Tampilkan postingan dengan label Kuliner. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kuliner. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Juli 2023

Ketika Woody, Jessie, Buzz dan Little Green Man Masuk Rumah Hantu :D

Ah, akhirnya bisa kembali lagi menulis di blog ini :'D Nggak, aku nggak malas nulis, lupa password atau kehilangan laptop, kok. Tapi kemarin-kemarin aku dan Shane sedang proses pindah rumah dan laptopku KETINGGALAN di rumah lama! Ahahaha, entahlah kenapa bisa kelupaan, ---dua-duanya pula, laptopku dan laptop Shane. Padahal pekerjaan kami lumayan bergantung sama laptop :') Untungnya selama proses pindah kami tinggal di rumah ortuku, jadi tetap punya akses internet untuk pekerjaan kami meski jadi menggunakan handphone :) 

Kepindahan kami memang mendadak, hanya diputuskan dalam beberapa minggu saja tapi kami sepakat kalau alasannya sangat masuk akal. Tiga bulan setelah menikah kami memutuskan untuk membeli satu unit apartemen, dan sampai (hampir) 4 tahun pernikahan kami tinggal di sana. Meski mungil tapi kami betah dan bahagia di sana. Kami mendapatkan privasi dan kemudahan akses ke tempat dan fasilitas yang kami butuhkan. Intinya, rumah lama kami nyaris sempurna. Lalu kenapa kami memutuskan pindah? Karena sadar kalau dengan tinggal di rumah tapak, yang masih di kota yang sama, bisa lebih hemat dan kami bisa punya lebih banyak space. Jujur, kepergian Eris, anjingku bulan Maret 2022 lalu, bikin mentalku terguncang. Hampir tiap malam aku menangis dan terus menyalahkan diri sendiri kenapa malah tinggal di apartemen sementara Eris perlu tempat yang luas. Seandainya saja sejak awal aku dan Shane tinggal di rumah tapak, aku bisa di samping Eris ketika ia pergi... Kepindahan kami memang nggak bisa mengembalikan Eris, tapi kurasa ini cara membuka lembaran baru yang baik; untuk kesehatan mentalku dan juga Shane, ---di tempat luas dan berjauhan dengan tetangga aku yakin ia bisa leluasa dalam proses membuat musik.


Kami tinggal di rumah ortuku selama kurang lebih 4 bulan. Selama itu pula kami menyicil renovasi tempat tinggal baru dan membawa barang-barang dari apartemen (yang somehow kelupaan melulu untuk membawa laptop, hahaha). Perasaanku campur aduk, di satu sisi happy banget bisa dekat-dekat dengan Ibu, Bapak, juga Ali, tapi di sisi lain ada perasaan rindu bisa berdua saja dengan Shane. Apalagi ada moment-moment yang biasanya dirayakan dengan 'cara kami' jadi harus disesuaikan kembali karena sedang nggak tinggal di rumah sendiri. Tapi kami nggak anggap ini big deal sih, aku dan Shane sadar betul kalau situasi ini hanya sementara, jadi better enjoy saja jadi 'bayi-bayi' Ibu dan Bapak selama kami tinggal di rumah mereka :p


Penyesuaian juga kami lakukan di moment anniversary pernikahan dan Halloween. Tahun kemarin kami nggak menginap di hotel atau makan di restoran, tapi cukup dengan delivery order saja untuk makan bersama Ibu, Bapak dan Ali. Rasanya gimanaa gitu kalau kami harus bersenang-senang di luar. Meskipun Ibu dan Bapak pasti nggak keberatan dan malah ikut senang, tapi rasanya tetap stay di rumah jadi keputusan lebih bijak :) Begitu juga dengan Halloween, meskipun sudah pasti diizinkan untuk mendekor rumah (---kan dulu sebelum menikah juga begitu, hehe), tapi aku dan Shane lebih memilih untuk merayakannya di luar saja supaya rumah nggak berantakan. Dengan mengajak mereka tentunya, lengkap dengan membelikan kostum bertema sama supaya kompak, hehehe.


Foto Halloween kami yang sayangnya tanpa Ibu :')


Setelah tahun sebelumnya aku dan Shane memakai kostum Squid Game, ---yang mana kurang family friendly (serialnya maksudnya, kostumnya sih biasa saja), Halloween tahun 2022 kami putuskan untuk mengambil tema yang netral. Toy Story! Karena semua orang suka, termasuk Ibu dan Bapak. Apalagi Ali belakangan lagi suka banget nonton ulang serinya di Disney+. Sudah deh, nggak perlu mikir lama ia mau pakai kostum Buzz Lightyear, hehehe. Aku dan Shane memilih kostum Jessie dan Woody, yang meski di film diceritakan bukan pasangan tapi bagi Ali harusnya begitu, karena cowboy dan cowgirl katanya :D Sementara Ibu dan Bapak mereka sih bebas, ngikut saja karena memang rencananya pun nggak akan pakai full kostum, cukup kaus saja asalkan bisa represent tokohnya. Aku dan Ali pikir Mr. dan Mrs. Potato Head akan jadi kostum buat mereka. Tapi ternyata mendekati Halloween Ibu nggak bisa ikutan karena Nenek meminta beliau untuk mengantarnya ke makam Kakek, ---dan menginap di villa keluarga. Rencana kostum pun harus diubah, karena aku merasa janggal kalau Bapak jadi Mr. Potato Head sendirian, kan, hehehe. Akhirnya aku putuskan untuk membeli kaos Little Green Man. Dari segi warna akan serasi dengan kostum Ali dan kebetulannya ketiga alien mungil itu diceritakan diadopsi Mr. dan Mrs. Potato Head kan, jadi nggak jauh-amat dari rencana awal :p (Lah, maksa, hueheee).


Surprisingly, mencari kostum untukku dan Shane itu nggak sulit. Kupikir awalnya aku bakal harus pesan dari luar negeri karena kami pakai size besar. Tapi ternyata ada store lokal yang bisa membuat kostum custome made Jessie dan Woody ukuran dewasa! Mereka hanya menjual atasannya saja, dan memang cuma itu kok yang kami butuhkan. Karena meski aku pakai kostum Jessie aku tetap ingin terlihat seperti aku alias pakai rok, hahaha. Jadi daripada memakai celana bermotif kulit sapi, aku ganti saja dengan rok tutu. Aksen kulit sapinya tetap ada, tapi di kaus kaki :D Sedangkan Shane ia punya banyak celana jeans jadi nggak perlu membeli yang baru. ---As always, Halloween kami selalu sebisa mungkin nggak boros. Karena di situ serunya, memanfaatkan apa yang ada jadi hasil yang kreatif ;)

Nah, kostum Ali justru jadi yang tersulit. Di luar dugaan kan, padahal biasanya cari kostum bocil gampang T_T Kostum Buzz Lightyear nya sih banyak, tapi susaaah banget nemu ukuran yang pas. Kostum Buzz yang lucu-lucu, yang punya detail seperti aslinya, pasti ukurannya kecil-kecil, buat usia balita gitu. Sedangkan yang besar cuma bersablon di bagian dada doang tanpa detail di lengan dan celana. Yang ada malah mirip piama kan, uhuhu x'D Mungkin usia 7 tahun sudah nanggung ya, sudah masuk SD dan di sini biasanya kebanyakan yang merayakan Halloween dengan kostum sampai usia TK saja. Ali sampai bilang kalau ia nggak keberatan pakai kostum kesempitan karena kepengen mirip sama Buzz. Tapi of course nggak aku kasih. Sangat bertentangan dengan pedoman Halloween ku yang kostumnya HARUS bisa dipakai lagi buat sehari-hari, jangan mubazir, hehe. Aku nggak mau nyerah, setiap malam jari-jariku mengetik segala macam kata kunci di Google, bahkan menghubungi seller-seller yang jelas di tokonya nggak jualan kostum Buzz. ---Ya, kali aja kan punya kenalan penjual lain, hehe xD Daaaan, akhirnya! Aku beruntung juga! Ada seorang seller yang pernah menjual kostum Buzz ukuran Ali tapi ia nggak yakin apa masih ada atau nggak. Stoknya tinggal 2 potong dan aku berharap banget salah satunya ukuran Ali. Saat itu ia nggak ada di tempat, jadi minta tolong orang lain untuk mengecek ukurannya. Menurut info dari yang dimintai tolong, keduanya bukan ukuran Ali. Yang satu kekecilan dan satu kebesaran BANGET. Aku sempat pasrah bilang sama Ali kalau ia harus pilih kostum tokoh lain atau pakai kostum Buzz yang detailnya sedikit. Tapi entah kenapa keesokan harinya aku penasaran dan minta sellernya (sambil minta maaf berkali-kali kaya Mpok Minah) untuk ukur secara manual. Syukurlah ia baik banget :') Ia ukur satu-satu, dan ternyata salah satunya PAS ukuran Ali! Huaaaa, aku sampai lompat-lompat, tendang-tendang, teriak-teriak histeris (yang lalu diikuti Ali) saking senangnya! Hahaha, Akhirnya kostum kami lengkap! Termasuk Bapak yang pas 2 malam sebelum Halloween kaus Little Green Mannya tiba :)


Gimana, keren kan kostum Buzz Lightyear Ali? ;)


Kostum aku, Shane dan Ali. Waktu foto ini diambil aku belum punya boneka Jessie xD


Di malam Halloween kami membuat foto Halloween, ---karena kami tahu kalau di hari H nya nggak akan sempat. Sekalian kami juga mencoba kostum kami yang sudah dicuci dan make sure nggak ada kekurangan. Thank God semuanya pas (ya, rokku kebesaran sih tapi bisa diakali dengan ditarik ke atas pakainya). Rencananya kami akan ke rumah hantu, jadi kami tidur lebih cepat supaya bisa datang nggak terlalu siang. Paginya, tiba-tiba saja aku punya ide buat cat rambut jadi warna merah. Ceritanya biar mirip sama Jessie gitu, hahaha. Padahal untuk proses pengecatan, keramas sampai dikeringkan kan nggak cukup satu-dua jam ya, tapi entahlah kepengen saja :p Untung Shane sigap membantu, dengan cat rambut yang sudah ada (lupa waktu itu beli buat apa, hehe) ia mengecat rambutku serapi dan secepat mungkin. Hasilnya bagus , aku suka! Yaaa, meskipun rambutku nggak panjang kaya Jessie, yang penting warnanya mirip dan sama-sama ada kepangnya. ---Maksudnya aku pakai bando model kepang yang dibelikan Ibu beberapa waktu lalu :p


Rokku ketara banget ya kebesaran (lihat lipatannya sampai perut, ahahaha).


Jessie and Woody (Woody nya pakai sandal Swallow).



Karena Halloween jatuh di hari Senin dan nggak masuk sebagai holiday di sini, jadi kami pergi ke rumah hantu yang berada di Trans Studio sepulang Ali dari sekolah. Sebenarnya at least ada 3 mall lain di Bandung yang juga punya event Halloween, tapi setelah scrolling di akun Instagram mereka kayanya cuma Trans Studio yang paling nyaman dan family friendly. Soalnya jujur nih, aku kurang sreg kalau Halloween jadi ajang cosplay khusus genre tertentu dan yang datang kostumnya banyak yang nggak age appropriate T_T Anyway, waktu kami tiba ternyata suasana nggak begitu ramai. Mungkin karena itu tadi, bukan di hari libur. Dekorasinya juga sangat minim, hanya ada satu pohon raksasa yang terbuat dari rangkaian labu-labu Jack O'Lantern. Selebihnya sama seperti hari-hari biasa, bahkan di tempat yang seharusnya menjual topeng Halloween pun kosong. Agak kecewa sebenarnya karena Ali sudah bersemangat membawa ember labunya tapi ternyata nggak ada yang bagi-bagi permen, hehe :'D Dulu, waktu Trans Studio baru dibuka, Halloween jadi waktu yang lebih menyenangkan. Ada dekorasi di setiap sudut, seluruh pegawainya memakai kostum, ada diskon untuk yang datang memakai kostum dan tentu ada acara bagi-bagi permen. Sayang ya Ali nggak sempat mengalami karena ia belum lahir waktu itu :'D Tapi aku ingat kalau moment berharga itu bisa diciptakan, bukan bergantung pada tempat. Jadi aku putuskan untuk menerima segala perubahan dan bersenang-senang :) 


Satu-satunya dekorasi Halloween di TSB. Beda banget ya dibanding waktu dulu :')


Waktu kami mau masuk wahana rumah hantu rupanya hanya aku yang ketakutan, hahaha. Sepanjang lorong antrian aku memegang tangan Shane kuat-kuat. Mungkin karena suasananya gelap dan sepi ya, ---hanya ada satu keluarga lain yang mengantri di depan kami. Sementara Ali, di luar dugaan ia santai-santai, bahkan dengan bersemangat melihat-lihat suasana sekitar yang disetting menyeramkan dengan batu nisan, lukisan dan lampu gantung. Karena satu kereta yang digunakan di wahana hanya untuk empat orang saja, jadi kami harus menunggu dulu sebentar. Ketika kereta tiba aku langsung bimbang antara mau duduk di barisan depan atau belakang. Aku merasa duduk dimana pun nggak aman. ---Kalau di belakang aku takut ada yang nyolek-nyolek punggungku, sementara kalau di depan aku bakal jadi orang pertama yang melihat "hantu", hahaha T_T Belum juga aku memutuskan, eh, Ali dan Bapak sudah duduk di belakang. Ya.. terpaksa deh aku yang di depan, hahaha :')


Selama di dalam rumah hantu aku kebanyakan tutup mata, tapi tanganku tetap berusaha arahkan handphone ke "para hantu" untuk merekam. Pikirku kalau pun pas di wahana nggak lihat apa-apa, minimal aku bisa lihat rekamannya nanti, hahaha. Agak aneh memang, Halloween adalah holiday favoritku dan aku hobi banget nonton film horor, tapi masuk rumah hantu family friendly saja takut xD Menurut Shane itu karena imajinasiku terlalu besar, aku jadi suka membayangkan hal-hal mengerikan yang sebenarnya nggak mungkin terjadi. Yaaa, betul juga sih, bahkan kalau lagi nonton film horor saja kadang imajinasiku malah lebih seram dan ujung-ujungnya malah ngarang cerita sendiri yang lalu aku ceritakan sama Shane setelah filmnya selesai :p (Ini alasan kenapa kami kalau habis nonton nggak langsung keluar dari bioskop, ---ngobrol dulu, hahaha).


Keluar dari rumah hantu kami langsung membahas pengalaman kami, dan kesimpulannya ternyata memang hanya aku yang takut -_-"  Bapak bilang wahananya seru dan lumayan menyeramkan karena ada hantu kepala terpenggal (haha), sementara Shane dan Ali, mereka bilang nggak seram sama sekali. (Seketika aku merasa menyesal kebanyakan tutup mata). Tapi kami setuju kalau rumah hantu jadi pengalaman yang menyenangkan dan berkesan. Bapak bahkan sampai punya ide buat berfoto di depan rumah hantu untuk bukti kalau kami berani masuk ke sana lho. Sekalian supaya Halloweennya terasa katanya :D Rumah hantu juga jadi satu-satunya wahana yang Halloween related karena Trans Studio nggak punya wahana spesial Halloween seperti Escape Room di tahun 2018 lalu yang bertepatan dengan rilisnya film Goosebumps: Haunted Halloween. Setelah itu kami ya main wahana-wahana biasa saja, seperti Dragon Riders (naga terbang), Sky Pirates (balon udara) dan lain-lain. Oh iya, waktu Ali sedang bermain di play ground khusus anak, aku dan Shane pergi berdua untuk memesan makan siang. Ternyata ada flashmob dance Thrillernya Michael Jackson dari para zombie yang entah datang dari mana xD Kami sempat diajak, tapi kami menolak karena sedang buru-buru dan... nggak bisa menari! :p 


Bukti kalau kami masuk Rumah Hantu :p


Makan siang dengan mie jamur. Gak banyak pilihan di TSB, tapi yang penting perut jangan sampai kosong :D


Setelah perut kenyang dan puas dengan wahana-wahana menegangkan, kami menghabiskan sisa waktu di Trans Studio dengan bermain di "Kids Friendly Zone". Well, tepatnya Ali sih yang main sementara aku, Shane dan Bapak kebanyakan duduk-duduk saja sambil beristirahat. Di zona ini wahananya memang dibuat versi mini karena diperuntukan untuk anak-anak. Aku sempat  mendampingi Ali di dua wahana, itu pun karena Ali yang minta dan setelah izin petugasnya. Kalau nggak izinin aku sih malah nggak apa-apa, karena TBH aku ngerasa janggal jadi yang paling gede sendirian pas naik kereta mini, haha xD 

Meski masih ada waktu sebelum closing tapi kami putuskan untuk nggak naik wahana apa-apa lagi. Kami menonton parade penutupan dan kami keluar area Trans Studio dengan hati yang sangat senang dan puas :)


Kudanya mungil, jadi aku gak berani naik, hahaha.


Selesai parade kami berfoto dulu dengan marching band.


Mermaid cantik :)


Please aku penasaran ini kostum apa. Zebra laut gak sih? xD


Rencana kami selanjutnya adalah makan malam sebelum pulang. Waktu kami turun menuju area mall, aku mampir ke toilet dulu untuk buang air dan sedikit touch up (sisiran maksudnya, huehe...). Waktu keluar dari toilet aku langsung disambut oleh Shane yang super excited karena melihat poster Toy Story! Rupanya Miniso menjual merchandise Disney khususnya Toy Story. Sungguh kebetulan yang manis karena sama dengan tema Halloween kami :') Langsung saja kami masuk untuk melihat-lihat dan berakhir dengan membawa pulang satu phone charm Little Green Man dan satu gantungan tas berbentuk hati yang Ali pilih untuk Yeyer, boneka kucingnya :D


Pojok kanan atas foto di depan poster yang Shane tunjukkan.


Karena ide Shane kami akhirnya makan malam di restoran pizza, ---tepatnya di Pizza Hut Buah Batu, yang waktu tulisan ini dibuat sudah tutup karena kontraknya habis :') Lagi-lagi kebetulan yang manis, kami jadi seperti di dunia Toy Story sungguhan. Bedanya hanya di nama restoran saja, Pizza Hut alih-alih Pizza Planet! Hehehe. Kalau dipikir lucu juga sih, kami jadi seperti punya dunia sendiri. Waktu kami duduk berempat, makan sambil mengobrol, kami sedang menikmati Halloween yang super menyenangkan. Tapi waktu aku berdiri untuk ke wastafel atau mengambil salad dan melihat sekitar aku jadi sadar kalau untuk orang lain Halloween hanya hari Senin biasa. Keluarga memang ajaib. Bersama mereka aku merasa "normal" dan "aman", ---bahkan saat menjadi yang satu-satunya memakai kostum.


Akhirnya ada foto berempat. Difotoin Mbak Pizza Hut :D


Ali dan Bapak alias si kembar.


Kami pulang dengan perasaan bahagia dan kelelahan. Aku dan Shane langsung masuk ke dalam kamar untuk beristirahat sementara Ali dengan bersemangat (tapi mengantuk) bercerita tentang Halloween kami pada Ibu yang sudah berada di rumah :D Keesokan harinya kami melanjutkan Halloween movie marathon yang sudah berlangsung sejak awal Oktober. Ada banyak judul yang kami tonton, selain Toy Story (tentu saja!) kami juga menonton Hocus Pocus. Aku dan Ali "agak" terobsesi dengan film itu, baik versi original maupun sekuelnya. Kami menontonnya berulang-ulang, bahkan di hari yang sama kami bisa menontonnya dua kali xD Selain itu kami juga membuat kue lumpur alias mud cake yang selalu kami buat di setiap Halloween. Nggak seramai biasanya, of course, karena kami menyesuaikan dengan keadaan. Tapi tetap, kuenya membawa senyuman untuk kami karena meski Halloween 2022 ini "berbeda" tapi kami punya bagian yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya :)


Sekuel Hocus Pocus dapat review jelek? Ah, gak ngaruh buat kami. Tetap suka! xD


Mud cake sederhana yang dibuat dengan penuh cinta :p


Sekarang baru pertengahan tahun 2023, tapi aku (dan Shane) sudah kembali rindu dengan Halloween. Sesekali kami menonton film horor yang fun juga membicarakan rencana kostum apa yang akan dipakai di Halloween pertama di rumah baru kami. Kalau sedang di dalam rumah dan mencium aroma lilin aroma pumpkin yang dibakar, kadang aku lupa kalau sekarang masih musim kemarau, hehehe. Aku sering bilang kalau Halloween itu waktunya untuk kreatif dan family time, ---dan itu betul karena kami bisa berdiskusi tentang ide-ide kami dan mewujudkannya bersama :) Juga, embrace every moment, ---sampai kapan Ali akan mau ber Halloween dengan kami? Gak ada yang tahu. Karena suatu hari ia akan dewasa dan mungkin lebih memilih untuk hangout dengan teman-temannya. Jadi selama kami bisa, kami nggak akan menyia-nyiakan waktu bersama :) 


Kalau kalian, adakah yang merayakan Halloween? Kalau ada, share ya ceritanya di kolom komentar! :) (atau drop link vlog dan blognya juga boleh, ahahaha).


Vlog Halloween 2022/reaksi masuk Rumah Hantu :p


Skit kami, Toy Story di dunia nyata :D



boo!


INDI


----------------------------------------------

Kontak Indi:

namaku_indikecil@yahoo.com (email)

@indisugarmika (Instagram)

Minggu, 30 Desember 2018

Singapore Trip: Happy Tapi Kok Minta Pulang?

Hah? Sudah malam tahun baru saja besok :O Time does flies, ya... Rasanya kayak baru kemarin aku asyik edit-edit novel kelima, eh tahu-tahu saja sudah mau berganti tahun. Jujur saja rasanya aku kurang produktif di tahun 2018. Bukan karena 100% malas sih, tapi ada beberapa hal yang berubah dan "mengeluarkan" aku dari zona nyaman, ---yang bikin harus adaptasi dari awal. Kalau saja bisa kembalikan waktu, aku mau. Tapi ini kan dunia nyata bukan The Twilight Zone, hehehe. Jadi daripada disesali lebih baik sih diperbaiki. I'm gonna be a better me. Amen! :) 
Dari sekian hal yang membuat aku "keluar dari zona nyaman" ada satu hal yang sama sekali nggak aku sesali alias nggak mau ganti dengan apapun. Ada yang bisa tebak apa? Well, kalau sempat baca post ku yang kemarin-kemarin pasti tahu. ---Aku punya suami! Selain keinginan dari diri sendiri, dialah yang membantuku pelan-pelan kembali ke track yang benar. Aku bersyukur dia, ---Shane, nggak memaksakan agar aku bisa kembali produktif secara instan, malah kemarin kami sempat jalan-jalan singkat ke Singapore untuk berlibur sekaligus me-restart tubuhku :)


Ide jalan-jalan ini sebetulnya nggak seluruhnya ide suami. Dia memang berencana mengajakku ke Singapore untuk suatu keperluan, tapi lalu Ibu Mertua punya ide agar aku juga bisa bersenang-senang di sana. "Hadiah natal untuk Indi", begitu katanya. Ya sudah yang tadinya aku hanya membawa piyama banyak-banyak (karena niatnya mau stay di hotel saja, hehehe), jadi ditambah beberapa dress deh biar kece :p By the way, ada yang ingat dengan cerita liburanku sebelum ini kah? Nah, setelah pengalaman yang sampai sekarang meninggalkan trauma itu aku jadi wanti-wanti sama Shane untuk membaca baik-baik dulu review hotel tempat kami menginap nanti. Jangan sampai foto-foto di situsnya bagus tapi setelah sampai ternyata jauh berbeda. Aku sih lebih percaya apa kata pelanggan daripada kata situs karena bisa saja dimanis-manisin. Syarat yang kuminta juga nggak muluk-muluk, asal bersih, wifi kenceng, ada bathup, dan bakal nilai plus kalau ada hair dryer karena aku malas bawa tas berat-berat. Maklum dari zaman masih bocah tas travelingku cuma satu dan ukurannya nggak besar-besar amat, hehehe. Akhirnya setelah Shane punya 3 kandidat hotel dia nemu juga hotel yang pas. Keesokan paginya kami langsung terbang ke Singapore, deh :)

Kami terbang dari Bandung dengan menggunakan pesawat Air Asia. Nggak sempat sarapan dan waktu tiba sudah pas-pasan dengan waktu boarding. Sebenarnya ada sih waktu sedikit, tapi kami sempat ditanya-tanya dulu sama petugas imigrasi karena Shane over stayed beberapa hari. Iya, meski kami sudah menikah suamiku masih pakai visa on arrival, jadi hanya berlaku 30 hari. Dan dia sudah tinggal di sini selama 7 bulan, ---jadi coba hitung saja berapa kali dia harus meninggalkan Indonesia setiap bulan agar bisa bersamaku. Saking seringnya Bandung-Singapore-Bandung jadi terasa seperti ke mall saja, karena berangkat pagi sorenya sudah di Bandung lagi. Awalnya rasanya sih kasihan, kok demi pacar begini amat. Tapi sekarang aku malah merasa wajar, you need to fight for love, benar nggak? :) 
Setelah selesai dengan urusan imigrasi (---yang menurut Shane petugasnya flirting sama aku karena kami disangka temenan, bhahahahaaaa) penerbangan berjalan lancar. Nggak sempat tidur sih karena perut lapar dan menu di pesawat nggak ada yang vegan friendly. Tapi mood kami baik sekali, sepanjang perjalanan ngobrol terus dan main cilukba dengan penumpang cilik yang duduk di depan kami, hehehe.


Setiba di Changi airport kami nggak langsung ke hotel tapi cari makan dulu. Sekalian Shane juga ajak aku berkeliling karena airport ini sudah jadi "tempat tinggal" keduanya selama 7 bulan terakhir (aww...). Pilihanku nggak jauh-jauh sama Nasi Padang. Paling aman deh, soalnya ada menu perkedel sama terong dan nasinya segunung jadi dijamin kenyang dan vegan (eh tapi nggak tahu ya kalau ternyata perkedelnya pakai egg wash T_T). Selesai makan kami duduk-duduk sambil main ukulele. Mau menginjakkan kaki ke luar rasanya malaaaaas banget, soalnya matahari lagi terik-teriknya. Jadi kami santai dulu sambil menunggu waktu check in hotel. Ini nih salah satu alasan kenapa aku cinta sama Shane, kami sama-sama malas panas-panasan, hehehe. Oh iya, dulu pas aku ke Singapore sama Bapak kami boros banget gara-gara pakai taksi ke mana-mana. Bersyukur aku diberitahu teman, Wilson namanya, untuk pakai aplikasi Grab saja karena lebih murah dan cepat dapatnya. Aplikasinya nggak perlu khusus, secara otomatis bakal baca lokasi kita meski download app nya pas di Indonesia. Pokoknya ini life saver banget karena dari pintu terminal kami rupanya cukup susah untuk dapat taksi dan kendaraan umum lainnya. Saking susahnya driver yang jemput kami sempat salah lokasi. Untung saja beliau sabar banget dan mau muter-muter tanpa charge kami lebih *fiuuuh* :D


Hotel yang Shane pilih itu namanya Grand Pasific. Entah deh masih ada hubungannya dengan hotel yang bernama sama di Bandung atau nggak. Jarak dari airport sekitar 20 menitan, tepatnya di Victoria Street. Kesan pertama, aku suka dengan suasana daerahnya yang sepi. Nggak gitu banyak turis lalu lalang dan hotelnya juga sederhana. Kalau kata Shane sih, "Gedungnya tua, tapi tuanya tua dalam artian bagus." ---Nggak tahu deh apa maksudnya, hahaha :') Kami kebagian di lantai 10, di kamar paling ujung dekat tangga darurat. Aku dan Shane langsung girang, soalnya itu artinya kami bisa nyanyi dan main ukulele sampai larut tanpa takut ada yang merasa terganggu. Hore! Sudah dua kali berturut-turut saat menginap kami kebagian kamar yang "bebas merdeka", sungguh kebetulan yang menyenangkan :D Prinsip kami sih mending menginap di tempat yang lumayan supaya fasilitas toiletries atau personal carenya lengkap. Jadi space di tas bisa buat alat musik, laptop dan, ehm... boneka kelinciku, hehehe. Paling hanya sabun cuci muka dan deodoran saja yang bawa dari rumah, lainnya seperti lotion, qtips, dll sudah ada. Karena happy ala kami ya begitu, bisa menulis, bisa nonton film, bisa main musik, bisa santai... Rasanya kaya surga dunia, hehehe. 



Shane langsung rebahan di kasur sementara aku langsung berendam air hangat. Rasanya nyaman sekali setelah paginya aku mandi agak keburu-buru. Sayangnya aku lupa bawa bathboom yang mertuaku kasih, jadi cuma pakai shower gel biasa. Aku juga sudah siap bawa HP ke kamar mandi supaya bisa sambil nonton film, tapi rupanya wifi selalu putus-nyambung begitu di wilayah tub. Jadi ya sudah aku merem-melek saja sambil menikmati siang menjalang sore. Setelah selesai aku pun menyusul Shane yang sudah terlelap (mungkin kelamaan nungguku, hehehe). Saking nyenyaknya kami terbangun tengah malam dalam keadaan lapar. Insting pertamaku langsung ajak Shane jalan kaki buat cari makan murah-meriah. Tapi lalu aku sadar kalau di daerah ini restoran sudah pada tutup, dan yang buka 24 jam cuma mini market. Yah... makan mie instannya besok-besok saja dulu deh... Masa lagi liburan sudah berasa kaya pas akhir bulan di rumah, hehehe :p Hasil cek google restoran terdekat yang masih buka jaraknya di atas 4 KM semua. Jangankan cuci muka, buat ganti piyama dengan yang baju yang agak mendingan saja aku sudah malas... Akhirnya kami putuskan untuk pakai Grab food. Agak asing dengan aplikasinya karena di Bandung kami biasa pakai Gofood atau delivery order ke restorannya langsung. Sempat 2 kali gagal karena jaraknya di luar area, dan waktu akhirnya dapat ternyata makanan Meksiko. Padahal awalnya aku lagi kepengen banget makanan India, hehehe. Tapi nggak apa-apa deh, soalnya Baja Bowl dari Baja Fresh Mexican Grill ternyata enak banget! Aku sampai habiskan 2 mangkuk besar dan setelahnya... langsung tidur lagi. Kekenyangan!


Karena aktivitas hari pertama kami cuma makan-tidur-makan-tidur, besoknya kami bangun pagi-pagi sekali. Rambutku agak lepek jadi sekalian saja aku mau coba jajal kemampuan hair dryer hotel. Di luar dugaan, meski kecil ternyata oke juga. Anginnya kuat banget, sampai-sampai rambutku yang tebal ini lumayan cepat keringnya. Sayangnya colokan di wastafel kamar mandi hanya untuk shaver. Jadi sehabis rambut kering aku nggak bisa styling pakai catokan di sana :( Untung saja aku banyak akalnya (lol). Aku pakai kamera selfie HP ku sebagai cermin! Agak-agak kagok sih, tapi it works. Sudah kece kami niatnya mau cari sarapan di luar. Alasannya karena menginap ternyata exclude sarapan. Tapi iseng-iseng kami tanya berapa harganya, ternyata terjangkau (kalau nggak salah sekitar 200 ribuan per orang) dan all you can eat! Ya sudah kami makan di sana, namanya Sun's Cafe. Menunya ala makanan rumah gitu, dan ada pilihan untuk vegan. Aku dan Shane puas banget dan berandai-andai kalau saja kami bisa makan "menu sarapan" untuk makan siang dan malam juga. Kan bisa hemat tuh. Secara pas kami hitung-hitung untuk makan malam yang lalu habis 500 ribuan. Mending aku makan di Ampera deh bisa traktir sekeluarga plus gratis teh anget :') 





Keinginanku buat main ukulele sepuasnya tercapai juga. Mungkin karena nggak was-was ada yang terganggu rasanya jadi lebih kreatif. Aku bikin lagu di sana, ---tepatnya pas lagi nongkrong di kamar mandi, hehehe. Aku dan Shane memang nggak banyak ke luar, sebagian besar waktu kami dihabiskan di kamar saja. Kami hanya keluar untuk makan, itu pun nggak jauh-jauh. Ada restoran namanya Din Tai Fung yang jaraknya cuma 2 belokan dari hotel. Sejauh ini rasa makanannya jadi yang paling memuaskan lidahku, soalnya pedas dan nendang. Sedangkan sisanya kami makan di kamar saja sambil genjang-genjreng ukulele. Eh, ngomong-ngomong ada pengalaman cukup horror lho di kamar kami. Seperti yang sudah aku sebutkan, kamar kami ada di ujung. Jadi sisi kirinya mentok dan sisi kanan langsung ke tempat tidur kamar lain bukan kamar mandi. Di depan kamar kami juga kosong dan kamar kami menghadap ke jalan, jadi suara yang terdengar harusnya cuma lalu-lalang kendaraan saja. Tapi beberapa kali kami dengar ada suara air mengalir, seperti orang pakai shower dan flush toilet gitu. Padahal aku sudah cek kalau ada yang pakai kamar mandi nggak terdengar tuh ke luar. Pernah lagi asyik nonton TV tiba-tiba saja ada "suara-suara". Malah yang lumayan bikin deg-degan lampu kamar kami suka kaya ada yang mainin. Seram-seram kocak, soalnya kami senang nonton film horror tapi kalau ngalamin ternyata takut juga, hahaha.







Di hari ketiga aku kepengen pulang. Padahal seharusnya kami menginap satu malam lagi, bahkan sudah berencana ganti hotel segala biar nggak bosan. Entah kenapa aku kepikiran melulu ikanku, Fish O'Fish. Jadi sebelum berangkat aku memang sempat nangis kejer gara-gara si ikan lagi sakit pop eye (mata bengkak). Sudah diobati dan minta saran sama teman-teman di grup tapi kondisinya masih gitu-gitu saja. Yang bikin makin khawatir dia jadi susah makan, padahal biasanya lahap. Selama di Singapore aku whatsapp bapakku terus buat nanya keadaannya. Katanya sih baik-baik, tapi karena nggak kirim bukti foto kok aku jadi curiga (---padahal rupanya memang baik-baik saja, lol). Aku bilang sama Shane kalau pulangnya lebih baik dipercepat saja. Toh aku sudah dapat cukup waktu untuk refreshing dan lama-lama bingung juga mau ngapain lagi. Sayangnya karena mendadak kami nggak dapat tiket yang langsung ke Bandung kecuali kalau berangkat pagi-pagi sekali. Well, itu sih nggak mungkin karena aku minta pulangnya saja sudah hampir tengah hari. Aku pikir sudahlah kami ke airport dulu siapa tahu ada yang cancel dan jadi rezeki kami. Jadilah kami check out dan jalan-jalan dulu sebentar. ---Maksudnya literally jalan kaki sambil ngalor-ngidul karena Shane rupanya belum mantap untuk pulang. Kami mampir dulu ke Food Republic dan ngobrol-ngobrol di sana. Kami bahas apa plus-minusnya kalau kami pulang sekarang atau besok. Tapi nggak butuh waktu lama Shane pun setuju untuk pulang, alasannya karena cuaca sangat panas dan setelah dihitung baju bersih dia juga tinggal satu, hahaha. Jadilah kami pesan Grab dan menuju airport.




Pas banget sampai di airport ibuku video call. Beliau kaget karena aku sudah mau pulang dan belum dapat tiket. Kayanya Ibu khawatir kalau aku bakal nginep di airport saking malas ke mana-mananya :p Tapi aku jelaskan kalau Shane sedang cari tiket, dan terakhir waktu kami cek ada penerbangan ke Jakarta untuk sore hari. Syukurlah ternyata kami kebagian meski sisa hanya beberapa seats saja, ---dan aku masih kebagian window seat pula! Alhamdulillah! :D Pokoknya aku girang-segirangnya. Kami cuma punya waktu 30 menit sebelum boarding, dan itu aku pakai untuk beli oleh-oleh baju buat Ali keponakanku, sementara Shane beli burger sayur untuk bekal di pesawat karena tahu nggak ada menu vegan di udara. Kami sempat berselisih, karena waktu kami sudah dipanggil Shane ternyata masih belum kembali. Padahal aku sudah ingatkan dia untuk lari. Aku sampai bilang kalau sampai kami ketinggalan aku mau nangis kejer, hahaha. *becanda*
Waktu kami duduk di pesawat rasanya aku lega banget. Nggak sabar untuk tidur di kamar kami dan ketemu lagi sama keluarga dan hewan-hewan peliharaan di rumah. Singapore memang negara yang menyenangkan, aku nggak pernah kecewa setiap kali berkunjung ke sana. Tapi nggak ada yang mengalahkan nyamannya rumah dan nikmatnya masak di dapur sendiri :))


Rupanya memang benar, aku hanya perlu refreshing. Keluar dari rutinitas ternyata membuatku rindu untuk kembali produktif. Mungkin karena terlalu larut dengan kemageran, bikin aku lupa tentang "pentingnya" liburan. Serius guys, jangan pernah menyepelekan kekuatan dari ambil break buat diri sendiri. Nggak usah jauh-jauh, nggak usah lama-lama. Yang penting beri diri sendiri waktu untuk rehat because you deserve it! ;)



nb: Aku deg-degan banget waktu buka pintu kamar, takutnya Fish O'Fish kenapa-napa. Rupanya oh rupanya, dia malah jauuuuh lebih sehat dari sebelumnya. Aku memang suka khawatir berlebih ya, hahaha :D


penggemar burger sayur,

Indi

-----------------------------------------------------------------------
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

Minggu, 06 Mei 2018

Kehidupan Tidak Pernah Berakhir: Lho kok Vegan Makan Telur Ceplok?! :O

Hi bloggies! How's your weekend? Semoga menyenangkan ya! Ngomong-ngomong soal weekend, apa nih aktivitas favorite kalian? Hangout? Atau di rumah sajakah kaya aku? Hihihi. Jujur, aku hampir selalu milih buat menghabiskan waktu di rumah sih. Nulis, bikin musik, masak, kumpul sama keluarga, main sama Eris anjingku, or simply snuggling sama si pacar. Aku cuma ke luar kalau lagi kepengen banget, misalnya saja lagi craving sesuatu. Kaya kemarin nih, aku kepengeeeen banget makan telur ceplok, rendang sama sate! ---Tunggu! Sebelum protes, iya aku masih (dan akan tetap) vegan, kok. Yang aku mau ini bukan menu-menu sungguhan, tapi versi vegannya alias cruelty free! ;)

Sejak beralih dari pesco vegetarian, ke vegetarian lalu ke vegan, selera makanku nggak berubah. Aku masih tetap suka makanan dengan kaya bumbu dan segar. Dulu aku sering ditakut-takuti sama orang sekitar, katanya kalau jadi vegetarian susah cari makan, hahaha. Tapi ternyata buktinya nggak kok, bahkan setelah jadi vegan pun aku bisa makan enak dan sesuai selera. Caranya ya gampang, tinggal masak sendiri. Kalau menunya hewani ya tinggal "divegankan". Sekarang kan apa-apa mudah dicari di internet, dan layanan pesan-antar via aplikasi juga memudahkanku untuk membeli bahan-bahannya. Nah, tapi bagaimana kalau aku lagi malas? Ya, beli saja masakan yang sudah jadi. Memang tempatnya nggak sebanyak restoran biasa, tapi restoran vegan itu ADA kok, dan bukan hal "mewah" :)

Aku tinggal di Bandung. Sejak masih jadi pesco vegetarian (vegetarian yang mengkonsumsi ikan) bertahun-tahun lalu, aku sudah punya restoran favorite. Namanya "Kehidupan Tidak Pernah Berakhir". Aku tahu tempat ini justru dari temanku yang bukan vegan! Dia cerita sama aku kalau ada restoran dengan harga terjangkau yang makanannya enak-enak. Penasaran, aku pun langsung cari alamatnya dan... aku jatuh cinta pada pandangan pertama, hahaha. Waktu dulu sih aku belum berani pesan yang macam-macam di sana, cuma nasi dan sayuran. Padahal aku tahu kalau tersedia menu meat alternative juga, tapi nggak berani pesan karena takut mahal. Maklum masih bocah :D Kalau sekarang sih sudah berani, bukan karena banyak duit tapi karena tahu kalau harganya terjangkau.

Menurutku restoran ini seleranya universal banget, nggak hambar. Seandainya almarhum Kakek makan di sini aku yakin beliau pasti suka karena dulu harus makan menu vegan Rumah Sakit yang rasanya yucky :( Makanya aku sering rekomendasi tempat ini, bahkan sama yang meat eater sekalipun. Dan sumpah aku nggak diendorse lho, hahaha. Termasuk sama pacarku, Shane. Well, singkat cerita tentang dia, dulu dia bukan vegan. Tapi semakin lama kenal dia mulai cerita kalau sebenarnya dia nggak suka masakan dari hewani, terutama telur. Tapi kadang merasa nggak ada pilihan dan rasanya "nggak enak" kalau sudah disediakan makan sama ibunya tapi nggak dimakan. Nah di hari pertama dia tiba di Indonesia (sebelumnya tinggal di Amerika), pola makan Shane berubah. Dia plek mengikuti menu makanku. Awalnya kupikir hanya karena kami tinggal serumah, tapi rupanya saat makan di luar pun selalu menolak daging. Pernyataan "aku vegan" memang nggak pernah keluar dari mulutnya, tapi after one month of being meat and dairy free, rasanya aman untuk menyebut kalau dia juga vegan :)

Salah satu spot foto di "Kehidupan Tidak Pernah Berakhir".

Shane baru berkunjung ke "Kehidupan Tidak Pernah Berakhir" dua kali. Sama sepertiku, dia juga rupanya falling in love at the first sight sampai aku jealous, --JK :D Makannya lahaaaap banget, padahal rasa Indonesia pasti baru buat lidah dia. Nah yang mau aku ceritain sekarang itu tentang kunjungan dia yang kedua (dan ke sekian ratus kali buatku, lol). Jadi ceritanya aku mendadak banget kepengen telur ceplok, rendang dan sate. Kenapa? Aku juga nggak tahu, pokoknya mendadak malas masak (padahal biasanya juga si pacar yang masak, hahaha). Akhirnya menjelang malam kami putuskan ke "Kehidupan" untuk early dinner. Suasana nggak terlalu ramai, kami jadi bisa leluasa memilih tempat. Tanpa ragu aku langsung memilih nasi soto, rendang, terong bumbu cabai dan sayuran. Sedangkan si pacar, dia selalu ragu buat mencoba hal baru. Seperti kunjungan sebelumnya dia memilih nasi goreng ditambah mie keriting setelah kupelototin karena kelamaan milih :p

Tempat duduk yang kami pilih, dekat sekali dengan display makanannya.

Aku ngiler dengan menu rendang karena sempat mencicipi rendang yang iparku pesan beberapa waktu lalu. Rasanya ternyata enak dan pedas. Teksturnya mirip seperti daging sungguhan, meski kalau soal rasa aku lupa-lupa ingat karena sudah lama nggak makan teman, ---eh hewan. Meski kepedesan (karena terong yang aku pesan juga pedas) tapi aku makan sampai ludes termasuk dengan bumbu-bumbunya. Nikmat banget dimakan sama nasi dan sayuran. Kalau soal terongnya sih jangan ditanya. Rasanya setiap makan di sana jadi menu wajib yang aku pesan, hahaha. Alasannya karena aku cukup picky, kalau terongnya benyek biasanya aku nggak suka. Nah, terong "Kehidupan" tuh rasanya fresh dan cabainya juga "nendang". Saking nendangnya aku sampai pesan teh manis plus bonus dapat bibir dower, hahaha.

Rendang, terong cabai, sosin, tahu kecap dan daun pepaya (---atau singkong??).

Nasi soto plus sambal.

Mie keriting dan pangsit punya si pacar. Ah, suka dengan ide sumpit reusable nya :)

Soto, menu lain yang aku incar juga "terinspirasi" dari iparku yang pernah memesan menu ini buat Ali, keponakanku yang masih berusia 2 tahun. Yup, karena tanpa MSG dan santan makanan di sana jadi aman buat anak-anak. Rasanya waktu itu mau nyicip tapi nggak enak kalau nyosor makanan bocah xD Dan akhirnya keinginanku tercapai! Rasanya hampir sama seperti yang kubayangkan, cuma menurut lidahku agak kurang tajam rasanya. Kalau jeruknya ditambah pasti kukasih nilai 10. Nasi, sayur, terong dan rendang membuatku kekenyangan. Bahkan buat membuat piring dan mangkukku cling bersih pun kepayahan, hahaha. Padahal telur ceplok idamanku belum tercapai. Akhirnya kuputuskan untuk tetap pesan nasi goreng plus si sunny side up tapi untuk dibawa ke rumah. Oh iya, meski kekenyangan aku masih sempat mencicipi mie keriting si pacar, lho  :p Next time aku juga harus pesan, soalnya rasa mie nya pas banget sama seleraku. Kuahnya juga gurih dan harum. Cuma bagian pangsitnya agak terlalu "enek" buatku, makan satu saja cukup. Lainnya sih perfect, sampai sambal dan emping pun aku lahap :D

Jadi lagi-lagi aku dan Shane cukup puas dengan "Kehidupan Tidak Pernah Berakhir". Kenapa "cukup"? Karena menurut kami masih ada hal-hal yang perlu dibenahi. Dan dari sudut pandangku yang sudah ke sana sejak zaman bocah, rasanya ada kualitas yang menurun. Misalnya saja menu-menu meat alternative yang hilang juga dekorasi yang berkurang. Dulu aku sempat berfoto di jajaran bunga matahari yang instagramable banget tapi sekarang sudah nggak ada :( Dan yang paling aku soroti masalah kebersihan toiletnya. Rasanya semakin lama semakin nggak terawat. Nah, kemarin itu rasanya paling gawat. Aku sudah kebelet banget dan dari 2 toilet nggak ada satu pun yang mending, banyak tisu di lantai dan berjejalan di lubang toilet (ewww...). Terpaksa aku dan pacar jalan kaki ke resto fast food di ujung jalan buat numpang pipis :( Mudah-mudahan sih tulisanku ini dibaca sama pihak "Kehidupan", karena aku pernah membuat review di YouTube dan mereka merespon. Tapi kalau pun nggak aku tetap akan berusaha menghubungi mereka karena ini demi kebaikan. Kalau kualitas semakin bagus kan semakin banyak yang berkunjung dan tertarik dengan veganism. So, don't take this as a mean comment ya, ini saran :)

Wah, ternyata bertemu teman pembaca. Sayang ya nggak menyapa :(

Take out food packaging nya rapi, suka! :)

Ini foto setelah nasi goreng dan telur ceplok impiannya dihangatkan di microwave. Masih tetap enak! Oya, jangan tertipu dengan tampilannya, ini bukan telur sungguhan ya. Hanya namanya yang sama karena ini 100% VEGAN! :)

Apa aku merekomendasikan restoran ini? Tentu, iya! Buat teman-teman yang membaca post ini dan belum pernah ke sana, ayo datang ke "Kehidupan Tidak Pernah Berakhir" di Jl. Pajajaran No. 63 Pasir Kaliki, Cicendo Bandung. Mereka buka dari pagi sampai jam 9 malam. Jika kalian datang untuk mencari makanan enak tempat ini worth it sekali, tapi ya itu dia dari segi kebersihan memang harus dibenahi. Oh iya, satu lagi yang lupa aku sebutkan. Packaging untuk take out foodnya rapi, lho. Nasi gorengku utuh sampai rumah. Tapi aku nggak yakin apa ini berlaku juga untuk menu sate karena aku pernah pesan via Gofood dan hanya dibungkus plastik :O Well, sekian dulu tulisanku. Meski ada kekurangan tapi restoran ini salah satu bukti kalau jadi vegan itu nggak ribet dan nggak mahal. Nih aku contohnya, sering bokek tapi selalu bisa makan enak! Hahahaha. Cheers! :)




yang kalau foto pacarnya gak boleh ikutan tapi fotonya ada kok di instagram, lol,

Indi

(*Untuk teman-teman vegan di Tangerang, aku juga punya rekomendasi tempat makan enak yang terjangkau lho, klik di sini. Juga yang mau dengar kolaborasi musik baruku dengan si pacar, klik di sini)

______________________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

Jumat, 23 Desember 2016

Bercerita Tentang Mika di Malang :)

Howdy-do, peeps! Ah, selalu senang kalau bisa kembali ke sini. Rasanya seperti pulang ke rumah, ---rumah di dunia maya maksudnya, hihihi. Kalau ada di antara kalian yang membaca post-postku sebelumnya (atau mengikutiku di Facebook dan Instagram) pasti tahu kalau tanggal 2 Desember lalu aku mengisi sebuah acara Hari AIDS Sedunia di kota Malang. Nah, sekarang aku mau cerita soal pengalaman selama di sana. Dan apa kabar cerita Halloween ku yang ditunda-tunda terus untuk di post? Hehehe, untuk sekarang nonton dulu vlog nya di sini saja, ya. Soalnya karena sebuah alasan (---yang cheessy dan konyol) aku belum bisa menulis ceritanya :p

Di bulan November lalu aku dihubungi oleh Dina, salah satu anggota tim dari Indonesian Future Leaders chapter Malang untuk menjadi pembicara di event peringatan Hari AIDS Sedunia. Aku belum pernah mendengar apa itu IFL, tapi dengan quick search di internet aku jadi tahu kalau itu adalah organisasi non profit yang berfokus pada kegiatan youth empowerment dan social voluntarism. Aku langsung tertarik, ---tapi nggak langsung memutuskan untuk mengiyakan. Alasannya selain tempatnya jauh (tahun lalu aku jadi pembicara di Surabaya dalam keadaan sakit, uhuhu), juga karena sudah jauh-jauh hari ada kelompok dukungan sebaya (group support ODHA dan OHIDA) yang memintaku membantu acaranya di Bandung. Aku meminta waktu untuk berunding dulu dengan Bapak, tapi sebelum kami membuat keputusan dapat kabar kalau acara yang di Bandung batal. Hehehe, tahun ini rupanya aku ditakdirkan untuk memperingati Hari AIDS Sedunia jauh dari rumah :) 

Setiap kali melihat ke belakang aku selalu takjub dan nggak menyangka dengan apa saja yang sudah dilalui... Masih jelas rasanya hari dimana Mika, my forgetful angel, meninggalkanku untuk mengambil sayapnya di surga. Waktu itu rasanya aku sangat terpuruk dan nggak berdaya. Mungkin kesannya berlebihan, tapi memang itulah yang aku rasakan. Aku terlalu terbiasa ada Mika. Selama 3 tahun dengannya aku berubah dari Indi yang pemalu dan nggak nyaman dengan kondisi fisik menjadi Indi yang dengan bangga memakai brace scoliosisnya di luar baju dan merasa 'nggak kurang' dibandingkan remaja-remaja lain. Dengannya aku merasa aman dan percaya kalau aku bisa melakukan 'apapun'. Dan Mika juga lah yang membangkitkan keterpurukanku setelah ia meninggal. Semangatnya membuatku sadar kalau ia nggak akan suka aku terus-terusan murung. Dan berhenti 'membicarakannya' justru membuatku menjadi denial, ---sulit mengiklaskan. Keberanian untuk menghadapi kepergiannya justru malah membuat Mika seolah selalu ada. I face my fears, ---aku berbagi kisah tentang Mika. Dan aku lakukan ini bukan hanya untuknya, tapi juga untukku. 

Jadi pada tanggal 2 Desember lalu, pagi-pagi sekali aku dan Bapak sudah berada di Bandara untuk menuju Surabaya. Penerbangan dari Bandung belum ada yang langsung tiba di Malang, jadi kami harus berangkat sedini mungkin untuk mengejar sesiku yang akan berlangsung pada pukul 14.00 WIB. Aku sebenarnya ditawari untuk berangkat 1 hari sebelumnya, tapi karena aku sedang sedikit demam jadi kupikir lebih baik sedekat mungkin dengan waktu acara. Aku baru tidur 2 jam karena sebelumnya sedang menyelesaikan interview dengan Hunter Kelch (perbedaan waktu 2 negara membuatku harus begadang, hehehe). Aku pikir akan bisa tidur di pesawat, tapi ternyata aku tetap terjaga sampai tiba di Surabaya. Penerbangannya super lancar, dan kami mendapatkan pesawat yang nyaman dan lega. Tapi di sampingku ada perempuan yang "mengkahwatirkan". Ia terus-terusan facetime dengan pacarnya (---atau siapapun itu) sampai ditegur 3 kali oleh pramugari dan sepanjang perjalanan terus-terusan mengecek makeup nya. Ugh, why oh why?!! :p

Waktu tiba di Bandara Juanda.

Meski begitu mood ku dan Bapak tetap super bagus. Kami hanya menunggu sebentar ketika tiba di Bandara Juanda karena Eko dan Rizki dari IFL sudah menjemput dan siap untuk mengantarkan ke Malang. Rasanya seperti de javu, begitu menginjakkan kaki di Surabaya udara langsung terasa hangat (---panas, hehe). Biasanya aku prefer cuaca dingin, tapi rasanya aku rindu Surabaya, teringat keramahan teman-teman di sana, huhuhu, ---jadi mellow :p Tapi 2 teman baru dari Malang ini pun nggak kalah ramah. Sepanjang perjalanan mereka terus bercerita tentang tempat-tempat yang kami lewati. Seperti tour guide, hehe. Dan itu membantuku dan Bapak untuk tetap terhibur di perjalanan yang super macet dan didera hujan deras karena kami banyak tertawa. Sebagai penutup perjalanan sebelum tiba di guesthouse kami juga diajak mampir ke restoran pecel "Kawi". Di sana rasa pecelnya super nikmat! Sayang untuk lidahku terlalu pedas jadi nggak sanggup untuk menghabiskan 1 porsi :p

Pecel “Kawi” yang nikmat tapi pedas :p

Seperti kata Mika, selalu ada yang pertama kali untuk segalanya. Begitu juga dengan pengalaman sebagai speaker kali ini. Kalau biasanya disediakan hotel, kali ini panitia menyediakan sebuah kamar di guesthouse. Ternyata tempatnya nyaman sekali dan homie, ---ada teras untuk bersantai dan kolam ikannya. Lucunya, nama guesthouse nya Bandoeng, cocok sekali dengan kota asalku, hahaha. Yang pertama terpikir olehku ketika tiba adalah tidur, tapi lagi-lagi aku betah terjaga. Mungkin saking lelahnya, plus harus menyiapkan speech ku nanti. Kalau Bapak sih, 5 menit nempel di bantal suara ngoroknya langsung terdengar :p Ya, sudah aku hanya sekedar rebahan sambil memeluk Onci, boneka kelinciku. Sekitar pukul setengah 2 siang handphoneku berdering, rupanya Salsa dan Ferdy dari IFL sudah menunggu di lobby untuk menjemput kami. So excited! Rasanya lelahku langsung hilang seketika :)

Di guesthouse “Bandoeng” setelah berganti baju.

Malang masih diguyur hujan, dan ini membuat perjalanan (lagi-lagi) sedikit terhambat. Butuh waktu lumayan lama untuk tiba di lokasi, padahal jaraknya dekat, lho. Tapi asyiknya aku jadi bisa lihat kiri-kanan dan melihat-lihat taman di kota Malang. By the way, dari sekian banyak tempat yang kukunjungi rasanya di sinilah yang suasana dan udaranya mirip di Bandung. Sejuk dan banyak taman kotanya. Sampai-sampai Bapak bilang kalau difoto dan nggak bilang dimana lokasinya, orang Bandung pasti mengira kami sedang di alun-alun, hihihi. Akhirnya kami tiba juga di Cafe Gembira, lokasi dari event Close the Gap. Sebelum dimulai aku sempat mengobrol dengan Dina dan briefing secara singkat. Berhubung segmenku kebagian sore, jadi aku nggak sempat melihat pengisi acara sebelumnya. Katanya sih ada pameran karya teman-teman ODHA, dan sebagian masih ada di display. Sayang karena lumayan sibuk hanya Bapak yang sempat melihat-lihat.

Tiba di Cafe Gembira untuk event “Close the Gap”.

Nggak menunggu lama, sebelum teh manis hangat yang disediakan habis aku sudah naik ke lantai 2 untuk nonton bareng film Mika. Secara singkat aku mengenalkan diri kepada audiences yang sudah hadir. Kursi-kursi yang disediakan nggak semuanya terisi, tapi menurutku jumlah audiences bukan yang utama tapi antusiasme merekalah yang aku harapkan :) Aku nggak bisa cerita tentang detailnya, ya. Yang pasti menonton kembali "diary" ku bersama Mika selalu membuat perasaan campur aduk. Ada yang bikin tertawa, tapi ada juga yang membuat air mataku jatuh. Ada saat-saat di mana aku merasa nggak sanggup untuk menontonnya kembali, tapi ada juga saat di mana aku merasa "okay". Dan kali ini perasaan gue adalah yang kedua, ---meskipun malam sebelumnya aku baru saja menonton film "Mika" di TV. Ya, air mataku memang sedikit keluar, tapi lebih banyak tersenyumnya. Thank God :)

Film “Mika” diputar di layar besar.

Sepanjang pengalamanku nonton bareng film "Mika", baru kali ini dapat audiences yang 'adem' (baca: sepi). Biasanya, saat adegan lucu mereka tertawa, dan saat adegan sedih ada isak tangis. Minimal ada celetukan-celetukan komentar. Sempat bertanya-tanya juga dalam hati, apakah filmnya kurang seru bagi mereka? Atau apakah mereka bosan? ---padahal kabarnya banyak di antara mereka yang belum pernah menontonnya, lho. Makanya waktu film berakhir dan terdengar tepuk tangan yang riuh aku lega sekali. Rupanya mereka hanya pemalu. Terbukti saat sesi tanya-jawab mereka hapal dan paham betul dengan ceritanya, ---bahkan mendetail! Ternyata diam-diam mereka memperhatikan, ya, hehehe. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan pun cukup smart. Dengan senang hati aku menjawabnya karena nggak ada satupun yang menyinggu privacy ku dan jauh dari kesan kepo. Yay, good job Malang :))

Suasana waktu nobar film “Mika”.

Setelah nggak ada lagi pertanyaan yang ingin mereka ajukan, aku sharing tentang isu kesenjangan yang (sayangnya) masih terjadi di keseharian kita. Meski event ini dalam rangka Hari AIDS Sedunia, tapi apa yang terjadi pada ODHA sebenarnya bisa terjadi juga pada kita. Bayangkan bagaimana rasanya dibedakan hanya karena kondisi kita, padahal di balik itu kita adalah manusia yang "sama". I mean, ---well, iya manusia memang berbeda-beda tapi bukan berarti harus dibeda-bedakan, kan? Dengan memahami dulu kondisi yang terjadi aku yakin akan menumbuhkan empati dan menghilangkan 'kebiasaaan' untuk judging. Lagipula, apa gunanya menghakimi? Kita bisa membenci seseorang mati-matian dan itu cuma membuat semuanya lebih buruk. Lebih baik perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, be nice. Kita nggak pernah tahu apa yang seseorang bisa lakukan atau apa pengaruh mereka di masa depan. Dulu banyak orang yang berkata buruk tentang Mika. But look at him now...

Sesi sharing.

Aku berbicara tentang kesenjangan yang sering terjadi di keseharian kita.


Aku pernah membaca komentar di blog ini (atau di media sosialkuyang lain? Maaf lupa, hehe) yang isinya kurang lebih bahwa yang terpenting justru edukasi soal pencegahan penularan virus HIV, bukan soal masalah kesenjangannya. Tapi menurutku keduanya sama pentingnya. Bahkan edukasi mengenai kesetaraan bisa jadi lebih mudah diterima karena bisa dimengerti oleh anak-anak sekalipun. Contohnya saja sepupuku yang berusia 10 tahun bertanya tentang alasan mengapa Mika dikucilkan, bukan bertanya tentang asal usul virusnya ketika menonton "Mika". Ini sih mengenai perspektif, ---mana yang efektif mana yang nggak tergantung kepada siapa kita 'berbicara'. Aku percaya nggak ada cara 'kampanye' yang salah atau buruk. Kapan-kapan aku akan bahas lebih jauh lagi, tapi sekarang balik lagi ke event Close the Gap yang keren dulu, ya :)

Setelah sharing, sesiku ditutup dengan foto bersama dan interview. --Well, nggak benar-benar selesai, sih, hehehe. Setelah 'turun panggung' justru audiences lebih akrab untuk bertanya dan mengajak selfie. Meski agak crowded tapi aku happy sekali dengan reaksi mereka. Aku selalu terbuka untuk menjawab pertanyaan asalkan itu bukan hal-hal yang terlalu pribadi (---kurasa aku sudah cukup banyak berbagi kisah tentang Mika, kan). Satu pertanyaan yang banyak ditanyakan adalah soal pendapatku mengenai sukses atau nggak nya acara ini. Dan, ya menurutku acara ini sukses! Nggak ada acara yang sempurna, tapi menurutku "Close the Gap" ini berhasil mengcaptured apa pesan yang ingin disampaikan. Aku suka dengan konsep semua orang duduk bersama untuk menonton film dan berbincang, ---tanpa harus disebut 'kamu ODHA dan aku bukan'. Karena honestly acara yang dibuat seperti itu malah berkesan seperti freak show. Itu lho show yang isinya orang-orang diberi label "si A", si B" atau "si C". Barbar sekali (---meminjam istilah Robin Williams), dan justru malah membuat kesenjangan semakin terasa.

Foto bersama. —-Iya, bapakku juga ikutan :D

Aku dan Bapak nggak langsung diantarkan kembali ke guesthouse. Tapi kami makan siang (super late, hehe) dulu sambil masih berbincang dengan beberapa kru IFL. Thumbs up lho buat chef dari Cafe Gembira yang secara khusus membuatkanku masakan vegan meskipun itu nggak ada di menu. Meski kesannya 'biasa' tapi saat penyelenggara acara memperhatikan hal-hal kecil yang sifatnya personal, bisa membuatku lebih nyaman, lho! :) Aku dan Bapak lalu diantar oleh Salsa dan Ferdy untuk melihat-lihat kota Malang setelah kami sedikit rapi-rapi (hehe) di guesthouse. Meski waktunya singkat karena sudah malam tapi kesampaian juga untuk melihat Tugu Malang dan mobil odong-odong yang super ramai, hehehe. Aku juga membeli sedikit oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Ada dompet batik berwarna pink yang cuteee sekali. Sayangnya cuma 1, jadi aku berikan sama iparku deh (---karena gue baik, lol).

Berfoto bersama Bapak. Maunya sih Tugu Malangnya kelihatan, tapi ternyata gelap :p

Keesokan paginya setelah tidur beberapa jam (---tradisiku dan Bapak kalau nggak ada Ibu pasti ngobrol sampai pagi), kami diantarkan ke Bandara Juanda untuk pulang menuju Bandung. Aku kembali bertemu dengan Dina dan ia mengantarkan kami sampai gate untuk mengucapkan sampai jumpa. Pertemuanku dengan teman-teman baru di Malang memang singkat tapi begitu berkesan. Aku harap bisa kembali lagi suatu hari, ---dan tentu aku juga berharap telah meninggalkan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Apa yang aku lakukan memang nggak banyak, tapi aku berusaha berbagi apa yang kumiliki. Aku berbicara, agar Mika selalu ada, ---agar semangat Mika selalu ada di hati orang-orang yang mendengarkan kisahnya :)

vlog perjalanan, sesi sharing dan jalan-jalan

smile,

Indi

________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com