mobil, nah waktu Bapak diminta cobain sudah betul atau belum, secara random Bapak ambil DVD "Hachiko"! Duh, duh... padahal aku mencoba hindari film ini, soalnya meski sudah 3 kali nonton tetap saja nangisnya sampai banjir, huhuhu...

Terpaksa aku dan Bapak nonton Hachiko sepanjang perjalanan yang lumayan jauh (baca: Bapak curi-curi nonton karena sambil nyetir, hahaha), soalnya kotak CD tertinggal di garasi dan film ini cuma satu-satunya yang ada di mobil. Lama-lama kami menikmati juga, ya kami coba lihat sisi baiknya saja, seenggaknya versi Richard Gere ini nggak se "menyiksa" versi Jepang (aku trauma 3 hari 3 malam gara-gara film itu, inget terus sama si Veggie anjingku yang ada di surga, hiks...), lol. Bapak bilang, beliau kagum sekali dengan si Hachi, soalnya selain bisa melindungi tuannya dia juga anjing yang loyal. Aku sih cuma manggut-manggut saja. Setuju, juga nahan senyum teringat Eris, adiknya Veggie yang loyal tapi sayangnya penakut, hihihi.


Hachi lagi tiduran gara-gara ditinggal tuannya pergi, hiks.


Japanese Chiropractic di Jl. Cihampelas Bandung.



Nggak terasa perjalanan satu jam selesai juga, kami sampai di tempat terapi dengan tepat waktu (terlambat 10 menit, sih, tapi nggak apa, lol). Aku keluar mobil dengan sedikit malu-malu, pasalnya ini percobaan pertama aku pakai dress dipadukan dengan kaos kaki, hihihi. Sebetulnya aku nggak maksud eksperimen, sih. Tapi di tempat terapi ini memang diwajibkan pakai kaos kaki supaya mempermudah sesi terapi. Aku sempat ngaca sebentar di spion mobil, dress Greeny  Day dipadukan dengan kaos kaki hadiah dari Ray (khusus dalam rangka "selamat terapi di tempat baru", lho) ternyata OK juga. Ini juga didukung dengan komentar Bapak yang bilang, "Bagus, kok" begitu melihat wajah pede nggak pedeku, hehehe :D


Dress Greeny Day dari Toko Kecil Indi.





Terapisku ini orang Indonesia, btw. Iya, lokal nggak seperti kebanyakan chiropractor yang biasanya "impor", lol. Tapi tetap dia kuliah chiropractic di Jepang, bukan abal-abal karena di ruang prakteknya tergantung ijasah diploma, hehehe.
Kali ini sesi terapi nggak berjalan seperti biasanya, kami banyak sekali mengobrol. Aku bercerita kalau di perjalanan kami menonton "Hachiko" lagi untuk keempat kalinya. Dari situ dengan cepat cerita berkembang, terapisku menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun di Jepang. Di sana, dia hidup sangat sederhana karena menjadi satu-satunya mahasiswa yang berasal dari Indonesia. Jangankan keluarga, teman satu negarapun nggak ada yang bisa "membantunya" di sana. Suatu hari, terapisku bertemu dengan anjing Akita yang sangat besar (Akita itu jenis anjing seperti Hachiko), meski dia tahu bahwa Akita adalah anjing yang bertempramen nggak begitu baik (they’re not a family dog seperti Golden Retriever, dll), tapi dia penasaran dan mencoba memanggilnya. Ternyata seiring berjalannya waktu mereka mulai bersahabat, malah pemilik anjing Akita tersebut mengizinkan terapisku untuk membawanya pulang dan memeliharanya. Sayang, karena keterbatasan tempat dan biaya untuk makan (anjing sebesar itu butuh 4 cup dog food perhari sepertinya, hehehe) dia pun menolak untuk mengadopsinya.

Aku selama ini nggak pernah tertarik dengan Jepang, menurutku, aku belum terlalu mengenal negara sendiri jadi buat apa aku mempelajari negara lain? Aku sudah cukup puas menjadi warga negara Indonesia meskipun nggak tulen-tulen amat (yes, my grandma has Chinese blood, that’s why my skin is so pale and my eyes are so small, lol). Pengetahuanku tentang Jepang cuma satu: di sana ada sekelompok orang yang suka cosplay dan aku BENCI kalau terus-terusan ditanya, "Kamu suka cosplay, ya?" cuma gara-gara aku sering pakai dress+stocking (baru tahu aku kalau Ksatria Baja Hitam suka pakai kostum kayak aku, hahaha).
Tapi ternyata dengan mengenal aku bisa belajar. Contoh sederhananya saja Hachiko, aku jadi bisa belajar soal kesetiaan. Well, mungkin kalian pikir setiap anjing itu loyal, they will do anything for her/his man, gitu kan? Eits, ini Akita lho! Ada yang tahu tempramennya? Please googling dulu dan kalian akan surprise betapa "manis"nya si Hachiko ini dibanding teman-teman satu rasnya. Ternyata Akita yang sebegitu kerasnya juga bisa turunin egonya demi tuan tersayang. Kenapa kita yang manusia nggak bisa seperti dia? :)

Cerita berlanjut ke soalnya lain, masih inget aku sempat (sering, ding! Lol) mengeluhkan tentang minimnya fasilitas difabel di Indonesia? Nah, terapisku cerita kalau di Jepang banyak sekali aturan "nggak tertulis" yang memudahkan para difabel (different ability people, iya, termasuk aku). Jadi di stasiun kereta (asik amat ya di Shibuya ada patung Hachiko, mau dong difotoooo) di sana ada banyak eskalator, nah secara nggak tertulis masyarakat di sana sudah bikin aturan kalau pegangan sebelah kiri berlaku untuk orang-orang yang lagi nggak terburu-buru (hanya berdiri diam di atas eskalator), nah pegangan yang kanan khusus untuk orang-orang yang memang memutuskan berjalan meski di atas eskalator. Keren, kan? Jadi nggak akan ada lagi yang "tabrakan" dan yang nggak bisa jalan cepat nggak perlu merasa "diteror" dari belakang (pengalaman pribadi aku ini mah, hahaha). Sederhana, tapi efektif. Padahal kalau Indonesia niat, mudah banget kan menirunya? Ayok ditiru (dimulai dari aku, semoga nggak ada yang protes dan teriak "Woi, minggir-minggir" dari belakang).
Hebatnya lagi, eskalator tangganya bisa berubah jadi flat, lho (itu kayak yang di mall-mall, hehehe). Jadi kalau ada berkursi roda mau lewat situ, operator tinggal pencet 1 tombol dan tadaaaa, eskalator seketika bisa jadi wheelchair access! :D Kalau sudah gitu, konon katanya orang lain yang kakinya masih sehat pasti langsung pindah ke tangga tanpa dikomando. Waw, hebat! Disiplin dan toleransi sekali ya :)

Keasyikan cerita, sesi terapi yang harusnya memakan waktu 2 jam ini pun melar jadi 3 jam, hihihi. Tapi ini nggak masalah karena aku pasien terakhir. Masih banyak sebetulnya cerita yang terapisku bagi soal Jepang (soal pasar tradisionalnya, tempat potong rambutnya, kampusnya, dll), tapi dua cerita ini saja aku rasa sudah cukup "menjelaskan" kenapa aku bisa belajar sesuatu dari mengenal. Aku rasa inilah yang disebut open minded. 

Kita jangan menjudge sesuatu sebelum mengenal terlebih dahulu. Kita harus coba meluangkan waktu sebentaaaar saja untuk berkenalan dengan sesuatu atau at least mengintip karena dari situ kita dapat belajar.

Seperti sesi terapi kali ini, siapa yang sangka dari terapi rutin ini aku bisa mendapat ilmu baru? *wink*



nb: Ada yang pernah perhatikan nggak kalau snack Tao Kae Noi (nori alias rumput laut) ini unik banget? Dari namanya memang Hokkien abis, tapi bahan-bahannya dari Jepang (nori kan ada di hampir semua masakan Jepang) tapi produksinya di Thailand! Hahaha, just found out. Ternyata selama ini aku sering makan tanpa baca kemasannya :D

sweetest smile,

INDI



do not copy any design by toko kecil indi. thanks :)

Senin, 24 Januari 2011

Keajaiban untuk Indi :)

Sekecil apapun keajaiban selalu terjadi, setiap hari. Aku percaya.
Bagaimana dengan kalian?
:)





Hari ini sama seperti hari minggu sebelum, sebelum dan sebelumnya. Gua harus pergi terapi ke klinik yang jaraknya 30 menit ---40 menit kalau macet--- dari rumah. Cuaca agak mendung, jadi aku putusin untuk pakai baju panjang dan bawa minyak telon (sebetulnya sesuai isi SMS Ray yang ingetin supaya aku pakai sesuatu yang hangat, hihi).
Setelah mampir dulu di rumah nenek yang lagi sakit (getwell, Nek :)), aku sampai di tempat terapi jam 5 sore. Nggak lupa aku bawa foto hasil rontgen kemarin.
Dalem hati deg-deg'an juga, berdoa, semoga hasilnya baik---at least scoliosisku nggak bertambah parah, amen...



My cute purple OOTD.



Seperti biasa aku langsung exercise dan setelahnya menunggu giliran treatment sambil ditemani Ray. Kami ngobrol-ngobrol nggak jelas. Temanya pindah-pindah, dari mulai Oprah Winfrey, bath up aneh berbentuk ulekan yang kami lihat di majalah, acaranya dr. Phil, sampai ujung-ujungnya ngomongin scoliosisku...
Aku bilang sama Ray kalau aku deg-deg'an berat dengan sesi terapi kali ini. Aku khawatir kalau tulangku bertambah parah dan aku bakal freak out karena nggak bisa nerima kenyataan (nah, yang ini lebay, hihihihihi).
Ray tenangin aku. Katanya, dia yakin kalau tulangku baik-baik aja dan nggak memburuk karena aku rajin terapi.
Belum tuntas obrolan kami, tiba-tiba saja sudah waktunya giliran aku masuk ruangan treatment.
*Glup!*



Deg-degan di ruang tunggu.



Di ruangannya, dr. Albert (yup, he's my chiropractor) lagi sibuk ukur kelengkungan sudut tulang belakangku lewat hasil foto rontgen yang sebelumnya aku titipkan sama salah satu asistennya.
Di belakang punggungnya, aku sibuk atur napas supaya nggak pingsan (lol). Nggak tahu kenapa di mataku foto tulang belakang itu keliatan acak-acakan banget. Kayanya tulang belikatku keliatan sempit dan pinggulku naik sebelah. Hiks...
Lalu,
"Kelengkungan kamu sebelumnya 55 dan 18 derajat, sekarang kelengkungan kamu 55 dan 13 derajat".


Aku malah diem kaya patung. Niatku  sebenernya pengen jerit-jerit, tapi nggak tahu kenapa saking senengnya aku malah diem!


Foto dari sesi terapiku minggu sebelumnya.



Keluar dari ruangan treatment aku langsung kasih tahu Ray. Dia seneng banget dan kasih aku selamat. Di dalam pelukan singkatnya rasanya aku pengen nangis, tapi takut dibilang cengeng, hihi.
Semenjak aku 13 tahun (pertama mendapat vonis scoliosis) kelengkungan tulang belakangku selalu bertambah setiap tahunnya. Dan hari ini, untuk pertama kalinya, kelengkunganku berkurang!


Sebelum pulang Ray beliin aku cupcake blueberry sebagai penanda keajaiban kecil yang aku (kami) dapat hari ini. Setelah hari ini rasanya aku semakin percaya bahwa keajaiban bisa terjadi meski untuk situasi termustahil sekalipun.
Nah sekarang, bagaimana dengan kalian? ;)




Penanda keajaiban kecil hari ini.



nb: kami bertemu dengan salah seorang pembaca novelku yang manis, namanya "Widya" (maaf kalau spellingnya salah). Aku cuma mau bilang, terima kasih sudah say hi, aku seneng banget :)
Untuk teman-teman pembaca yang lain, please kalau ketemu jangan diam saja dan malah tulis komentar di FB/twitter setelahnya. Karena seperti yang sudah sering aku bilang, aku senang bertemu dengan teman baru ;)




Smile,
Indi





(Diedit 29/02/2024. I'm no longer with Ray, dan sekarang sudah happily married with Shane).