Tampilkan postingan dengan label Scoliosis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Scoliosis. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 Maret 2024

Boneka dengan Scoliosis dan Kenapa Representasi itu Penting

Haiiii bloggies! Apa kabar? Gimana tahun 2024 nya? Semoga semua rencana baik kalian berjalan lancar, ya :)



Kalau rencanaku gimana? :p Ya so far agak lancar, ahahaha. "Agak" karena ada beberapa yang tersendat karena cuaca. Maunya sih tahun ini lebih rajin lagi exercisenya, eh ternyata malah banyakan tidur sama makannya karena hujan setiap hari :'D Di daerah kalian sama nggak sih? Di Bandung sini hujannya benar-benar ekstrim, hampir seharian dan petirnya bikin jendela sampai bergetar-getar. Pokoknya kalau mau keluar rumah wajib banget jas hujan atau minimal topi untuk melindungi kepala (---tim kehujanan sedikit saja langsung pusing, hehe).


Goalku tahun ini untuk lebih rutin exercise bukan untuk mendapatkan bentuk tubuh yang "perfect", tapi semata untuk menjaga tubuhku tetap fit. Pembaca lamaku pasti tahu kalau aku seorang scolioser, atau pengidap scoliosis, ---dan aku bertahan tanpa operasi. Untuk yang baru di sini, "Halo, salam kenal!" ---aku akan menjelaskan sedikit apa itu scoliosis.


Apa itu scoliosis?

Scoliosis (atau skoliosis dalam Bahasa Indonesia) adalah kondisi kelainan tulang belakang yang ditandai dengan bentuk punggung melengkung. Bentuknya bisa seperti huruf C atau S. Pengidapnya bisa laki-laki atau perempuan, tapi kebanyakan perempuan yang biasanya ketahuan sebelum masa puber (10-15 tahun). Kalau kurvanya masih kecil biasanya sekilas nggak terlihat, tapi jika kurva sudah mulai besar akan terlihat jelas meski punggungnya tertutup pakaian. Itulah kenapa banyak scolioser yang nggak terdeteksi dini, ---karena sekilas tubuh mereka tipikal anak-anak seusianya. 


Beda kurva, beda juga penanganannya. Kurva di bawah 20 derajat disebut scoliosis ringan, nggak membutuhkan operasi dan hanya membutuhkan exercise rutin di rumah. Sementara kurva di antara 25 sampai 40 derajat disebut scoliosis menengah, yang biasanya membutuhkan brace (penyangga tubuh), exercise, fisioterapi dan mulai berdiskusi dengan dokter tentang kemungkinan pembedahan. Nah, yang terakhir kurva di atas 50 derajat disebut skoliosis berat atau severe scoliosis. Penanganannya tentu kombinasi dari semua terapi sudah kusebutkan dan kemungkinan besar disarankan untuk melakukan pembedahan korektif. Karena saat kurva sudah besar, tentu mulai berpengaruh terhadap organ-organ dalam, seperti tulang rusuk yang semakin menekan paru-paru, rasa sakit kronis dan lainnya. 


Bagaimana dengan scoliosis ku?

Kurvaku 58 derajat yang artinya sudah masuk di kategori "scoliosis berat". (---Di beberapa postingan aku menyebut 55 derajat, tapi ternyata dokternya salah baca, lol). Aku mendapat diagnosis dokter nggak lama setelah ulang tahunku yang ke 13 dan waktu itu kurvaku masih di kategori "menengah" :D Kenapa terus bertambah, tentu ada alasannya dan itu BUKAN karena aku dan orangtua nggak melakukan tindakan apa-apa ya. Pertambahan kurva di usia pertumbuhan itu wajar karena perubahan hormon dan tinggiku masih terus bertambah. Jadi brace yang kupakai selama lima tahun, 23 jam perhari gunanya untuk memperlambat pertambahan kurva saja, bukan untuk mengurangi. Lalu kenapa aku nggak melakukan operasi? Pertimbangannya banyak, salah satunya (dan yang paling penting) scoliosisku ini nggak progresif alias kurvanya nggak bertambah lagi semenjak aku menginjak usia dewasa! :)


Foto rontgen tulang belakang lamaku (karena yang baru hasil scannya terhapus di HP dan mager buat scan ulang, —-gak hilang kok, paling nyelip di laci, hehe).


Itulah kenapa exercise penting sekali untukku (semoga aku bisa segera melawan rasa malas karena hujan ini, hehe), agar otot-ototku tetap kuat dan terlatih. Dengan memiliki otot yang kuat tentu akan memperlambat kenaikan kurva dan meningkatkan kualitas hidup scolioser sepertiku. Sementara fisioterapi, meskipun aku masih (dan harus selalu) rutin menjalaninya hanya bisa memanage rasa sakit, yang tanpa exercise rutin akan sia-sia saja xD


Jadi bagaimana hidupku sebagai scolioser berkurva besar dan di usia dewasa?

Aku baik-baik saja! :D Ada hari baik dan ada hari buruk seperti kebanyakan orang di dunia. Ya, aku harus "berurusan" dengan rasa sakit yang kadang seharian, tapi aku yakin orang tanpa scoliosis pun terkadang mengalaminya, iya kan ;) Aku bahagia dan (berusaha) menjalani hidup dengan sepenuh mungkin, ---karena ternyata hidup nggak seburuk pikiranku ketika masih remaja dulu. Hidup dengan scoliosis adalah "hidup normal" versiku dan aku nggak keberatan dengan itu :)


Kalau diingat kembali, titik di mana aku merasa bahwa "aku bisa" itu ketika aku mulai menulis di blog tentang scoliosisku, lalu kemudian dijadikan novel yang dengan judul "Waktu Aku sama Mika". Waktu itu aku mulai mendapat banyak email dari teman-teman scolioser yang merasa related dengan kehidupanku. Lalu bertahun-tahun kemudian ketika novelku menjadi inspirasi sebuah film layar lebar berjudul "Mika", aku semakin yakin kalau melakukan hal yang benar. Dulu sempat ada orang "dekat" yang bilang kalau aku nggak perlu bicara tentang scoliosisku karena dia pikir itu sebuah "aib" (---Well, HE WAS WRONG!). Hampir aku percaya, tapi untung saja aku nggak berhenti. Dan setelah film diputar aku malah mendapatkan banyak hal positif. Banyak para orangtua yang menghubungiku dan berterima kasih karena setelah menonton "Mika" mereka memeriksakan putri mereka ke dokter untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Juga banyak orang-orang seusiaku yang bilang bahwa mereka lega karena ternyata mereka nggak sendirian, ---bahkan ada di antara mereka yang berteman denganku sampai sekarang! Ya, ternyata "aku bisa". Aku tetap memiliki fungsi meski di mata dunia kedokteran aku bukan orang yang sempurna ;)


Novel "Waktu Aku sama Mika" yang diterbitkan oleh Shira Media dan film "Mika" yang diproduksi oleh IFI dan dibintangi oleh Vino G. Bastian.


Boneka sepertiku, karena representasi itu penting.

Tahu nggak sih kalau film "Mika" itu film Indonesia PERTAMA yang mengangkat isu tentang scoliosis? ---Boleh dong ya aku bangga, hehehe :D Kalau di Hollywood, tentu bukan hal yang baru dan jarang. Yang paling kita kenal mungkin film "Romy and Michele's Highschool Reunion" yang rilis tahun 1997 lalu. Dulu filmnya sering tayang di Indosiar dan (kalau nggak salah inget) pernah beberapa kali tayang juga di Trans TV. Waktu lihat Michele, salah satu tokoh utamanya memakai brace, aku langsung, "Wow! Dia seperti aku!" :O Padahal filmnya bukan berfokus di isu scoliosis dan bergenre komedi, lho, tapi tetap ada perasaan surreal ketika melihat orang di TV yang "mirip" denganku. 


Perasaan "hore, aku nggak sendiri" itu tetap ada setiap aku melihat ada yang merepresentasikan scolioser, nggak peduli seberapa dewasanya aku. Tahun lalu waktu aku membaca artikel tentang Mattel yang merilis boneka-boneka dengan disability aku bahagia dan terharu. Kalian tahu kenapa? Karena salah satu dari boneka-boneka itu ada yang mirip denganku, ---memiliki tulang belakang melengkung, tulang panggul yang nggak sejajar, bahu yang nggak sejajar, kaki yang salah satunya lebih pendek, dan... memakai brace! :'D Aku sangat nggak sabar untuk memilikinya sampai-sampai beberapa kali mengecek situs official Mattel Indonesia dan mengirimkan banyak pesan, hahaha. Aku bahkan hampir meminjam akun Amazon milik Ibu Mertua supaya bisa dapat bonekanya sebelum masuk resmi ke Indonesia.  Syukurlah nggak perlu karena ternyata hanya dua bulan saja setelah ulang tahunku bonekanya sudah dijual di Barbie Flagship :D


Detailnya gak main-main, ya. Sampai pas didudukkan saja bahunya terlihat gak sejajar :')


Oh iya, boneka scoliosis itu hanya salah satu dari banyak boneka dengan disabilitas yang Mattel rilis, lho. Selain scolioser juga ada boneka dengan alat bantu dengar, boneka dengan Down Syndrome, boneka dengan kaki prostetik, boneka dengan kursi roda dan lain sebagainya. Sepertinya boneka scolioser memang belakangan rilisnya karena temanku, Angkie Yudistia yang juga Teman Tuli sudah punya boneka dengan alat bantu dengar duluan. Waktu aku melihat ia mempostingnya di Instagram aku juga jadi ikut senang, katanya bonekanya dimainkan anaknya :')


Screenshot dari Instagramnya Angkie, yang sekarang punya boneka seperti dirinya :D


Kennedy Garcia dan Ellie Goldstein dengan boneka Down Syndrome seperti mereka :)
(Sumber: Forbes dan British Vogue).


Rose Ayling-Ellis dengan boneka yang memakai alat bantu dengar sepertinya :)
(Sumber: disabilityhorizon).


Di bulan Agustus 2023 akhirnya bonekaku datang setelah aku memesannya dari Barbie Flagship. NGL, aku menitikkan air mata waktu melihatnya secara langsung untuk pertama kali, huhuhu. Namanya Chelsea, adik kecil dari Barbie. Ia berambut coklat panjang, memakai dress berwarna pink dan brace scoliosis tipe Boston seperti punyaku waktu dulu. ---She's so freakin' cute :''''D Orang pertama yang kukabari tentu saja Bapak karena beliau yang dulu selalu mengantarku terapi. Aku mengirimkan fotonya dan reaksi beliau membuatku tertawa! Bapak bertanya siapa yang membuat boneka itu karena sudah pasti "sangat niat" sampai-sampai bentuk punggungnya pun melengkung! Hahaha. Waktu kami akhirnya ada kesempatan bertemu langsung beliau juga bilang kalau boneka baruku membuatnya ikut senang. Bapak bilang sungguh luar biasa karena sudah banyak yang berubah semenjak aku pertama kali didiagnosis scoliosis dulu. Sekarang scoliosis bukan sesuatu yang "tak terlihat" :)


Aku yang berbahagia akhirnya bisa memiliki boneka yang sepertiku :')


Saking detailnya ukuran bracenya juga bisa diatur, persis seperti braceku :D


Nggak lupa aku juga membagikan tentang boneka Chelsea di media sosialku. Banyak followerku yang scolioser merasa bahagia dan ingin memiliki bonekanya. Dengan senang hati aku membagikan link, nama toko, bahkan jika perlu aku carikan yang terdekat dengan lokasi mereka, hahaha. Dan, nope, aku nggak diendorse. Aku seorang scolioser, dan seperti yang kubilang sebelumnya aku tahu bagaimana rasanya saat melihat ada merepresentasikan kami. Pesan-pesan manis pun mulai bermunculan di DM Instagram dan Facebook ku. Ada beberapa Ibu yang membelikan boneka ini untuk anak-anaknya supaya mereka nggak merasa sendirian waktu memakai brace. Juga dari beberapa orang dewasa yang setelah menunggu belasan tahun akhirnya ada boneka yang mirip seperti mereka. How sweet :') Tapi ada juga pesan yang lucu, ada yang bilang karena aku membagikan informasi di mana-mana bonekanya jadi sold out dalam beberapa hari! "The power of Kak Indi," begitu katanya, hahaha.


Salah satu pesan manis yang sempat ku-screenshot dari Facebook :')


Meski terlambat dua bulan, tapi boneka ini adalah hadiah ulang tahun terindah untukku (---bisa dibilang ini adalah hadiah dari Ibu Mertua karena aku membelinya dengan sisa Birthday money pemberian beliau, terima kasih banyak). Aku bahagia dan bersyukur sekarang brace dan alat bantu medis lainnya dilihat sebagai hal yang normal. Bayangkan anak-anak yang sedang berada di toko mainan melihat boneka ini lalu membelinya dan bermain dengannya. Mereka mungkin awalnya akan bertanya-tanya apa yang dipakai boneka ini (brace) dan mengapa tubuhnya berbeda. Lalu mereka akan mencari tahu tentang scoliosis dan belajar tentang perbedaan, ---yang mana sangat normal dan bukan untuk dipermasalahkan :) Dan bayangkan juga anak-anak dengan scoliosis yang menemukan boneka ini. Mereka nggak akan merasa sendirian lagi dan TAHU bahwa brace itu bukan sesuatu yang harus disembunyikan tapi untuk membuat kualitas hidup mereka lebih baik, ---seperti Chelsea yang percaya diri memakai brace di luar dressnya :)


Well, aku harap jejak Mattel yang membuat mainan/boneka inkusif akan diikuti oleh perusahaan lainnya. Mungkin masih ada yang menganggap kalau ini "cuma" boneka, nggak ada bedanya dengan mainan-mainan lain. Tapi coba deh saat kamu melihat mainan yang memakai brace, kursi roda atau alat bantu dengar, bayangkan kalau ada anak-anak yang tersenyum saat melihatnya,  ---karena mereka jadi merasa "terlihat" :)


Reaksi Ella Roger yang berusia 2 tahun waktu melihat boneka dengan kursi roda seperti dirinya :) Masa masih ada yang bilang, "Ini cuma boneka"? ;)
(Sumber: Good Morning America).



kakakya Chelsea, lol,


Indi



Catatan: 

- Mattel bukan satu-satunya perusahaan yang membuat boneka dengan alat bantu medis, tapi sampai sekarang baru produk Mattel yang bisa dengan mudah didapat di Indonesia.

- Braceku nggak terpasang dengan benar, hanya untuk kepentingan foto. Jadi jangan ditiru ya :)

- Novelku "Waktu Aku sama Mika" bisa didapat di sini (Shira Media) dan di sini (Gramedia).

----------------------------------------------------------------

Instagram: @indisugarmika | YouTube: Indi Sugar Taufik


Kamis, 09 Mei 2019

Dealing with Family Bully! (Menghadapi Orang Dekat yang Membully)

Tebak aku di mana sekarang?
Aku lagi ngetik di restoran fast food, pakai Wifi gratisan bawa laptop dari rumah dalam rangka nemenin suami kerja, hahaha. Sekarang hampir tengah malam dan kami keluar rumah karena nggak mau mengganggu jam tidur orangtuaku. ---Iya, lima bulan sudah usia pernikahanku dan Shane, dan kami masih tinggal bersama mereka. Rencana kami memang pindah secepat mungkin tapi karena satu dan lain hal harus ditunda. "Rumah kami" sih sudah dalam proses, tapi masih menyicil sedikit-sedikit. Jadi ya... sampai kami bisa pindah, aku dan Shane menikmati waktu dulu sebagai anak mami :p Syukurlah pekerjaan kami fleksibel, bisa dilakukan di mana saja in case suasana rumah nggak memadai. 

Ngomong-ngomong soal suami, apa yang mau aku share sekarang ada hubungannya dengan sosok yang sedang mengetik di sebrangku ini (---namanya gratisan duduknya nggak bisa milih samping-sampingan, hahaha). Percaya nggak kalau beberapa tahun lalu aku sempat percaya kalau hidupku bakal berakhir unmarried dan dicap sebagai orang aneh? Jangankan suami, bisa diterima oleh orang-orang dekat (selain keluarga inti maksunya) pun sempat aku pikir mustahil. Penyebabnya bukan karena aku merasa nggak pantas. Tapi kata-kata salah seorang kerabatku lah yang membuatku merasa begitu. Sering kali aku mendengarnya memberiku label-label sampai aku lupa mana diriku yang sebenarnya dan mana yang "karangan dia". Iya. Aku dibully oleh yang seharusnya aku hormati, ---dia salah satu kerabat keluargaku.

Iya, dua bocah ini pasangan suami istri :)

Sejak kecil aku 'berbeda'. Aku satu-satunya anak yang memakai brace (penyangga tulang belakang) di sekolah dan di keluarga karena scoliosis. Dan aku sangat baik-baik saja dengan itu, ---kecuali tentu di masa remaja labil yang sebagian besar moodku dipengaruhi hormon, hahaha ---sisanya, I live my life. Apalagi aku dibesarkan oleh orangtua yang sangat suportif. Apapun yang kulakukan, selama itu nggak menyakiti diri sendiri dan orang lain mereka selalu mendukung. Di saat sepupu-sepupuku didorong orangtua mereka untuk mengambil jurusan tertentu, orangtuaku malah sebaliknya. Jurusan seni musik pilihanku yang dianggap kurang menjanjikan oleh Om dan Tante dianggap keren oleh Ibu dan Bapak. Caraku berpakaian, pilihan karir, keputusan menjadi vegetarian di usia remaja, sampai menulis buku pertamaku, semua dilakukan dengan restu mereka.

Percaya diriku baik, ---atau istilah Bapak "sesuai porsi". Semakin dewasa ide-ide yang dulu ada di angan mulai aku wujudkan satu persatu. Seajaib apapun itu, Ibu dan Bapak selalu mendengarkan dan nggak meremehkan ideku. Suatu hari aku mulai speak up tentang pengalaman sebagai seorang scolioser. Di TV, radio, majalah... you name it, ---aku bersuara dengan menggebu untuk raising awareness. Aku nggak mau ada orangtua yang kecolongan dengan perkembangan fisik anak-anak mereka. Nggak ada sedikit pun niat untuk dikasihani apalagi mencari sensasi. Aku merasa apa yang aku lakukan positif. ---Demi Tuhan. Sampai akhirnya ada yang berkata sebaliknya.

Maret 2019, novelku "Waktu Aku sama Mika" ada di toko buku. Aku nggak akan berhenti berkarya dan menyebarkan awareness tentang scoliosis :)

Dia, ---atau lebih tepatnya 'beliau' karena usianya lebih tua dari Ibu dan Bapak, ---mulai merasa keberatan dengan apa yang aku lakukan. Kata-katanya begitu menusuk sampai menjadi luka permanen di hatiku. Menurutnya aku nggak seharusnya 'mengumbar' tentang kekurangan fisik. Karena jikalau beliau mempunyai putra dan tahu calon menantunya mengidap scoliosis, maka beliau nggak akan merestui hubungan mereka. 
...WHAT THE F?!!...
Aku nggak percaya itu keluar dari mulut seorang yang sangat berpendidikan dan terpandang. Masih ingat dengan jelas waktu itu aku seketika menangis. Aku merasa kecil sekecil-kecilnya. Semua niat positifku jadi terasa sia-sia karena ternyata malah dianggap aib. Beliau dan orangtuaku langsung bersitegang. Terutama Bapak, beliau sangat tersinggung sampai menantang untuk berkelahi. Meski sekarang mereka (katanya) sudah saling memaafkan, hubungan mereka nggak pernah sama seperti dulu lagi.

Entah karena aku cucu perempuan pertama atau karena dianggap berbeda, beliau begitu 'memperhatikan' aku. Awalnya aku menganggapnya sebagai hal positif, tapi lama kelamaan terasa terlalu mencampuri. Pernah suatu kali beliau mengkritik model rambutku yang selalu berponi. Katanya kekanakan, lebih pantas dibelah dua dan disisir ke belakang. Menurut beliau cara berpakaianku juga aneh. ---Aneh, bukan dalam artian unik yang positif, tapi aneh karena menurutnya harus diubah. Meski Ibu nggak pernah berkata apa-apa tapi aku yakin hatinya juga turut sakit. Baju-baju yang aku pakai semuanya buatan beliau. ---Dibuat penuh cinta dan rasa bangga, ---apa rasanya sesuatu yang dibuat dengan sungguh-sungguh ternyata malah dibilang 'aneh'?... Cara berpakaian aku jugalah yang menurutnya membuatku susah mendapatkan pacar. Padahal, saat itu aku sedang menjalin hubungan dengan laki-laki, dan orangtuaku tahu itu.

Mungkin ada yang nggak percaya, aku yang sering dibilang ceria ini pernah mengalami fase di mana aku merasa rendah. Luka karena kata-kata kadang lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik. Aku jadi memikirkannya terus-terusan. Model rambut yang sudah hampir seumur hidup kupakai mendadak jadi nggak lagi cocok ketika akh melihatnya di cermin. Baju yang tadinya kupikir paling cantik sedunia jadi malu untuk kupakai ke acara formal karena takut dianggap seperti anak-anak. Seketika aku juga jadi merasa bahwa orang hanya melihatku sebagai sosok yang dikasihani. ---Aku nggak mungkin dicintai dengan tulus. Mungkin hubungan percintaanku nggak akan berakhir ke mana-mana. Mungkin 'beliau' benar. Aku nggak akan pernah menikah.

Embrace my style. Dress ini Ibu yang desain dan aku bangga :)

Luar biasa betapa kata-kata bisa begitu mempengaruhiku. Tadinya kupikir aku sudah benar-benar mengenal diri sendiri, ---sudah tahu apa passion dan tujuan hidupku. Tapi lalu aku merasa menjadi bukan siapa-siapa, nggak berarti. Syukurlah fase itu akhirnya berlalu setelah aku berdamai dengan diri sendiri. Aku mulai berusaha untuk nggak memusatkan pikiran dengan label-label yang 'beliau' berikan, alih-alih mulai mendengarkan pujian-pujian sekecil apapun dari orang-orang sekitarku, ---yang menghargai apa yang aku lakukan. Kenapa aku harus berpusat dengan satu orang yang negatif sementara yang positif sebenarnya lebih banyak? Lambat laun aku mulai kembali, kebahagiaanku dan orangtua lebih penting daripada harus memuaskan 'standar' seseorang yang bahkan nggak mengenalku dengan baik.

Sekarang setelah bertahun-tahun berlalu apakah aku masih marah dengan 'beliau'? Well... tentu terkadang perasaan itu datang, karena seperti yang aku bilang; kata-katanya meninggalkan luka di hati. Tapi yang terpenting aku bangkit, ---kembali menjadi Indi yang bahkan lebih pemberani dari sebelumnya. I trust my self more than anyone else. Aku nggak mau over thinking. Saat akan melakukan sesuatu dan aku yakin bahwa itu positif dan niatnya baik, maka tanpa ragu akan aku lakukan. Aku bangga menjadi aku yang berponi, yang scoliosis, yang sudah menjadi vegan, dan ---aku yang senang main ukulele meskipun fals, hahaha. Nggak akan aku izinkan apapun mengubahnya, sekalipun itu bully dan label-label dari seseorang yang 'disegani'.

Punya lagu yang didengar orang dan masuk TV hanya bonus. Yang terpenting adalah perasaanku  yang happy saat bermain ukulele :)

Terkadang kita lupa betapa powerfulnya kata-kata. Saat kita menyakiti seseorang secara fisik maka terlihat jelas lukanya. Tapi saat hati seseorang sakit lukanya nggak akan terlihat sampai orang itu menunjukan emosi. Dan "nggak terlihat" bukan berarti nggak real, kata-kata bisa mempengaruhi seseorang sampai sebegitu dalamnya, bahkan berpotensi merusak masa depan. Lebih baik tetap berikan kata-kata positif segatal apapun mulut kita untuk berkomentar. Ingin mengkritik atau memberi masukan? Ya, gunakan kata-kata yang santun. Bicara kan gratis, jangan merasa berat :)
Kalau ada di antara kalian yang mengalami hal sepertiku, ---dibully oleh orang dekat, ---atau siapapun, ---please ingat kalau kita semua berarti dan unik. Percayalah pada diri sendiri lebih dari orang lain. Karena nggak ada yang lebih mengenal kita selain diri sendiri. Do whatever makes you happy, selama itu nggak merugikan orang lain. Dan kalau merasa depresi jangan dipendam sendiri, search for help, nggak perlu malu.

Oh, well... Shane sekarang sudah menyelesaikan pekerjaannya dan aku juga sudah menghabiskan potongan kentang goreng terakhir beberapa menit yang lalu. Sebentar lagi kami akan pulang, ---mungkin nonton film dulu sebelum tidur, hehe. 
Hmm, by the way, kalian tahu nggak... setiap malam saat berbaring di samping Shane, aku selalu terseyum dan membatin,
"Lihat di mana aku sekarang. Aku berhasil 'mengalahkan' bully." :)


it's me,

Indi 

ps: Aku sempat terkena demam tifoid selama 3 minggu, dan selama itu pula aku nggak ngapa-ngapain (huhu...). Sebagai come back aku dan suami mengcover lagu yang musik video dan mixingnya 100% dilakukan oleh kami berdua. Kalau mau dengar dan support karya kami boleh banget. Klik link ini untuk videonya.


--------------------------------------------------------------------
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

Minggu, 04 Maret 2018

Look Beyond What You See: Tentang Disabilitas

Halooooooo, apa kabar semuanya? :D Ya, ampun sekarang sudah masuk bulan Maret 2018 rupanya, dan post terakhirku Desember 2017 *cengar-cengir cari alasan*
Tapi nggak apa-apa ya kalau aku ucapkan selamat tahun barunya sekarang? Hehehe. Oh, by the way, bagaimana tahun 2018 kalian so far? Mudah-mudahan berjalan dengan lancar dan segala resolusi kalian mulai terealisasi satu persatu, ya. Amen :) Aku sendiri so far so good. Banyak hal baru yang terjadi. Selain buku baruku, "Guruku Berbulu dan Berekor - Bagian 2" terbit, aku juga, ---ehm, punya pacar baru. Eh, tapi itu cerita nanti saja ya. Mendingan aku tulis di post khusus karena ada cerita yang ingin aku share.

Di dunia kecil Indi tahun ini dimulai dengan perubahan yang sangat manis dan positif. Tapi nggak begitu dengan "dunia nyata" alias real world. Nampaknya banyak hal kurang menyenangkan yang masih berulang, termasuk soal disability awareness. Kalau aku sendiri sih belakangan ini nggak mengalami karena memang sedang kebanyakan diam di rumah (---soal ini juga akan aku share nanti). Tapi salah seorang teman onlineku, Angkie Yudistia, mengalaminya di bulan Februari lalu. Kejadiannya aku tahu dari akun instagram Angkie, yang kebetulan kami saling follow di sana. Jadi waktu itu ia dan temannya diusir dari "special needs gate" di Bandara! Padahal mereka berdua memiliki disability, lho. Angkie memiliki disabilitas pendengaran, sedangkan temannya disabilitas kaki! Meski sekarang pihak bandara sudah memohon maaf, tapi tetap saja kejadian ini membuatku sedih. Karena artinya masih ada orang yang belum memahami apa itu disability :(

Aku bisa mengerti sih kalau selama ini penyandang disabilitas diidentikkan dengan kursi roda. Karena yang dipakai untuk logo disabilitas saja gambar wheelchair. Jadi "wajar" kalau masih banyak yang menyamaratakan; special needs = yang duduk di kursi roda. Padahal kenyataannya nggak begitu, ---nggak semua disabilitas terlihat secara fisik. Misalnya saja orang yang mengalami disabilitas mental, kebanyakan dari mereka terlihat "baik-baik saja" lho dari luar. Coba deh kalian lihat foto-fotoku. Do I look normal? —-Atau lebih tepatnya, do I look like most people?

Chinese new year kemarin di China Town, Bandung.

Aku yakin kebanyakan dari kalian belum tahu kalau aku mengidap OCD, atau obsessive-compulsive disorder. Bahasa sederhananya, ini adalah kondisi kelainan psikologis di mana pengidapnya memiliki pikiran yang obsesif dan perilaku yang bersifat kompulsif. Gejala tiap orang tentu berbeda-beda, tapi biasanya pikiran pengidap OCD akan dikuasai oleh rasa takut dan kecemasan. Misalnya saja aku yang jika merasa harus melakukan sesuatu (---baca: "ritual") dan nggak dilakukan, maka aku akan cemas secemas-cemasnya. Bahkan sampai aku merasa depresi (yup, aku juga didiagnosis dengan depresi tahun lalu). Dan kalau pun aku lega biasanya hanya sementara saja. Nah, OCD ini kalau sudah parah bisa dikategorikan sebagai disabilitas mental juga.

Sekarang, saat menulis ini, OCD ku sudah membaik meski terkadang ada hari-hari di mana masih terasa sulit dan menghambatku untuk beraktivitas. Jadi jangankan untuk ke luar rumah, untuk ke luar kamar saja aku bisa butuh waktu berjam-jam. Nah, coba bayangkan bagaimana dengan orang-orang yang kondisi OCD nya lebih parah dariku. Bagaimana rasanya jika untuk beraktivitas saja membutuhkan asisten tapi masih dipersulit dengan fasilitas publik yang sebenarnya dibuat untuk mempermudah mereka?

Aku menulis ini bukan karena ingin diistimewakan. Sejak kecil aku terbiasa diperlakukan sama dengan saudara-saudara yang lain oleh keluarga meski secara fisik aku "berbeda" (---mengidap severe scoliosis dan harus memakai brace 23 jam perhari). Jadi soal itu sama sekali not my case, ya. Dan aku yakin teman-teman dengan disabilitas juga nggak berharap begitu :) Maksudku hanya ingin mengingatkan untuk jangan pernah men-judge orang dari penampilan luarnya saja. Please look beyond what you see. Jangan dulu marah jika ada yang meminta kalian untuk berdiri saat duduk di bus, karena bisa saja orang itu lebih membutuhkan meski telihat "sehat". Jangan dulu kesal saat kalian menegur seseorang tapi ia terlihat cuek, karena bisa saja ia nggak bisa mendengar kalian, ---dan lain sebagainya.

Such a fun place, tapi akses wheelchair nya terbatas :(

Begitu juga dengan yang bertugas di fasilitas publik, aku harap mereka bisa mendapatkan proper training, ---dan lebih berempati. Jika memang saat ini "jalur khusus penyandang disabilitas" hanya untuk disabilitas fisik saja maka jelaskan dengan baik-baik. Nggak perlu mempermalukan apalagi sampai mengusir. Dari hasil research kecil-kecilan aku sih, rupanya untuk bandara masih berfokus dengan disabilitas yang menggunakan alat bantu fisik saja, misalnya kursi roda, tongkat atau tabung oksigen. Aku harap peraturan ini bisa segera diubah karena apa yang terlihat di luar nggak selalu mencerminkan apa yang di dalam. Contohnya dengan pengidap autistik, haruskan mereka diperiksa dengan teknik "pat down" sementara itu membuat mereka nggak nyaman?

Well, that's just my two cents, hanya opini pribadiku semata. Mengubah dunia jadi tempat yang nyaman untuk semua orang mungkin mustahil, tapi at least kita bisa mencoba untuk membuatnya lebih baik. Sekali lagi, let's look beyond what we see dan coba untuk lebih berempati. Kalian akan surprise betapa hal-hal sederhana (misalnya memberikan tempat duduk pada seseorang di bus) bisa mengubah hari mereka :) Oh iya, apa kalian tertarik untuk membaca kisah OCD dan depression ku? Kalau iya, silakan tinggalkan komentar di bawah ya, beri tahu apa yang ingin kalian baca supaya aku tahu dari mana harus memulai ceritanya. ---Atau mau baca cerita tentang pacar baruku saja? *eh, hahaha :p

just a normal girl,

Indi

_________________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

Sabtu, 09 Desember 2017

Menang Tantangan Bulan Scoliosis Awareness? Terus untuk Apa? :O

Halo, apa kabar teman-teman? Aku sudah kembali, nih. Eh, lebih tepatnya blogku yang sudah kembali, ---akunya sih nggak ke mana-mana, hihihi. Nggak nyangka ternyata saat sedang masa perbaikan, blogku yang seadanya ini banyak juga yang mencari :D Terima kasih ya sudah menyempatkan mampir ke sini. Aku tadinya nggak mau lama-lama vakum, tapi rupanya banyak juga yang harus dibenahi. Nah, untuk post perdanaku setelah 3 bulan, aku bakal share yang ringan-ringan dulu saja, deh. Kebetulan di saat aku vakum itu bertepatan dengan bulan scoliosis awareness di US, jadi aku akan bercerita tentang pengalaman mengikuti lomba dalam rangka memperingati hari tersebut :)

Eh, ngomong-ngomong masih pada ingat nggak sih tentang scoliosis? Kalau lupa aku ingatkan lagi secara singkat ya. Scoliosis itu adalah kondisi pada rangka tubuh yang berupa kelengkungan tulang belakang. Aku sendiri adalah salah satu pengidapnya, terdeteksi pada usia 13 tahun dan masih tetap terapi sampai sekarang. Karena scoliosis itu bukan penyakit (ingat ya, istilahnya "kondisi"), jadi tentu saja nggak ada obatnya. Tapi bisa dikoreksi alias bisa dilakukan beberapa cara untuk mencegah dan mengurangi kelengkungan tulang belakang pengidapnya. Misalnya saja dengan cara fisioterapi, bracing (peyangga) atau operasi. Meski pengidapnya banyak, tapi kesadaran orang tentang kondisi ini masih cenderung minim. Itulah kenapa dibuat yang namanya bulan scoliosis awareness. Tujuannya untuk meningkatkan kepedulian dan mengedukasi masyarakat tentang scoliosis. Cara memperingatinya macam-macam. Ada yang memberikan penyuluhan, screening scoliosis gratis, atau malah membuat "tantangan" seperti yang dilakukan oleh "National Scoliosis Center".

Mungkin banyak diantara kalian yang belum tahu apa itu "National Scoliosis Center" karena lokasinya berada di Amerika sana. Aku juga baru tahu, kok, dan itu pun tanpa sengaja, hihihi. Jadi NSC ini adalah pusat terpadu yang berfokus pada pada perawatan dan terapi non bedah untuk pengidap scoliosis dan pengidap kondisi (kelainan) tulang belakang lainnya. Kebetulan aku memfollow akun "Scoliosis Children's Foundation" dan dari sanalah aku mendapat informasi tentang challenge yang mereka adakan. Setelah membaca aturan tantangannya, aku langsung tertarik untuk ikut! Aku suka dengan tujuan mereka yang sederhana tapi efektif. Aku tinggal berfoto dengan outfit berwarna hijau dengan caption yang menarik. Kenapa warna hijau? Karena hijau (biasanya pita hijau) adalah simbol dari scoliosis, sebagai lambang dari kepedulian dan dukungan. Dengan kita memakai warna hijau di bulan Juni, otomatis kita diingatkan bahwa scoliosis itu memang ada. Dan karena kita menguploadnya di instagram, semakin banyak pula yang melihat dan secara nggak langsung kita ikut mengedukasi netizen melalui caption yang ditulis. 

Seperti biasa, aku sih nggak terlalu berharap untuk menang. Yang terpenting do my best. Dan aku juga mengajak followers ku untuk ikutan. Surprisingly, ternyata lumayan banyak juga yang tertarik. Dan aku terharu karena beberapa dari mereka bahkan bukan scolioser. Mereka melakukannya karena solidaritas dan rasa peduli! Aww... :') Waktu tahu kalau pesertanya banyak (dan worldwide pula!) aku merasa senang alih-alih merasa tersaingi. Karena dengan semakin banyak yang ikut artinya akan semakin cepat pula tercapainya tujuan dari challenge ini. Salut dengan para peserta yang kreatif. Bahkan ada juga lho yang mengajak teman satu gang nya untuk berfoto bersama dengan baju hijau. Aku jadi merasa kurang kreatif karena hanya berfoto selfie di depan cermin di sela-sela waktu bekerja. Itu pun pakai handphone milik temanku, alias dapat pinjam, hehehe. Ups :p


Kira-kira satu minggu kemudian aku mendapatkan pesan dari ID yang nggak kukenal, ---yang secara otomatis masuk ke dalam kotak spam. Meski aku memprioritaskan untuk membuka pesan dari orang-orang yang "dikenal", tapi aku tetap membuka kotak spam meskipun agak terlambat. Rupanya pesan itu datang dari "National Scoliosis Center". Aku langsung dag-dig-dug nggak jelas, soalnya kalau sampai menang rasanya kok too good to be true, hehehe. Begitu pesannya terbuka aku membacanya berkali-kali dulu sebelum mengklik tombol "accept". Nggak yakin! Tapi setelah dibaca 10 kali pun pesannya nggak berubah! Aku menjadi salah satu pemenang dari Scoliosis Awareness Challenge!:D Dan yang lebih surprisenya lagi aku ternyata menjadi pemenang utama. Iya, pemenang utama karena postku dianggap paling engaging alias paling banyak mendapat respon! Waaaa... Aku sampai captured ucapan selamatnya dan langsung kutunjukan pada temanku, lol. 


Satu bulan berlalu, aku akhirnya menerima sebuah paket yang dikirim dari California, Amerika. Wah, jauh sekali ya :D Yup, hadiahku akhirnya datang! Isinya bikin aku happy plus terharu. Ada sebuah novel berjudul "Braced" yang ditandatangani langsung oleh Alyson Gerber, penulisnya dan juga sebuah postcard! "Braced" ini menceritakan tentang seorang remaja bermana Rachel Brooks yang sedang semangat-semangatnya bergabung dengan tim sepak bola di sekolah. Namun semangatnya itu terpaksa harus ditahan karena ia didiagnosis mengidap scoliosis yang mengharuskannya memakai brace (penyangga tulang belakang) selama 23 jam per hari. ---Sounds familiar? Iya, memang mirip sekali dengan kisahku yang dibukukan dengan judul "Waktu Aku sama Mika" dan difilimkan dengan judul "Mika". Tapi apa yang dialami Rachel dan aku memang bukan sesuatu yang "jarang", kok. Meski nggak semuanya mengalami tantangan yang sama, menurut penelitian 3 dari 100 perempuan diperkirakan memiliki scoliosis, lho. Termasuk sang penulis novel sendiri! :) 


Membaca kisah Rachel rasanya sangat relatable. Bahkan ada beberapa bagian dari karakter Rachel yang aku yakin akan membuat non-scolioser pun berceletuk "Oh, I feel you" ketika membacanya. Because teenagers always be teenagers, ---bagaimana pun bentuk tulang belakangnya. Buatku novel "Braced" ini salah satu bukti kalau untuk meningkatkan awareness soal scoliosis nggak perlu ribet dan nggak perlu menyeramkan. Buat "kampanye" sesederhana mungkin, tapi tepat sasaran. Dan itu juga bisa dilakukan oleh siapa saja selama mempunyai rasa peduli. Punya kemampuan menulis? Buatlah tulisan tentang scoliosis, misalnya dalam bentuk blog post, cerpen atau bahkan lirik lagu. Punya usaha sablon? Kenapa nggak bikin kaus dengan desain yang menarik dan membuat orang ingin tahu lebih banyak tentang scoliosis. Daaaaan masih banyak lagi contoh lainnya. Bahkan as simple as memposting foto di Instagram pun bisa menjadi salah satu bentuk kampanye, lho.

Jadi maukah teman-teman melangkah denganku untuk meningkatkan scoliosis awareness? Every step counts! :)

xx,

Indi


_______________________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

Selasa, 18 April 2017

Cara Melepas SpineCor dan BERITA BAIK! :) #indisscoliosislife



Waaa, liburnya sudah habis! Hihihi :D Bagaimana liburannya nih, teman-teman? Mudah-mudahan seru ya. Dan untuk yang merayakan, have a blessed Easter! :) Aku sendiri sih merasa long weekend kali ini terasa kurang long, alias pendek. Mungkin karena sedang semangat-semangatnya mencoba hal baru, ---tapi sekaligus ingin bersantai :p Padahal kalau diingat liburan kali ini cukup lengkap buatku; relax dengan spa sudah, being creative dengan membuat lagu baru sudah, jalan-jalan dengan keluarga juga sudah. Well, manusia terkadang nggak ada puasnya ya, hehehe. Padahal seharusnya aku bersyukur karena sempat melakukan banyak hal, dan lagipula 'sebentar' lagi juga another weekend tiba ;)

Soal relax dengan spa, sebetulnya libur kemarin aku nggak niat untuk pijat spa. Awalnya aku ingin pijat terapi untuk scoliosis seperti yang biasa aku dapat di tempat fisioterapi. Tapi karena salah paham dengan terapis pijatnya, jadilah aku dapat "rezeki santai" tak terduga, hahaha. Eh, tapi bukan berarti selama libur aku jadi cuek dengan kesehatan my spine ya. Semalas apapun aku selalu usahakan untuk exercise ringan, ---meski terkadang dengan mata terpejam :p Dan ngomong-ngomong soal scoliosis, di blog ini ternyata tema itu jadi salah satu semakin lama semakin banyak di klik, lho. Perasaanku jadi campur aduk, nih. Antara prihatin karena artinya jumlah scolioser sangat banyak, tapi juga senang karena artinya awareness pengguna internet terhadap scoliosis semakin tinggi :) 

Jadi hari ini aku mau share sesuatu yang berkaitan erat dengan scoliosis, ---yang juga cukup sering di-request sama teman-teman pembaca di sini. Yaitu cara mudah untuk melepas SpineCor. Banyak scolioser, terutama yang kurvanya sedang sampai tinggi harus memakai brace (penyangga) untuk membantu menjaga kestabilan kurvanya. Tipe brace sangat beragam, apa yang dipilih biasanya berdasarkan beberapa pertimbangan dan anjuran dokter. Aku sendiri sejak (lebih) dari 2 tahun lalu memakai SpineCor, brace tipe soft karena lebih nyaman dan efektifitasnya jauh di atas brace tipe lain (hard brace). Meski aku super betah dengan brace ini tapi nggak bisa dipungkiri kalau cara penggunaannya memakan waktu ekstra jika dibandingkan dengan brace tipe hard karena terdiri dari 2 pieces. Untuk pengguna baru pasti merasa kebingungan, ---lihat tali-talinya saja sudah bikin seram, hahaha. Padahal sebenarnya dengan sedikit latihan kita bisa melakukannya dengan mudah, lho :)


SpineCor terdiri dari 2 bagian, yaitu rompi dan short. Di rompi terdapat 4 tali, sedangkan di short terdapat 2 tali. Meski kelihatannya membingungkan (apalagi kalau dalam keadaan dilepas, OMG) tapi sebenarnya fungsi tali-tali itu untuk memudahkan penggunanya, lho. Aku akan coba jelaskan step by stepnya dengan singkat;
1. Di rompi terdapat tali-tali dengan nomor 1, 2, 3 dan 4. Supaya nggak bingung, lepas tali satu persatu dengan urutan terbalik, dari 4 sampai 1.
2. Saat melepas tali lipat ujungnya agar velcro nggak melekat ke bagian rompi yang lain. 
3. Untuk melepas celananya, doesn't matter sih mau tali nomor 1 atau 2 dulu. Yang terpenting make sure lipat talinya agar nggak melekat ke bagian celana lain. Lalu setelah itu lepaskan celana seperti biasa.
4. Lakukan hal yang sama saat akan mencuci atau menyimpan SpineCor untuk mencegah agar velcro nggak cepat "gundul", terutama karena proses pencucian.

Kalau masih bingung kalian bisa menonton video di salah satu episode "Indi's Scoliosis Life" di sini. Aku juga punya video cara memakai SpineCor dan tips untuk ke toilet tanpa harus melepas keseluruhan SpineCor di playlist. Oh iya, aku juga mau share good news nih. Keponakanku, Fithri baru saja menjalani operasi scoliosis (yup, aku bukan satu-satunya scolioser di keluarga). Kurva sebelumnya sedikit lebih tinggi dari aku dan setelahnya scoliosisnya banyak terkoreksi! Aku sampai surprise melihat fotonya karena ia terlihat super tegap :) Operasi koreksi yang dilakukan menggunakan MAGEC Rod System, ---yang sebelumnya aku belum pernah dengar. Sepertinya di Indonesia memang belum ada (at least itu hasilnya ketika aku googling), karena di rumah sakit tempat Fithri melakukan operasi pun (di Belanda) ini baru kali keduanya dilakukan. News ini membuat aku super happy karena setelah koreksi mobilitas Fithri pasti akan lebih tinggi (she's a wheelchair user) dan juga semakin positif karena artinya perkembangan dunia kedokteran semakin maju! :)


Luar biasa rasanya kalau mengingat dulu aku masih memakai hard brace dan pilihan untuk terapi scoliosis masih sedikit. Siapa yang mengira kalau sekarang ada SpineCor atau MAGEC Rod System, ---dan teknologi-teknologi lain yang nantinya akan menyusul. Fakta kalau ada orang-orang di luar sana yang melakukan berbagai macam penelitian untuk membantu orang-orang sepertiku dan Fithri membuatku merasa terharu! I can't wait to see what future brings, ini baru awalnya :)
Well, aku sih nggak bisa (---belum) bisa membantu dalam bidang science, tapi mudah-mudahan apa yang aku share di sini dan di series "Indi's Scoliosis Life" bisa membantu, ---at least membuat teman-teman scolioser ingat kalau kalian nggak sendirian. Saat sedih, down atau in pain, jangan lupa kalau di sini ada aku yang "menemani" ;)


smile,
Indi

nb: Rupanya banyak yang belum tahu kalau Spine Body Center, tempat gue memasang SpineCor sudah berubah nama dan alamat. Ini yang baru: Indo Sehat Utama. Ruko Garden Shopping Arcade, Blok B-09 BB Kawasan Podomoro City, Jl. Podomoro Avenue - Tanjung Duren Selatan jakarta Barat 11470. Phone: 021 2940 8696.


(Update: Fithri keponakanku meninggal di tahun 2022. Kami sangat merindukan senyumannya, may she rest in peace…).

____________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

Rabu, 01 Maret 2017

Hadiah untuk Eris si Pet Therapist :)



Baru saja sampai di rumah Ibu berkata kalau ada paket untukku. Waktu dicek ternyata paketnya bukan buatku, tapi Eris! Hahaha. Wah, aku langsung penasaran dan membuka paket yang ukurannya cukup besar itu. Isinya karpet khusus hewan peliharaan!:D Beberapa waktu lalu aku sempat mengikuti giveaway yang diadakan oleh akun instagram @carameldanial yang informasinya gue dapat dari Yayasan Peduli Kucing. Syaratnya sederhana, peserta diminta untuk mengupload foto bersama hewan peliharaan dan menceritakan apa saja yang mereka lakukan sebagai pet therapy bagi "pawrent" nya. Tujuannya adalah agar semakin banyak orang yang tahu tentang "terapi hewan". Aku sih nggak memikirkan tentang menang atau kalah karena memang selalu bahagia jika bercerita tentang Eris :)

Sejak menjadi bagian keluarga 7 tahun yang lalu, aku selalu menganggap Eris istimewa. ---Well, setiap makhluk Tuhan tentu punya keistimewaan masing-masing, dan keistimewaan Eris adalah sifatnya yang pengertian. Karena mengidap severe scoliosis dan masih memakai brace 12 jam perhari, aku nggak bisa berlari karena bisa menimbulkan rasa nyeri. Eris selalu mengimbangi langkahku saat kami berjalan-jalan sore dan nggak pernah mencoba berlari. Padahal ia bisa saja melakukannya kalau mau. Tapi lain ceritanya kalau ia unleash alias tanpa tali... Wuzz! Eris bisa berlari secepat angin! Hihihi. Melihatnya seperti itu membuatku ikut merasakan sensasi bebas luar biasa.



Tiga tahun yang lalu Eris juga pernah menemukan sebuah tumor besar di payudara kiriku. Awalnya aku mengira ada sisa makanan yang menempel di baju karena ia terus-terusan mengendusnya. Tapi karena semakin lama semakin sering, aku pun penasaran dan memeriksakan diri ke dokter. Untung saja belum terlambat. Operasi berjalan dengan lancar, hanya waktu penymbuhannya yang cukup sulit. Aku merasakan sakit yang amat sangat karena bekas jahitan terus mengeluarkan darah. Di saat itulah Eris nggak pernah meninggalkanku, ---membuat aku merasa nyaman. Dengan kata lain, Eris lah yang "merawat" mentalku selama sakit sementara orangtuaku merawat secara fisik. Eris adalah terapisku :)

Pengalamanku dengan Eris rupanya mirip dengan pengalaman Addinda Sonang Danial, pemilik akun @carameldanial. Ini juga yang menjadi alasannya mengadakan giveaway. Dinda adalah pengidap kanker leukimia dan ia memiliki pet therapist bernama Caramel. Caramel adalah seekor anjing terlantar yang diadopsinya tepat sebelum akan disuntik mati! Dari situs pawsunion.com aku jadi tahu betapa luar biasanya Caramel. Ia bisa tahu jika kondisi Dinda sedang drop, bahkan di saat Dinda merasa baik-baik saja. Dan saat waktunya minum obat Caramel akan mengambil lalu melemparkan obatnya agar diminum. Jika Dinda nggak mau meminumnya, Caramel akan menggonggong terus seolah mengingatkan. Amazing! :) 




Mungkin sudah banyak teman-teman yang tahu tentang pet therapy, tapi just in case aku akan menjelaskannya lagi sedikit. Pet therapy adalah terapi yang melibatkan hewan di dalamnya. Biasanya pet therapy dibutuhkan saat seseorang dalam proses penyembuhan dari masalah kesehatan seperti mental health, kanker, penyakit jantung dan lain sebagainya. Pet therapy juga bisa berfungsi agar seseorang bisa lebih "nyaman" dengan apa yang diidapnya. Contohnya seperti aku. Scoliosis nggak bisa disembuhkan (karena bukan penyakit, tapi kondisi yang hanya bisa dikoreksi), tapi dengan Eris rasanya lebih mudah untuk menjalani hari. Hewan apapun bisa menjadi pet therapist karena berbeda dengan service dog, "tugas" pet therapist adalah untuk membantu kita merasa nyaman. Tapi mereka bisa juga double sebagai service dog, seperti Caramel yang bisa mengingatkan Dinda untuk minum obat.

Balik lagi ke cerita Eris dan hadiahnya, awalnya ia agak "terancam" dengan karpet barunya. Mungkin karena berbulu ia jadi mengira kalau itu hewan lain. Sampai-sampai Eris menggeram dan menggigitnya, lho! Hahaha :D Tapi hanya sebentar karena setelah itu Eris langsung duduk santai di atasnya, bahkan lama-lama ia minta disisiri sambil tiduran di sana :) Aku baru tahu kalau karpet @petcarpet_id rupanya mendonasikan sebagian dari hasil penjualannya ke Yayasan Peduli Kucing. Rasanya membuatku semakin happy karena tahu bahwa banyak yang peduli dengan keberadaan hewan-hewan di sekitar kita. Kalau kalian punya anjing atau kucing akusarankan untuk membelinya karena selain berdonasi, kualitas karpetnya juga memang bagus. Kalau Eris bica bicara bahasa manusia, ia pasti akan memberi testimoni panjang lebar tentang karpet barunya, hahaha.

Aku senang, bersyukur dan berterima kasih dengan hadiah yang diberikan @carameldanial untuk Eris. Rasanya semakin meyakinkan kita bahwa hewan memang memiliki maksud dan fungsi untuk tinggal berdampingan dengan kita, ---mereka bukan hanya "sekedar" hewan. Sekali lagi, menang atau kalah bukan masalah untukku. Aku akan selalu menyayangi Eris dengan tulus karena aku percaya Eris juga nggak pernah meragukanku. Dan aku membagi cerita ini (mudah-mudahan) bisa menjadi pengingat agar nggak ada lagi yang menyakiti hewan. Kalian boleh merasa "nggak suka" atau geli saat melihat mereka. Tapi nggak perlu menyakiti atau mengusiknya. Selalu ingat bahwa di suatu tempat ada orang-orang yang tertolong sekali dengan keberadaan mereka. ---Bahkan yang nyawanya diselamatkan oleh mereka. Seperti Eris yang menyelamatkanku dan Caramel yang menyelamatkan Dinda :)

yang sangat beruntung 'memiliki' Eris,

Indi


(Punya pengalaman serupa dengan hewan peliharaan? Kirim cerita kalian ke namaku_indikecil@yahoo.com. Cerita yang menarik akan dimuat di buku Guruku Berbulu dan Berekor 2 yang royaltinya digunakan untuk membantu hewan-hewan terlantar).


-------------------------------------------------------------------
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

Rabu, 15 Februari 2017

Indi's Scoliosis Life: Disabilitas dan Dunia Bekerja

Yay! Libur nasional!
Haha, kadang aku merasa konyol kalau berseru begitu. Soalnya untukku apa bedanya antara weekend dan weekdays? Aku bekerja di rumah, ---dengan beberapa pekerjaan occasional di luar yang biasanya hanya menghabiskan waktu beberapa jam saja meskipun dilakukan di akhir pekan. Aku sudah otomatis saja excited setiap mendengar kata "libur". Mungkin karena kesempatan untuk hangout dengan keluargaku paling banyak di hari sabtu, minggu dan libur nasional kali, ya? :D Eh, tapi itu sih sampai satu minggu yang lalu. Karena sejak hari selasa kemarin aku mulai kembali bekerja secara formal!


Iya, setelah break selama 2 tahun (karena kesehatan dan ada beberapa project), aku akhirnya kembali dengan pekerjaan "formal" aka "kantoran". Bukan berarti aku stop menulis, seluruh project dan PR tetap bisa dikerjakan karena perkerjaan formal yang kuambil ini sifatnya secara paruh waktu alias part time. Awalnya aku sama sekali nggak terpikir untuk back to kantoran karena terbiasa dengan "jadwal kerja buatanku". Tapi berhubung ditawari saat mengantar Ali, keponakanku yang berusia 1 tahun untuk daycare, akhirnya aku putuskan untuk menerima pekerjaan paruh waktu di sebuah preschool berbasis kurikulum British. Dalam seminggu aku bekerja 4 hari dengan jam kerja dari pukul 8.00 sampai pukul 12.00. Meski kesannya hanya sedikit, dengan kondisi kesehatanku jam kerja seperti itu sudah cukup untuk menguras tenaga. Tapi so far sih so good, dan aku harap berlangsung sampai waktunya aku selesai di sana :)

Aku nggak sabar untuk bercerita tentang pekerjaanku yang baru (---well, baru tapi "lama" karena 2 tahun yang lalu aku pernah bekerja di tempat yang sama, hahaha). Tapi kali ini aku akan membahas tentang "disabilitas dan serba-serbi melamar pekerjaan". Kenapa? Karena sejak aku lulus kuliah dan mulai bekerja formal untuk pertama kali, banyaaaaaaak sekali yang bertanya tentang ini. Terutama dari teman-teman di support group "Masyarakat Skoliosis Indonesia". Selain itu juga karena memang masih jarang yang membahasnya di sini. Padahal, kalau aku buka web-web luar aku bisa menemukan banyak artikel helpful untuk para job seeker atau fresh graduate yang mempunyai beberapa kondisi fisik atau isu medis. Aku adalah pengidap severe scoliosis yang mempengaruhi mobilitasku, ---juga masih harus memakai brace selama 6 sampai 12 jam perhari. Tentu, nggak semua pekerjaan cocok untukku. Tapi bukan berarti itu mustahil :)

Mempunyai Disabilitas Haruskah Ditulis di Riwayat Hidup/CV?
Nggak perlu! Awalnya aku pernah menganggap kalau calon rekan kerja/perusahaan yang dilamar harus tahu kondisi fisikku. Tapi setelah banyak bertanya dengan teman-teman yang juga memiliki situasi yang mirip plus ditambah dengan pengalaman pribadi, aku jadi yakin kalau itu memang sama sekali nggak perlu. Dengan nggak menulisnya maka aku akan dinilai sesuai dengan kemampuan, bukan berdasarkan kondisi fisik. Tapi itu bukan berarti aku berbohong, lho. Karena sebelum melamar suatu pekerjaan aku (---kita) wajib bertanya pada diri sendiri, "Apakah aku sanggup mengerjakan pekerjaan ini?" Jika jawabannya sanggup, maka go ahead, langsung saja kirimkan CV terbaik dan berharap yang terbaik. Percaya diri itu penting, jangan sampai takut duluan sebelum memulai sesuatu. Pastikan saja pekerjaannya memang cocok dengan latar belakang pendidikan/kemampuan dan kondisi. Misalnya saja jika memiliki kondisi sepertiku, jangan memaksakan untuk melamar di bagian gudang/stock keeper yang job desc nya mengangkat barang-barang yang berat.

Haruskah Menyebutkan Kondisi Fisik/Kesehatan saat Wawancara?
Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, "Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan." Jadi seharusnya nggak perlu lagi menjelaskan panjang lebar tentang kondisi kita. Tapi dengan catatan kita sudah yakin betul kalau sanggup dengan segala job desc dari pekerjaan yang kita lamar. Tapi  boleh-boleh saja jika mau menyebutkan, terutama saat mengisi form yang biasanya ada kolom kondisi kesehatan. ---Terutama jika kondisi kita "abu-abu". Contohnya saja aku, saat melamar menjadi guru di preschool aku akan menyebutkan bahwa mengidap severe scoliosis. Alasannya karena dari segi latar belakang pendidikan dan kemampuan, aku sangat kompeten untuk posisi itu. Tapi karena calon murid-muridku masih balita, besar kemungkinan "job desc" ku bertambah sebagai juru gendong anak-anak, hehehe. Percayalah, sebuah pekerjaan nggak akan lari hanya karena kondisi fisik selama CV dan wawancara kita mengesankan :)

Disabilitas terbagi dua, yaitu yang terlihat (visible impairment) dan nggak terlihat (invisible disabilities). Bagi yang terlihat (misalnya pengguna memakai kursi roda, brace, alat bantu dengar, memiliki mising limbs, etc) maka akan a bit easier karena kita nggak perlu menjelaskan. Tapi bagi yang nggak terlihat seperti pengidap diabetes, epilepsi dan lainnya diperlukan pertimbangan lain. Jika semuanya masih bisa diatasi dengan obat atau terapi (eg: ada jaminan pengidap epilepsi nggak akan kambuh selama patuh dengan pengobatan), kita tentu nggak perlu menjelaskan saat wawancara. Tapi lain dengan pengidap epilepsi yang bisa kambuh kapanpun (misalnya kasus lebih severe), sudah seharusnya memberitahu sejak awal karena ini adalah salah satu bentuk dari tanggung jawab terhadap diri sendiri. Kalau sudah mau bekerja artinya sudah dewasa, dong. Dan hanya kita yang paling mengenal kondisi tubuh kita sendiri :)

Pekerjaan Apa yang Cocok?
Yang tahu dengan jawabannya tentu diri sendiri. Carilah pekerjaan yang sesuai dengan minat, bakat dan kemampuan. Terkadang memang nggak mudah, tapi trust me, itu bukan 100% karena kondisi fisik kita. Banyak faktor yang menentukan, misalnya saja kesediaan lapangan pekerjaan yang cocok, luck (---yup, ini juga berpengaruh) dan "masalah" waktu. Temanku yang seorang quadriplegic (lumpuh dari leher ke bawah) perlu waktu 10 tahun untuk kembali bekerja sebagai guru. Jangan pernah remehkan atau salahkan diri sendiri. Perlu diingat bahwa memiliki IPK tinggi dan fisik yang kuat pun bukan jaminan cepat mendapatkan pekerjaan. Just be patient dan terus berusaha karena selalu ada tempat untuk semua orang.

Mungkin terdengar klise, tapi memang selalu ada sisi positif dari setiap kondisi, kok. Misalnya saja bagi scolioser yang sudah terbiasa melakukan fisioterapi atau yoga secara rutin. Nggak jarang mereka memiliki kedekatan dengan staff di klinik atau rumah sakit, dan itu sangat menguntungkan karena akan tahu lebih dulu jika ada lowongan pekerjaan di sana dibandingkan dengan orang luar ;) Banyak lho scolioser yang menjadi instuktur yoga atau staff di klinik fisoterapi. Malah aku kenal dengan fisioterapis yang dulunya adalah pasien di klinik! :D Itulah kenapa aku anggap bergabung dengan suatu komunitas atau support group sangat penting, karena bisa saja kita bisa mendapatkan informasi lowongan pekerjaan dari sana. Dan nilai plusnya kita juga sekaligus membantu teman-teman dengan kondisi yang sama. Nggak sreg dengan pekerjaan kantoran? Idenya salah satu temanku, Habibie Afsyah mungkin bisa ditiru. Ia adalah seorang enterpreneur sukses yang mengidap Muscular Distrophy. ---Ia bisa bekerja dengan baik meski hanya dengan 2 jari di tangan kanannya :)

Pokoknya, pekerjaan apapun yang kita pilih, ---kantoran atau wirausaha, aku yakin akan selalu ada jalan. Saat merasa ragu sempatkan sejenak untuk menenangkan diri dan meyakinkan diri bahwa kita hebat. Berpikirlah positif, jangan dulu pikirkan soal kegagalan sebelum mencoba. Mendengar kisah-kisah inspiratif juga bisa membantu. Misalnya saja seorang temanku, Thie Santoso yang seorang Tuli (---ya, mereka lebih nyaman dipanggil begitu daripada dengan istilah tunarungu) sudah mengirimkan lebih dari 400 surat lamaran pekerjaan dan semuanya ditolak! Tapi lihatlah ia sekarang yang sukses dengan Yayasan Sampaghita nya. Atau mungkin Hunter Kelch, temanku dari Amerika yang beberapa waktu lalu sempat menulis untuk blog ini. Ia adalah pengidap Cerebral Palsy Quadriplegic yang sukses sebagai blogger profesional! :)

Alasan aku menulis ini semua bukan karena aku sudah sukses atau keren. Aku hanya ingin berbagi pengalaman karena yakin banyak sekali yang mengalami situasi serupa. Semoga ini juga menjawab pertanyaan teman-teman di "Masyarakat Skoliosis Indonesia" yang bertanya tentang bagaimana aku bisa mendapatkan pekerjaan bahkan sebelum lulus kuliah. Sekali lagi aku ingin mengingatkan kalau selalu ada tempat untuk semua orang, jangan takut duluan sebelum berusaha dan... be anything you want to be. Kita bisa! :)


Catatan:
Difabel atau disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.
(Sumber Wikipedia)


Ingin berpartisipasi dengan project  buku "Guruku Berbulu dan Berekor" Part 2 yang royaltinya didonasikan ke hewan-hewan terlantar? Kirim cerita menarik kalian dan hewan peliharaan ke namaku_indikecil@yahoo.com.


girl with a cheeky spine,

Indi

-----------------------------------------------------------------
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com