Tampilkan postingan dengan label menikah dengan WNA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label menikah dengan WNA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Februari 2024

Izin Tinggal yang Menyebalkan dan Mall yang Menyenangkan! :)

Keputusan Shane untuk tinggal di Indonesia memang mengejutkan. Bayangkan saja, Shane nggak pernah pergi jauh dari negaranya, Amerika, ---paling jauh hanya sampai Jamaika. Lalu tiba-tiba saja ia bilang ingin mengunjungi aku, (yang waktu itu masih) sahabat internetnya di Indonesia. Aku bilang pada orangtuaku kalau akan ada teman yang berkunjung. 

"Tiga minggu saja paling lama," ujarku pada Ibu dan Bapak, ---yang ternyata keliru. 

Shane dan aku saling jatuh cinta segera setelah kami bertemu. Perubahan status kami dari sahabat ke sepasang kekasih membuat Shane mengubah rencananya. Orangtuaku terkejut, keluarga Shane apa lagi! Tapi mereka ikut berbahagia dan mendukung apapun keputusan kami :)


Aku dan Shane sama-sama clueless tentang izin tinggal di Indonesia. Shane ke Indonesia menggunakan visa kunjungan yang hanya berlaku selama satu bulan. Lalu bagaimana caranya agar ia bisa di sini bersamaku selama tujuh bulan kami berpacaran? Well... sekarang sih terdengar "lucu", tapi percayalah waktu itu cara yang Shane lakukan adalah satu-satunya cara yang masuk akal bagi kami. Jadi setiap masa tinggalnya habis Shane pergi ke Singapura di pagi hari dan kembali lagi ke Indonesia di sore hari DEMI MENDAPATKAN CAP VISA KUNJUNGAN DI PASPORNYA! Iya, orang yang sekarang jadi suamiku itu rela pulang-pergi ke luar negeri satu bulan sekali, bahkan tanpa meninggalkan Bandara untuk mengejar penerbangan berikutnya, supaya ia bisa tinggal dengan legal di Indonesia, ahahahaaa :"D


Untung saja beberapa minggu setelah menikah kami diberi tahu kalau ada yang namanya KITAS, ---Kartu Izin Tinggal Sementara untuk WNA yang berlaku selama satu tahun (---nah, mengerti kan kenapa kami jadi merasa konyol, hahaha). Atas saran Alison, mantan atasanku di Preschool tempat aku dulu mengajar, kami menggunakan jasa agen untuk mengurus segala macam dokumen yang diperlukan. Jadi selama satu tahun pertama kami tenang, izin tinggal Shane sudah ada yang mengurus dan kami hanya perlu ke Imigrasi  untuk pengambilan foto dan sidik jari. Praktis, cepat, ---tapi kami terkejut setelah tahu berapa biaya asli pembuatan KITAS. Ternyata kami membayar hampir dari tiga kali lipat! Huaaa, agak menyesal rasanya, dan sejak saat itu kami memutuskan untuk mengurusnya sendiri saja. Kan lumayan tuh uang lebihnya bisa dipakai buat jatah makan seblak satu tahun :p


Tahun pertama mengurus KITAS berdua saja kami masih meraba-raba. Kami menjelaskan pada pihak Imigrasi kalau sebelumnya kami menggunakan jasa agen jadi belum mengetahui apa saja yang harus kami bawa. Aku ingat sekali waktu itu aku dan Shane saling bertukar pandang karena heran. Di zaman yang serba digital ini ternyata fotokopi KTP, Kartu Keluarga, CNI, dsb, dst, masih juga menjadi salah satu persyaratan perpanjangan KITAS. Dengan banyaknya kolom di formulir yang diisi, dengan seluruh data kami yang sudah ada di komputer, kenapa fotokopi masih diperlukan? Kertas-kertas fotokopi yang isinya selalu sama setiap tahun itu memang nantinya dikemanakan? Jangan sampai deh berakhir di tukang gorengan. 


Jadi setiap akhir tahun saat keluarga kami merencanakan liburan, aku dan Shane merencanakan kunjungan kami ke Imigrasi, hahaha. Di kedatangan pertama aku dan Shane harus menyerahkan segala macam fotokopi, foto terbaru, paspor, mengisi formulir dan membayar biayanya. Setelah itu kami dijadwalkan untuk pengambilan data biometrik (sidik jari dan foto). ---Yup, semua itu nggak bisa dilakukan di satu hari saja. Lumayan menguras tenaga fisik dan mental karena jarak dari rumah ke Imigrasi nggak dekat dan perjalanannya nggak pernah mulus (warga Bandung pasti paham kalau di daerah Surapati always macet, sniff...). Pernah satu kali kami terpaksa kembali lagi ke rumah hanya karena nggak membawa CNI. Padahal satu malam sebelumnya kami menerima email dari Imigrasi yang NGGAK menyebutkan CNI sebagai salah satu persyaratan. Aku sampai menunjukkan bukti email dan Buku Nikah, karena CNI itu sendiri adalah surat bukti kalau Shane nggak terikat pernikahan di negaranya. Harusnya kita nggak butuh CNI lagi dong karena sudah menikah legal di sini dengan bukti Buku Nikah dan data di Disdukcapil? :'D Tapi tetap saja mereka kekeuh menginginkan selembar kertas fotokopi dari kedutaan Amerika itu.


Bulan Desember 2023 yang lalu ketika akan melakukan "kunjungan" rutin ke Imigrasi level anxiety kami cukup tinggi. Dua tahun yang lalu aku dan Shane sempat merasa nggak nyaman karena salah seorang petugas memanggilku dengan sebutan "Kakak" dengan nada over friendly (ykwim...) dan berkomentar tentang penampilanku. Bukan saja terkesan nggak profesional tapi juga membuat Shane merasa kurang dihargai (ia merasa "dikacangin"). Like, why does he care about my appearance? Panggilan "Kakak" dan mengomentari kalau styleku "Kawaii" itu nggak appropriate untuk diucapkan di tempat yang formal. And he's NOT even my friend! ---To be clear ya, BUKAN panggilan “Kakak” nya yang jadi masalah. Tapi ini soal tempat dan sedang dalam kepentingan apa. Di tempat di mana semua orang dipanggil “Ibu” dan “Bapak” (bahkan Shane dipanggil “Sir”), kenapa petugasnya memilih memanggilku dengan sebutan yang berbeda dan membuat komentar nggak perlu soal penampilan dan saat melihat foto KTP ku? Ia bahkan nggak bertanya apa-apa sama Shane, seolah nggak kelihatan. Padahal Shane yang berkepentingan untuk urusan KITAS. Aneh :S Meski petugasnya sekarang sudah nggak bekerja di sana tapi tetap aku dan Shane jadi menetapkan Imigrasi sebagai tempat least favorite kami. "Vibesnya nggak enak," begitu kata Shane. Syukurlah persyaratan perpanjangan KITAS kami nggak ada yang kurang dan berjalan lancar, ---atau kami kira begitu...


Di kunjungan kami yang kedua untuk pengambilan data biometrik, seharusnya menjadi hari yang sama dengan pengambilan paspor milik Shane. Tapi kemarin nggak begitu, setelah menunggu sebentar kami diberitahu kalau paspor belum bisa diambil. Waktu aku bertanya sama petugasnya kapan, ia menjawab, "Belum tahu, whatsapp saja ke sini hari Senin. Tanyakan tentang status permohonan KITAS nya dan kapan paspornya bisa diambil."

Jujur, rasanya kepengin nangis tahu nggak sih, ahahaha... Sudah jauh-jauh datang, DUA KALI PULA, eh masih juga harus kembali lagi, KAPAN-KAPAN (karena bahkan petugasnya saja belum tahu, ahahahaha). Kalau begini rasanya lebih baik kami kembali pakai agen saja! Ingin rasanya menyerocos bertanya kenapa kami nggak dikabari saja lewat Whatsapp, email, telepon, pos, atau apapunlah supaya kedatangan kami nggak sia-sia. Tapi semuanya hanya di dalam kepalaku, karena badanku rasanya terlalu lemas dan mood sudah jelek. Aku hanya ingin pulang dan tidur.


Tapi Shane rupanya punya ide lain, alih-alih setuju untuk pulang ia mengajakku untuk ke mall. Katanya ia ingin membuat hari kami yang dimulai dengan sangat menyebalkan menjadi lebih baik. Senyumku pun kembali. Bukan karena gembira akan berjalan-jalan di mall, tapi karena aku bersyukur memiliki suami yang selalu mencoba "memperbaiki" hari untuk kami :) Dengan bantuan aplikasi map di handphone aku menemukan mall terdekat dari gedung Imigrasi, Mall Bandung Indah Plaza, mall yang sempat menjadi tempat favoritku ketika masih kecil sampai remaja. Segera kami ke sana tanpa rencana dan tanpa tahu apa yang ada di sana. Sudah sangat lama sejak terakhir kali kami mengunjungi mall tertua di Bandung itu. (---Itu pun sangat sebentar, untuk makan karena terlewat saat pulang sehabis kami dari Rumah Sakit). Di perjalanan Shane berkata kalau aku harus bersenang-senang di sana, lakukan apa saja yang aku inginkan dan jangan pikirkan soal urusan Imigrasi yang menyebalkan.


BIP, mall masa kecil dan remaja. Sudah banyak yang berubah, jadi kangen suasana dulu, huhu.


Mall sedang nggak terlalu ramai. Di beberapa pojok terlihat sedikit festive karena sedang suasana Natal dan Tahun Baru. Dengan mantap aku langsung mengajak Shane ke restoran fast food yang menjual burger plant based. ---Junk food nabati memang selalu sukses membuat moodku lebih baik, hehe. Kami ke Burger King karena plant based whopper mereka enak sekali (dan sangat mengenyangkan!). Sayang ternyata stocknya habis :') Perasaanku sih sepertinya mereka memang sudah discontinued, at least untuk wilayah Bandung karena di cabang lain pun jawabannya selalu sama. Tapi mungkin supaya terdengar halus dan menjaga supaya harapan para vegan tetap tinggi jadi bilangnya "habis" :p Untung saja di lantai paling atas ada A&W. Mereka punya menu yang namanya Veggie Burger. Rasa dan teksturnya lebih mirip perkedel dibandingkan dengan burger, tapi menurut kami sih sama-sama enak apalagi saat dipadukan dengan curly fries. 


Dekorasi mall sangat minim, di lantai atas malah hampir gak ada dekorasi :D


Kami makan sambil mengobrol ini-itu, sama sekali nggak membahas soal Imigrasi. Shane dengan random bilang kalau ia tiba-tiba ingat lima tahun yang lalu di hari yang sama kami makan di foodcourt Metro Indah Mall dan ia mengambil fotoku yang sedang duduk di depan pohon Natal. Aku tertawa mendengarnya, aku ingat waktu itu kami baru sekitar dua minggu menikah dan aku sedang ingin makan seblak. Jadi bibirku tampak merah dan dower sekali di foto, hahaha. Somehow Shane menyukai foto itu dan sampai sekarang masih menjadikannya wallpaper di handphonenya :) Oh iya, Shane dulu bukan "anak mall", ia lebih suka pergi ke toko musik atau hangout di rumah teman-temannya. Tapi semenjak bersamaku tampaknya ia jadi menyukai mall, bahkan mulai hapal dengan nama-namanya, hehe.


Hahaha, sign di belakang kami. Aku bertanya sama Shane apa ia merasa "di rumah" :p


Foto kenangan bibir dower di foodcourt Metro Indah Mall, hahaha :D


Selesai makan Shane bertanya padaku apa lagi yang ingin kulakukan. Aku berpikir sejenak lalu mengajaknya ke bioskop untuk melihat film apa saja yang sedang diputar. Kebetulan sekali ada "Wonka", dan hari pertama tayang! Sejak kecil Shane sangat menggemari film "Willy Wonka and the Chocolate Factory" (1971), film yang (seharusnya) menjadi adaptasi dari buku Roald Dahl yang berjudul "Charlie and the Chocolate Factory". Sementara aku adalah penggemar berat buku-buku Roald Dahl, baik buku anak-anak maupun buku dewasanya. Jadi menonton film ini merupakan win-win untuk kami; Shane bisa menonton "prekuel" dari film favoritnya, sedangkan aku bisa membandingkan karakter Wonka dengan yang di buku. Kupikir bioskop akan ramai, apalagi di hari Senin harga tiket lebih murah. Tapi ternyata di dalam teater hanya ada kami berdua dan beberapa orang di baris samping dan belakang kami. Aku menyukainya :)


Poster film "Wonka".


Kedua buku tentang Willy Wonka dan karya Roald Dahl yang lain.


Aku dan Shane sangat menikmati filmnya, ---aku bahkan sempat terlarut di beberapa adegan dan sedikit meneteskan air mata :'D Telinga dan mata kami terasa dimanjakan, semuanya porsinya pas, dari drama, hal-hal magis dan musiknya. Mungkin kalau aku terlalu berharap filmnya patuh dengan cerita di buku Roald Dahl aku nontonnya bakal kecewa, ya. Tapi karena sudah belajar dari film-film adaptasi Roald Dahl lain yang hampir NGGAK PERNAH persis bukunya, aku jadi menikmati filmnya sebagai sebuah karya mandiri yang "diinspirasi" Roald Dahl saja. Karena kalau dibilang jadi prekuel film versi tahun 1971 pun sebenarnya nggak nyambung-nyambung amat. Background storynya ke mana-mana, hanya karakter Willy Wonka saja yang mendekati. Disambungkan dengan film "Charlie and the Chocolate Factory" versi tahun 2005 (yang mana paling patuh dengan bukunya) apalagi, ---makin jauh, ahahaha. Jadi ya dinikmati apa adanya saja. Oya, di film "Wonka" juga ada kejutan menyenangkan dari Rowan Atkinson, yang meski perannya nggak banyak tapi sukses bikin aku tersenyum haru. Sebelumnya di film adaptasi Roald Dald yang berjudul "The Witches" (1990) ia juga punya peran sebagai Mr. Stringer, eh tiba-tiba sekarang muncul lagi sebagai Pendeta. Jadi makin nostalgia masa kecil, kan! :'D 


Begitu keluar dari teater, aku dan Shane sepakat kalau filmnya membuat kami jadi ingin makan cokelat! Tanpa berbelok ke mana-mana dulu kami langsung ke supermarket di lantai dasar dan mencari cokelat "yang bisa kami makan". Kebanyakan cokelat yang dijual di pasaran mengandung susu, dan kami yang vegan ini menghindarinya. Syukurlah setelah mencari nggak terlalu lama kami menemukan dark chocolate yang kemasannya cukup besar untuk dimakan berdua! Biasanya kami hanya menemukan chocolate bar kecil, jadi harus beli beberapa supaya puas. Tapi kali ini kami dapat kemasan pouch yang isinya ada banyaaaak. Hore! :) 

Nggak terasa hari sudah semakin gelap, kami putuskan untuk segera pulang setelah sebelumnya membeli treat untuk Kitty, si kucing mungil, yang ditinggal sendirian di rumah. Kami banyak sekali tertawa. Kalau saja nggak melihat outfit kami yang memakai batik, aku nggak akan ingat kalau sebelumnya habis mengalami hari yang menyebalkan di Imigrasi :p


***


"Shane, kalau tiba-tiba kita ketemu Steven Tyler terus dia naksir aku gimana?" Tanyaku iseng.

"Oh, nggak apa-apa, nanti kamu pura-pura suka sama dia. Terus kalau dia kasih kamu uang jangan lupa bagi aku ya," jawab Shane.

Aku tersenyum nakal, "Tapi kalau aku naksir beneran sama dia gimana?"

Shane diam sejenak, menatapku dengan serius lalu berkata, "Ya, artinya kamu tetap saja harus bolak-balik ke Imigrasi. Kan Steven Tyler juga perlu Kitas. Dia dan aku nggak ada bedanya kalau di Indonesia, sama-sama WNA!"

"Oh, iya juga ya," aku terkikik geli. 


Nggak, aku nggak naksir Steven Tyler, kok. Aku nggak akan menukar suamiku ini dengan apapun, hahaha. Nggak bisa aku membayangkan diriku dengan orang lain selain dengan Shane, ---yang selalu berusaha mengubah hari menyebalkan menjadi hari terbaik sedunia! ---Ia sudah lebih dari cukup untukku :)


blessed girl,


Indi


Kalau teman-teman ingin membaca proses pernikahanku dan Shane bisa baca di sini :)

____________________________________

Instagram: @indisugarmika | Youtube: Indi Sugar Taufik

Minggu, 15 September 2019

Tentang Pindahan.

Ah, akhirnya bisa kembali menyentuh laptop... Belakangan jangankan laptop, buat pakai lipbalm saja kadang aku lupa, hahaha. Aku dan Shane sudah resmi moving out, teman-teman! Akhirnya! :) Sekarang aku excited sekali untuk cerita gimana seru (dan ribetnya) waktu kami pindahan. Dari mulai drama status Shane yang WNA sampai susahnya say good bye sama baju-bajuku yang jumlahnya 3 lemari (---maksa mau dibawa semua, wkwk). Tulisan ini bukan tips n tricks pindahan lho, ya. Ini murni pengalamanku (dan Shane) sebagai newlywed muda yang mengurusi apa-apa berdua saja. Kalau bermanfaat ya syukur, tapi kalau nggak... makasih lho sudah dibaca :p

Kami menyiapkan tempat tinggal di usia 6 bulan pernikahan. Nggak ada perencanaan khusus tentang "rumah idaman", semuanya mengalir begitu saja. Karena aku dan Shane dari sejak pacaran pun bukan tipe yang banyak teori kapan harus ini-itu. Kalau kami siap ya ayok, kalau belum ya nggak usah memaksakan. Yang terpenting kenyamanan kami, karena yang menikah juga kan kami, hehehe. Jadi kalau ada yang bilang kok kami menunggu 6 bulan baru punya rumah ya cuek. Juga, kalau ada yang bilang kami terkesan terburu-buru pun cuek. Karena yang tahu kapan timing tepat ya kami. ---Apa yang pas buat pasangan lain belum tentu cocok buatku dan Shane, begitu juga sebaliknya. Aku sangat dekat dengan Ibu dan Bapak, hampir semua hal kami bicarakan. Tapi untuk soal rumah beliau-beliau ini nggak pernah turut campur. Mau lokasinya di mana, seperti apa, mereka menyerahkan sepenuhnya sama aku dan suami. Jadi waktu aku menyodorkan brosur apartemen sepulang kerja pada Ibu, beliau langsung bertanya kapan bisa melihat-lihat ke sana bersama Bapak.


Pulang Kerja "dapat" Rumah

Seperti biasa aku dan Shane pulang kerja bersama-sama. Di perjalanan, iseng, aku menunjuk gedung apartemen yang letaknya berlawanan dengan arah pulang. Aku bilang, 
"Tinggal di situ asyik kali, ya. Kerja nggak takut kesiangan lagi, tinggal ngesot." 
Respon Shane ternyata di luar dugaan, dia langsung bertanya apa aku ingin melihat-lihat dalamnya. Waktu itu aku pikir boleh juga buat iseng, asal jangan lama-lama saja karena belum makan siang, hehe. 
Entah kenapa setelah di dalam gedung kami langsung betah. Yang tadinya sekedar melihat-lihat jadi bicara panjang lebar dengan pihak marketingnya. ---Yang tadinya hanya minta brosur jadi janjian bertemu untuk berbicara lebih lanjut. Kami lalu pamitan sambil bertukar nomor handphone. 

Aku dan Shane sama-sama masih belajar menjadi orang dewasa. Kami masih belum mengerti bagaimana "cara" membeli rumah. Let alone deh rumah, untuk beli tiket pesawat sendiri saja kadang masih deg-degan... Secara kasar kami menghitung penghasilan bulanan Shane dan membaginya jadi beberapa bagian, mengira-ngira tipe manakah yang paling pas dengan kondisi keuangan *kami.
(*Meski yang digunakan adalah uang yang Shane hasilkan, tapi tetap dihitung sebagai "uang kami" karena kami sepakat setelah menikah apa yang Shane miliki adalah milikku juga).
Yang terpenting nggak memaksakan, kecil bukan masalah. Kami ingin nggak kesulitan ketika mencicilnya dan masih ada sisa untuk keperluan sehari-hari dan menabung. Setelah hitung-hitung berdua, di rumah aku langsung tanya Bapak tentang gimana proses pembelian rumah. Sebenarnya kami bisa saja langsung bertanya sama pihak marketing, tapi aku lebih percaya sama Bapak. ---Dan supaya kesannya aku nggak blank-blank amat juga sih, hehehe. 




Menikah "Rasa" Single!

Mungkin karena terlalu excited, aku dan Shane lupa kalau WNA nggak boleh punya properti di sini. Pikiranku waktu itu simple banget, urusan beli rumah biar diserahkan sama suami, atas nama suami, ---sama seperti orang-orang kebanyakan. Jadi yang disiapkan ya data-data Shane saja. Tapi ternyata eh ternyata... nggak bisa! Dan entah kenapa pihak apartemennya nggak langsung bilang, padahal saat pertemuan pertama pun kami sudah bilang kalau Shane baru setahun di Indonesia dan pakai Kitas, bukan ganti kewarganegaraan. Setelah sedikit drama, akhirnya diputuskan kalau sertifikat dibuat atas namaku. Agak sebal juga sih, soalnya aku jadi berasa single. Yang ditelponin, yang ditanya-tanyain dan disuruh tanda tangan cuma aku doang. Ada sedikit perasaan nggak enak juga sama Shane meski katanya sih dia nyantai saja. Apalagi karena pernikahan beda negara jadi notaris menyarankan kami membuat surat kesepakatan yang isinya menyatakan  jika ada apa-apa dengan pernikahan kami (amit-amit, ketok meja!) maka hanya aku yang berhak atas kepemilikan apartemen. TBH, ini sempat mengganggu moodku buat beberapa waktu. Tapi namanya aturan nggak mungkin juga kami langgar. Jadi aku coba fokus ke bagaimana fun nya mendekor rumah pertama kami saja supaya mood membaik.






Rumah Halloween Kami

Akhirnya 3 bulan kemudian, alias di usia 9 bulan pernikahan, kami mulai mencicil isi rumah. Apakah seru seperti yang dibayangkan? Iya! Apakah mudah? ---Well, nggak juga! :D Meski kami sudah membagi-bagi penghasilan Shane, tapi tetap saja terkadang ada pengeluaran nggak terduga. Apalagi jika kami lupa untuk menghitung hal-hal printilan yang sebenarnya penting, seperti biaya keamanan dan token, hehehe. Jadi budget untuk furnitur harus diatur ulang deh. Kami nggak punya merk favorit atau harus banget pakai style yang sedang hype. Asal modelnya kami suka dan harganya terjangkau saja. Oh iya, aku sempat ngotot membawa seluruh barang-barang dari rumah orangtua. Yang mana sangat mustahil, karena rumah kami mungil sekali, hihi. Hikmahnya aku jadi belajar untuk memilih, dan meninggalkan apa yang sudah jarang dipakai. Atau istilah kerennya downsizing. Hanya yang penting-penting saja yang dibawa. Ukulele sebagian aku tinggalkan, juga baju-bajuku. Dari 3 lemari aku hanya membawa 1 lemari. Toh, jarak ke rumah orangtua juga nggak terlalu jauh. Jadi kami sering bolak-balik, dalam satu minggu ada satu hari kami menginap di sana. 

Kalau diingat lagi ke belakang, sebenarnya lucu juga. Akhir tahun 2017 lalu waktu aku dan Shane awal bersahabat, kami sering berandai-andai tentang apa yang dilakukan kalau kami punya kesempatan bertemu. Banyak hal "ajaib" yang kami khayalkan, salah satunya adalah memiliki rumah bersama dengan tema Halloween. Maunya kamar kami letaknya bersebelahan agar gampang kalau mau ngobrol, nggak perlu video call seperti di dunia nyata, hahaha. Dan rupanya sekarang menjadi nyata. Kami punya rumah bersama dengan tema Halloween. ---Sebagai suami istri, jadi kami bahkan nggak perlu tidur di kamar yang berbeda :) Oh, kami punya alasan sentimentil lho mengapa pakai tema Halloween. Kami mulai bersahabat di Halloween 2017 dan menikah di Halloween 2018. Jadi bukan sekedar alasan iseng.




Kami sangat menikmati tinggal di rumah pertama kami. Nggak banyak yang berubah seperti waktu pacaran dan tinggal di rumah orangtua sebenarnya, tugas memasak masih dipegang oleh Shane dan aku yang bertugas mengatur "mau pakai baju apa", hehe. Bedanya kami jadi belajar untuk memiliki, lebih menghargai apa yang kami punya. Aku bangga dengan Shane yang berusaha untuk pernikahan kami. Rumah kami memang sederhana, tapi itu bukan hal yang penting. Kemauan Shane untuk memperjuangkan sesuatu dan melakukan hal-hal untuk pertama kali adalah yang buatku matter! Aku juga bangga karena Shane memiliki prinsip untuk nggak termakan gengsi, hanya dapatkan apa dia tahu dia mampu. 
Seperti yang kubilang sebelumnya, judulnya juga bukan tips n tricks, aku hanya bisa sharing. Jangan pernah memaksakan. Dan untuk memiliki rumah pertama itu nggak ada istilah terlalu cepat atau terlalu lambat. Yang ada hanya waktu yang tepat, karena hanya kita yang tahu kapan kita mampu :)




cheers,

Indi

-----------------------------------------------------------------------
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

Rabu, 10 Juli 2019

(How to) Stop Bad Moment(s) from Ruining My Entire Day!

Sekarang sudah tengah malam, aku sedang ingin menulis yang ringan-ringan saja sambil ditemani segelas teh dingin tanpa gula yang Shane buatkan. Selain karena rindu dengan dunia kecil yang belakangan sering aku tinggalkan ini (huhu..), aku juga sedang memberi kesempatan Shane untuk menyelesaikan tantangan membuat musik selama 10 hari berturut-turutnya. Jadi aku bisa bersantai di lantai bawah, sementara suamiku berkutat dengan alat-alat musiknya :) Kami berdua belakangan punya banyak waktu senggang. Shane yang bekerja online jam kerjanya fleksible, dan aku yang Maret lalu mulai bekerja kembali di preschool juga sedang libur semester. Rutinitas kami kalau nggak selonjoran, makan, nonton film, paling ya main musik, hahaha. Baru kemarin saja kami keluar rumah seharian, itu pun karena diajak orangtua, adik dan iparku jalan-jalan.


Selama Shane tinggal di Bandung sama aku, kami jarang sekali bepergian jauh. Ya, terkecuali kalau ada yang mengantar atau memang memang nggak bisa menolak, misalnya urusan dokumen. Alasannya selain aku orangnya mageran, Shane juga nggak terbiasa dengan lalu lintas di sini yang jauh berbeda dengan Michigan. Mobil sampai tergores di beberapa tempat karena tersenggol pengendara motor. Dari sudut pandang hukum sih harus aku akui kalau Shane nggak salah, ia berkendara di jalurnya, nggak menyalip dan hanya berjalan ketika lampu hijau. Tapi sudah jadi "tradisi" buruk di sini kalau motor nyempil di antara 2 mobil saat sedang macet itu sah-sah saja, dan menyebrang di mana saja itu acceptable! Dulu waktu masih berstatus sahabat kami sering video call, jadi sedikit banyak aku hapal kondisi lalu lintas kampung halamannya yang super teratur dan damai. Aku jadi keikut stres kalau membayangkan di posisi Shane, TBH, hahaha. Apalagi waktu ibu mertuaku mampir ke sini, ekspresi "seram"nya waktu melihat angkot yang saling nyalip benar-benar nggak dibuat-buat. Yang tadinya menganggap normal ke-chaosan kota Bandung, sekarang mataku jadi terbuka. Makanya aku sekarang hanya pilih tempat yang dekat-dekat saja kalau hangout, less stress. Kemarin pun aku bilang kalau mau pakai Grab saja, tapi ternyata Bapak menawarkan diri untuk menyetir. Jadi... Oke deh, aku setuju! ;)

Pernah nggak sih merasa kalau sesuatu dianggap normal karena sudah biasa terjadi? Padahal sebenarnya kita juga tahu itu sebenarnya salah tapi helpless? Aku sama keluarga hangout di Paris Van Java alias PVJ. Sudah lamaaaa banget aku nggak ke sana, soalnya aku mah orangnya nggak terlalu tahu trend. Mall ya sama saja mall, cari yang dekat. Mana peduli kalau ada yang bilang PVJ lebih oke, hehehe. Anyway, kami naik mobil masing-masing, aku dan Shane sama Bapak, sedangkan Ibu dan keluarga adikku sudah sampai lebih dulu. Katanya mereka ada di Sky level, alias rooftop jadi kami langsung menyusul tanpa perlu mengelilingi mall nya dulu. Tempat ini kayaknya lagi hype banget, di Instagram banyak yang posting foto sedang berpose di sini. Begitu sampai aku langsung "disambut" sama ibu-ibu yang dengan cueknya membuang sisa marshmallow anaknya ke lantai. Hatiku jadi dilema antara mau negur atau pura-pura nggak lihat. Setelah sekian detik dengan suara sedikit gemetar aku beranikan untuk menegur. 
"Hei!" ---kataku sambil melihat ke arah si ibu dan menunjuk marshmallow yang ia buang. Tapi bukannya malu, ia malah membalas pandanganku dengan menantang :( Waaa, males aku berurusan sama ibu-ibu. Aku langsung remas tangan Shane dan mempercepat langkah. Batinku, kenapa dia yang marah, padahal dia sudah jelas salah.

Hal "kecil" itu bikin suasana hatiku jadi kurang baik. Keluarga adikku ada di area anak, perlu jalan kaki lumayan jauh untuk ke sana. Di perjalanan rasanya kiri-kanan ada saja yang salah. Yang nyampah ternyata banyak, ada mini zoo  (Lactasari Farm) yang aku nggak support sama sekali... Aku nggak mendukung eksploitasi binatang dalam bentuk apapun. Pikiran tentang binatang yang dikandangi, disentuh manusia dengan resiko stress dan over feeding karena banyaknya pengunjung bikin hati mellow. Aku nggak yakin kalau goals dari mini zoo ini untuk edukasi anak. Toh di areanya juga nggak ada keterangan yang detail tentang binatang-binatangnya. Kesannya hanya untuk hiburan dan objek foto lucu-lucuan para orangtua anak-anak saja :( Padahal kalau cuma demi foto yang instagramable nggak perlu melibatkan binatang juga sih. Kan bisa bikin tempat wisata foto dengan patung-patung lucu atau apalah. Dan biarkan binatang tetap hidup di habitatnya dan penangkaran yang kompeten. (Silakan googling "are petting zoo humane?")

Untung saja kami segera bertemu adikku. Ia menyarankan aku untuk berjalan-jalan dulu di taman bunga matahari supaya nggak bosan menunggu anak-anaknya yang masih asyik main trampoline. Jujur, sebelum ke sini aku pernah lihat foto-fotonya di Instagram dan bikin aku tergiur. Dari foto-fotonya terlihat indah dan segar sekali. Bayangkan saja, ada warna-warni taman di atas atap sementara di bawah adalah lalu lintas sibuk kota Bandung. ---Kan amazing sekali :D Untuk masuk ke area taman dikenakan biaya Rp. 10.000 per orang. Hanya aku dan Shane saja yang masuk, karena Bapak memutuskan menunggui cucu-cucunya bermain. By the way, ekspektasiku dari awal memang nggak terlalu tinggi, jadi nggak kaget pas melihat tamannya yang nggak terlalu besar. Suasananya cukup ramai, sampai aku bingung mau ngapain. Mau duduk-duduk di bangku pun segan karena orang-orang bergantian berfoto di sana, uhuhu :'D Menurutku sih tamannya cukup indah dan terawat. Tapi sayang nggak ada petugas di dalam yang mengingatkan pengunjung agar nggak terlalu "masuk" ke kerumunan bunga matahari. Kan kasihan jadi terinjak-injak. Heran deh, demi foto doang sampai harus brutal :( Akhirnya aku hanya meminta Shane mengambil beberapa foto lalu kami ke luar dari taman untuk makan. Right on time, keponakan-keponakanku ternyata sudah selesai bermain dan mereka juga lapar. Karena sudah lama nggak ke mall ini jadi aku pilih tempat makan yang masih di area roof top saja dan namanya familiar. 


Berfoto seperti ini juga sudah “cantik” padahal, gak perlu masuk terlalu jauh dan menginjak bunga-bunganya :(

Bangku yang kupikir tempat buat beristirahat tapi ternyata untuk foto-foto :D


Kami makan di Sushi Tei karena di sana ada pilihan menu vegetariannya. Meski aku dan Shane vegan, tapi dengan adanya menu vegetarian pun sudah good enough kok buat kami. Tinggal request tanpa susu dan telur saja sudah bisa menyulap menu vegetarian jadi vegan :) Ajaibnya suasana hatiku langsung membaik. Bukan karena perut yang lapar sudah terisi makanan, tapi karena aku dikelilingi orang-orang yang kucintai. Kami banyak bergurau, banyak tertawa, juga banyak makan, hahaha. Aku bahagia melihat Ibu dan Bapak di usia senjanya tetap harmonis dan saling menggoda. Aku bahagia melihat keluarga adik yang berjuang dari bawah menuju kemapanan meski masih muda. ---Energi dari lunch time ini sangat positif. Hampir lupa kalau sebelumnya aku hampir menyesal untuk pergi ke luar rumah. Apalagi setelah selesai makan aku mampir ke toko buku Gramedia dan menemukan novel "Waktu Aku sama Mika" terbitan baru karyaku dipajang di rak paling atas. Rasanya aku seperti anak-anak lagi, karena dengan cerewet "pamer" kepada seluruh anggota keluarga sampai pipiku sakit! :D

Makan bersama keluarga, yay! :D

Menikmati menu vegetarian di Sushi Tei yang bisa direquest jadi vegan :)

Bersama novelku “Waktu Aku sama Mika” di Gramedia.

Bangga dan terharu novelku ada di rak paling atas :’)



Ternyata sesederhana itu menyembuhkan suasana hatiku. Cukup dengan melihat dan mengingat hal-hal kecil yang kumiliki. Memang nggak akan mengubah lalu lintas Bandung jadi lancar atau membuat si ibu-ibu galak berhenti buang sampah sembarangan. Tapi bersyukur itu menyembuhkan. Jangan sampai hal-hal kecil merusak keseluruhan hari. Jangan sampai karena beberapa hal buruk dari kota Bandung aku jadi melupakan hal-hal baik yang terjadi sini. Membandingkan sesuatu itu human nature. Dan salah tetap saja salah meski sudah menjadi kebiasaan, ---there's no such thing as menormalkan kesalahan. Kadang kita baru sadar betapa "buruk" nya sesuatu setelah seseorang menunjukannya. Tapi sambil berusaha memperbaikinya jangan sampai membutakan mata kita tentang hal-hal baik. Tetap be grateful :) Dan aku pun baru belajar tentang ini semua setelah kejadian di Paris Van Java.
Ah, kayaknya segini dulu deh tulisan santaiku. Aku nggak mau kalau dilanjutkan lama-lama jadi tulisan serius, hahaha. Sekarang aku mau minta Shane bikinin mie instan pakai cabai saja deh. Biar tidurnya nyenyak. Oh iya, mie instan juga bikin terseyum dan perlu disyukuri. Setuju?






Asal jangan sering-sering saja :p



Aku, Shane bersama Ibu.


kisses,

Indi


------------------------------------------------------------------------
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

Minggu, 13 Januari 2019

Menikah dengan WNA di KUA. Gratis dan Cepat. Kok Bisa???

Setelah menikah aku jadi sering ditanyain soal susah atau nggaknya menikah dengan Warga Negara Asing. Well, dulu aku juga gitu, ---penasaran. Karena katanya sih ribet, jadi pas diajakin nikah langsung "malas" duluan, hahaha. Tapi kenyataan itu mitos, namanya menikah pasti ada prosesnya. Ribet ya kalau dibikin ribet, kalau kita mengikuti aturan sebenarnya ringan-ringan saja, kok.

Sebelum pergi ke KUA :)

Aku dan Shane hanya melalui proses pacaran yang sebentar. Begitu kami saling suka dia langsung memutuskan untuk pindah ke Indonesia dan mengajak menikah. Semenjak itu aku langsung googling dan tanya-tanya sama teman-teman yang menikah dengan WNA tentang bagaimana prosesnya. Hampir semuanya menjawab, "Ribet dan banyak biaya ini itu!" Untung saja aku bisa mengalahkan rasa "malas menikah", dan setelah dijalani akhirnya membuktikan kalau menikah itu mudah dan murah, ---sekalipun dengan WNA. Mungkin ada yang berpikir, "Ah, murah ya karena lo punya duit atau orangtua lo kaya!" Eits, jangan berprasangka dulu, Ferguso! Kami menikah dengan biaya sendiri (baca: Shane). Dan FYI, aku dan Shane masih muda, penghasilan kami belum banyak. Jadi silakan simpulkan sendiri pernyataanku ini :) Aku share proses pernikahan kami di sini juga semata-mata untuk menyimpan kenangan, dan siapa tahu bermanfaat. Karena aku yakin, I'm not the only one yang mikir-mikir dulu untuk menikah karena takut ribet, hehehe.


Membuat CNI

Jujur aku sempat nangis semalaman karena aku malaaaaas sekali kalau harus dealing dengan segala keribetan yang konon katanya bakal terjadi. Eh, bukan murni malas sih. Tapi juga karena ada perasaan nggak enak, takutnya saking ribetnya aku jadi harus minta bantuan ortu buat nyupir karena harus bolak-balik ke sana-sini. Sampai akhirnya aku putuskan untuk stop googling dan berjanji untuk cari tahu sendiri. Aku tanya lagi sama Shane, apa dia yakin untuk menikah karena selama pengalaman aku berpacaran (ecieeeeh, lol) baru kali ini ada laki-laki yang langsung mengajak menikah di hari pertama berpacaran. Dengan mantap Shane menjawab kalau dia nggak mau mundur dan bakal menjalani segala prosesnya. Jawabannya ini semakin membuatku semangat, screw yang bilang ribet, aku nggak takut, hehehe :p Langkah pertama aku dan Shane datang ke KUA terdekat dan bertanya tentang persyaratan menikah. Meski sudah tahu dari hasil googling sebelumnya, tapi kami pura-pura polos supaya mensugesti kalau kami nggak perlu takut, hehe.

Kami nggak lama-lama di sana, petugasnya hanya memberi kami catatan yang ditulis tangan. Isinya ternyata hanya persyaratan menikah standar. Alias sama seperti menikah dengan WNI. Bedanya setelah itu kami diminta untuk membuat surat izin menikah dulu dari negara Shane (Amerika), baru setelah itu kembali lagi. "Gitu doang?" batinku sambil cengengesan (dalam hati, lol). Meski Shane nggak bawa surat-suratnya ke Indonesia, tapi semua bisa dalam bentuk scan/foto. Jadi dia minta ibunya untuk mengirimkan akta kelahiran, dll via email. Sedangkan untuk izin menikah ternyata maksudnya CNI atau Certificate of No Impediment. Untuk mendapatkannya harus ke kedutaan negara calon mempelai WNA. Nggak menunggu lama kami langsung menghubungi kedutaan via telepon dan akhirnya bertukar pesan di email. Yang perlu datang hanya Shane saja, dan dia mendapat jadwal 2 minggu setelah bertukar pesan. Hanya perlu membawa passport, akta kelahiran dan biaya sekitar Rp.400.000 (aku lupa tepatnya).

Meski aku nggak diperlukan, tapi aku tetap ikut ke kedutaan Amerika di Jl. Medan Merdeka Jakarta. Alasannya? Ya, kepengen saja daripada di rumah sendirian, hehehe. Padahal aku sudah tahu kalau nggak boleh masuk, tapi siapa tahu bisa jajan-jajan di sana. Di luar dugaan lalu lintas sangat lancar, jadi perjalanan Bandung-Jakarta pun sangat cepat sehingga kami tiba jauuuuh lebih awal dari waktu perjanjian. Bersyukur Shane langsung diizinkan masuk. Meski sayang impianku untuk berkuliner gagal karena lokasi kedutaannya nggak asyik, ---tempat parkir jauh dan cuaca sedang panaaaas sekali. Untung saja 15 menit kemudian Shane keluar, kalau nggak, mungkin aku bisa pingsan dehidrasi di trotoar kedutaan, hehehe. Dan... that's it! CNI sudah didapat. Cepat sekali, dan no drama seperti yang orang pernah bilang pada kami :)


Terjemahkan Dokumen ke Bahasa Indonesia

CNI selesai kami pun kembali ke KUA. Siap menikah ceritanya (ciee cieee...). Tapi ternyata pihak KUA minta agar CNI dan akta kelahiran Shane diterjemahkan dulu ke Bahasa Indonesia (meski sebenarnya CNI sudah bilingual). Kami disarankan untuk kembali lagi ke kedutaan karena penerjemahnya harus yang tertunjuk, nggak bisa sembarangan. Tentu kami nggak menurut begitu saja. Untuk urusan ini kami mencoba mencari penerjemah tersumpah di daerah Bandung, dan ternyata... bisa! Biayanya pun murah sekali, untuk 2 halaman nggak lebih dari Rp. 200.000. Dan God bless abang Gojek, kami nggak perlu datang karena dokumen bisa dikirim via email dan diambil oleh Gojek! ;) 

Prosesnya cepat sekali, hanya 3 hari itupun karena terpotong weekend. Kalau hari biasa sepertinya bisa sehari saja. Oh iya berhubung yang diterjemahkan itu literally semuanya, jadi aku harus pastikan waktu scan kertasnya nggak terpotong. Karena sampai tulisan yang sekecil kuman pun harus terbaca, hehehe. 


Mencari Cincin dan Baju

Aku ingin pernikahan yang sederhana. Sejak awal sudah bilang sama Shane bahwa aku nggak mau dirias ataupun pakai baju yang ribet. Aku ingin momentnya indah dan santai, jadi semua pihak bisa menikmati suasana dan nggak ada "jarak". Syukurlah Shane setuju, dan ternyata pernikahan impian dia juga seperti itu. Karena sudah satu ide, jadi kami pun mengesampingkan soal baju dan lebih mendahulukan cincin. Alasannya karena untuk baju nggak perlu waktu lama untuk dipersiapkan, ---kalau mau pun kami bisa saja pakai baju yang sudah ada. Tapi kalau cincin pasti butuh waktu karena size jariku memang agak besar. Jadwal menikah di KUA sudah dapat, dan jaraknya 5 hari dari pemesanan cincin. Mepet? Nggak juga. Asalkan sudah tahu mana cincin yang dipilih, waktu penyesuaian ukuran cincin sebenarnya cepat, kok. 

Kami beli cincin di dua tempat berbeda. Untuk Shane, karena dia hanya mau yang modelnya simple tanpa aksesoris tambahan, kami mencari di sepanjang Jl. Otista Bandung. Di sana banyak sekali toko emas, jadi kalau pun di toko pertama nggak ada yang cocok kami bisa cari di tempat lain. Baru 2 tempat kami datangi, Shane sudah langsung menjatuhkan pilihan. Sedangkan untukku, kami mencari di mall. Tepatnya di Frank & Co Trans Studio Bandung. Dan sama seperti Shane, aku pun nggak perlu waktu lama untuk jatuh hati dengan salah satu cincin di sana. Pilihan jatuh ke diamond ring yang menurutku cantik tapi tetap sederhana. Karena size aku nggak ada, cincin baru akan siap satu hari sebelum hari pernikahan kami. 

Cincinku dan Shane. Sederhana dan cantik :)

Dress yang kudapat di mall, tepatnya di Metro TSM. Last minute, semalam sebelum nikah kami belinya xD

Ketika cincinku selesai, nggak sabar rasanya mau langsung dipakai. Tapi tentu belum boleh dong, hehehe. Sekalian Shane juga membelikan mahkota bunga dan dress batik untuk hari istimewa kami. Beberapa hari sebelumnya padahal Shane sudah membelikan dress, lho. Tapi tiba-tiba saja dia melihat yang menurutnya lebih bagus. Menurut kami menikah nggak harus pakai "baju khusus". Yang penting nyaman, bersih dan sopan. Sempat aku ajak berkeliling mall tapi Shane tetap teguh dengan keputusannya memakai kemeja batik yang sudah dia punya sejak beberapa bulan lalu. Kebetulan memang belum sempat dipakai. Dan waktu dilihat-lihat... ternyata match dengan dressku! :)


The Day

Kami menikah tanggal 26 Oktober 2018. Jujur, kami nggak memilih tanggal karena percaya kalau semua hari itu baik. Waktu Shane memberi tahu ibunya beliau langsung terharu. Ternyata tanggal dan bulannya sama persis dengan pernikahan pertamanya (---dengan ayah kandung Shane), dan juga pernikahan orangtuanya, aww! :D 
Kabar pernikahanku dan Shane membuat beberapa pihak terkejut, tapi juga berbahagia. Sengaja kami memberi kabar pada teman-teman dan kerabat yang nggak terlalu dekat beberapa hari setelahnya agar prosesi berlangsung khidmat. Jadi yang hadir ketika itu hanya orangtua, nenek, dan beberapa om dan tante. Sedangkan ibu mertua datang setelahnya karena menyesuaikan dengan hari libur beliau. 

Meski aku belum pernah menghadiri prosesi pernikahan orang lain, tapi sepertinya nggak ada bedanya antara WNI dengan WNA. Pukul 7 pagi aku bangunkan Shane untuk bersiap (---dia masih tidur di kamar atas karena belum sah, hehehe) dan sehabis sarapan kami mandi lalu berangkat ke KUA bersama keluarga. Di sana dilakukan proses ijab kabul dan setelahnya kami langsung mendapatkan buku nikah. Ada istilah "sebaiknya kalau ada yang berniat baik jangan dipersulit", dan itu nyatanya benar. Daripada berijab kabul dengan Bahasa Indonesia yang mana Shane nggak mengerti, kami memilih menggunakan Bahasa Inggris. Alasannya agar dia benar-benar paham apa yang dia ucapkan dan juga paham makna dari pernikahan. Jadi bukan hanya dengan membaca catatan di kertas lalu semua orang berkata "sah" padahal kurang menjiwai. Penghulu juga memberikan wejangan dengan 2 bahasa, Indonesia dan Inggris. Termasuk dalam versi tertulis agar bisa dibaca-baca lagi. Karena "sederhana" bukan berarti main-main. Aku nggak mau kami hanya sekedar mengejar buku nikah sementara prosesinya hanya asal lewat.

Bapak gak bisa menahan tawa melihat kami yang berusaha serius :D

Hore sudah sah! :D

Dan begitulah, kami sah menjadi pasangan suami istri. Sepanjang hidupku inilah moment terindah yang aku alami. Semuanya terasa soooo beautiful :) Yang agak menggangu keindahan hanya satu sebenarnya. Kami sempat mengalami pungli di KUA dengan jumlah 2 juta rupiah. Tapi no worry, uang Shane sudah kembali karena aku langsung melaporkan ke akun Instagram KUA. Dan no hurt feeling, ---kami sudah saling bermaafan. Semoga jangan terulang lagi, ya. Karena zaman sudah modern, jadi kalau ada pungli tinggal dilaporkan saja. Dan kalau benar kenapa harus takut ;) As simple as that!

***

Kalau dihitung harinya proses pengurusan pernikahan kami sebenarnya malah lebih singkat dibanding sepupu-sepupuku yang menikah lebih dulu (dengan WNI). Aku sangat sangat sangat bersyukur karena memutuskan untuk mencari tahu sendiri daripada mendengar apa kata orang. Aku juga bersyukur karena nggak merepotkan orangtua selama proses. ---I know, namanya ortu pasti akan senang kalau dimintai bantuan untuk pernikahan anaknya. Tapi aku ingin Ibu dan Bapak kebagian happy nya saja, duduk manis menyaksikan pernikahan kami tanpa harus pusing masalah CNI dan KUA :) Aku juga salut dengan Shane yang berusaha sekeras mungkin agar aku (juga keluarga) nggak mengeluarkan biaya sepeserpun. Bahkan untuk yang seharusnya bagianku (---akan aku ceritakan nanti), dia tetap nggak mau menerima sepeser pun. Bless his heart :)

Aku harap tulisan ini membantu siapa pun yang ragu menikah karena takut ribet dan khawatir masalah biaya. Pernikahan aku dan Shane adalah bukti kalau menikah dengan Warga Negara Asing itu nggak seseram yang orang-orang bilang. Menurut pengalaman kami apa yang membuat lama dan ribet itu justru kalau mempelai nggak siap. Ya, kalau hal kecil seperti akta kelahiran saja nggak ada bagaimana mau lancar? :p Untuk biaya pun jika apa-apa diurus sendiri, tanpa harus melalui pelantara sebenarnya sangat murah. Dan jangan lupa, menikah di KUA itu gratis terkecuali jika weekend atau dilaksanakan di lain tempat. Itu pun hanya dikenai biaya Rp. 600.000. Juga termasuk jika pasangan kita mualaf lho, ya. Jangan mau bayar, karena agama itu bukan untuk dijual belikan.

Jadi kalau ada di antara kalian yang membaca tulisan ini dan punya pacar WNA tapi belum mengajak/mau diajak menikah dengan alasan ribet dan mahal, tunjukkan saja tulisan ini. Kalau sudah ditunjukkan tapi masih nggak mau juga padahal katanya serius... wah, hati-hati! *becanda :p

Ciuman pertama kami sebagai sepasang suami istri. Deg-degan banget :’D

Makan-makan sebelum hari pernikahan dengan Ibu dan Bapak.


yang nama belakangnya jadi dua,

Indi

------------------------------------------------------------------------

Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com


Rabu, 05 Desember 2018

(Tiba-Tiba) Menikah.

Waktu bilang kalau aku sudah menikah banyak yang nggak percaya. Teman-teman dan saudara-saudaraku bertanya-tanya; kapan? Sama siapa? Kok nggak bilang-bilang? Lho, pacarannya kapan? ---dan lain sebagainya.
Sebetulnya jangankan mereka, aku juga masih nggak percaya kalau sekarang sudah menikah, hahaha.


Pernah punya hubungan jangka panjang yang (tujuannya sih) serius membuatku malas untuk terlalu berbagi kehidupan pribadiku lagi. Alasannya karena batas care dan kepo teman-teman dunia mayaku sudah makin tipis. Bukannya memberi selamat ketika tahu aku punya pacar, eh malah nanyain ke mana mantanku *palm face* Entah mereka murni nggak punya manner, polos atau karena mereka pikir pacarku nggak bisa baca jadi nggak akan tahu mereka komentar begitu, yang pasti itu membuat aku nggak nyaman. Padahal siapa yang tahu dengan masa depan, kan? Rencanaku (dan pasanganku kala itu) pasti baik, tapi kalau Tuhan berkehendak lain ya pasti itulah yang terbaik. 
Tapi sekarang setelah satu bulan kami menikah, aku pikir ini adalah saat yang tepat untuk membagi cerita kami. Nggak ada yang salah sama hubungan kami. Shane itu orang baik, dan aku punya hak to tell the world. Kalau ada yang menduga-duga dan membandingkan dengan mantan itu juga hak mereka, aku nggak bisa cegah. Tapi what's matter itu siapa yang menikahiku pada akhirnya, kan ;)

Cerita mundur ke sekitar 6 tahun yang lalu. Aku yang waktu itu baru di dunia YouTube benar-benar nggak tahu gimana cara website itu berfungsi. Akunku kosong, nggak ada foto atau videonya. Karena waktu itu tujuanku hanya untuk berkomentar di video-video musik idola. Dengan bantuan Bapak (as always) aku membuat 2 video pertama; video Eris, anjingku yang sedang melakukan trik ala ala Air Bud (lol) dan videoku nyanyi di kamar sambil megang buku karena nggak hapal liriknya (---I know right, norak banget, namanya juga bocah, huahaha...). Nah, aku itu ngefans banget sama yang namanya John Frusciante, setiap ada yang cover lagunya pasti aku tonton dengan seksama. Sampai suatu hari aku nemu satu video cover di daftar rekomendasiku, iseng-iseng aku klik. Yang di video itu cowok, namanya Shane Combs. Dia main gitar sambil nyanyi. Videonya keren, nggak dibuat-buat tapi sukses bikin aku amaze. Lalu dengan PD nya aku komentar di video itu nyuruh dia buat nonton videoku yang lagi nyanyi sambil bawa buku (---ampun dah Indi malu-maluin...). Nggak disangka cowok itu balas, katanya dia sudah nonton videoku dan dia suka. Lalu kami pun menikah lalu hidup bahagia selamanya.
Hahaha, just kidding. Sehabis komentar itu aku nggak pernah ada kontak apa-apa lagi sama dia. Murni komentar iseng, hanya menyampaikan kekaguman dan aku memang pengen pamer video :")

Di pertengahan tahun 2016 suatu kebetulan mempertemukanku dengan dia lagi. Waktu lagi iseng baca kolom komentar video clipnya Princess Chelsea, aku nemu komentar dia! Dengan sok akrabnya aku sapa dia dan bilang kalau aku surprise karena kami dengar musik yang sama. Mungkin karena kebetulan sedang sama-sama online, dia langsung balas. Katanya dia tahu Princess Chelsea karena nonton salah satu coverku. Agak malu juga sih karena kupikir dia nggak pernah mampir ke channelku lagi setelah aku "paksa" nonton videoku. *ngumpet* Dan lagi-lagi, setelah itu nggak ada obrolan lebih lanjut. Nggak tahu deh dengan kalian, aku biasanya selalu ada firasat alias hint kalau ketemu orang. Misalnya langsung tahu kalau nantinya bakal jadi teman akrab, atau sebaliknya. Nah, sama Shane ini justru nggak ada sama sekali. Pokoknya tiap ngobrol rasanya hanya sekali lewat doang. Bahkan sampai beberapa bulan kemudian waktu kami memutuskan untuk bikin lagu bareng pun nggak pakai basa-basi dulu. Dia tinggal di mana, tampangnya gimana, umurnya berapa, aku nggak tahu. Pokoknya habis lagunya selesai, ya sudah, kami kembali ke alam masing-masing :p

Jadi kapan kami mulai berteman dan naksir-naksiran? Nggak tahu. Seingatku kami mulai mengobrol di pertengahan tahun 2017, dekat-dekat ulang tahun kami yang beda 10 hari saja. Awalnya sih seperti sebelumnya, kami membuat musik. Lalu tiba-tiba saja jadi akrab dan obrolan kami nggak lagi melulu soal musik. Setiap video call bisa berjam-jam, bahkan nggak jarang kami nggak tidur seharian dan ngobrol sampai belasan jam! Rekor yang aku ingat kami pernah ngobrol 13 jam, sampai Ibu nanya kenapa aku nggak keluar kamar selama 2 hari, hahaha. Tapi jangan dikira kami saling naksir. Hubungan kami memang istimewa, tapi kami murni bersahabat. Shane sering bercerita tentang perempuan yang dia taksir. Begitu juga aku yang sering bercerita tentang kecengan-kecengan khayalanku yang jumlahnya segudang. Hubungan kami tanpa beban, nggak pernah sekalipun ada keingingan untuk bertemu karena sudah tahu bahwa kami ternyata tinggal di 2 negara yang dari ujung ke ujung; Amerika dan Indonesia. Bagi kami video call lebih dari cukup, kami sama-sama senang itu yang terpenting :)

Akhir Januari 2018 kami mulai mengakui bahwa saling menyukai. Lagi-lagi jangan tanya bagaimana awalnya karena kami nggak ingat. Tahu-tahu seminggu sebelumnya kami saling mengakui kalau ada perasaan memiliki dan mulai ada keinginan kuat untuk bertemu. Jadi nggak ada acara "tembak-tembakkan". Waktu itu Shane bilang kalau dia akan datang ke Indonesia agar kami bisa tinggal bersama. Orangtuaku kaget, karena nggak pernah sekalipun aku menyebut tentang punya pacar. Padahal aku juga kaget (banget), soalnya begitu ada perasaan dia memang langsung memutuskan untuk ke sini, dan statusnya memang bukan pacar, kok :p Jadi memang nggak ada jeda sama sekali buat ngomong, ---bahkan buat mikir-mikir, hahaha. Begitu juga orangtua Shane, mereka kaget karena anaknya belum pernah ke luar negeri atau bahkan mengenal sedikit pun tentang Indonesia, ---tapi tiba-tiba saja bilang kalau akan menetap! (Yup, saudara-saudara, bayangkan gimana reaksi ibunya begitu tahu anak cowok satu-satunya mau tinggal bareng cewek yang belum pernah ditemui).
Aku pernah bertanya apa dia nervous akan meninggalkan segala kenyamanan di negaranya dan harus belajar bahasa yang sama sekali baru. Dia bilang "nggak", dia malah excited karena artinya nggak harus lewat video call lagi untuk "bertemu" denganku. Katanya, kalau di telepon saja kami sudah bahagia, apalagi di dunia nyata nanti. Dan aku setuju dengannya :)

Jika pasangan yang berasal dari beda negara identik dengan LDR alias long distance relationship, itu nggak berlaku buat kami. Dan aku sangat bersyukur dengan itu! Shane segera mengurus passport, visa dan barang-barang apa saja yang akan dibawa. Maret 2018 dia sudah siap terbang ke Indonesia dan selama menunggu yang kami bicarakan adalah betapa nggak sabarnya kami untuk bertemu, ---juga keinginan Shane untuk menikahiku. Iya, menikah. Awalnya aku pikir Shane hanya bercanda karena kami memang sering bergurau dan aku memang belum menemukan "sisi romantis" darinya. Tapi semakin lama aku jadi yakin kalau dia bersungguh-sungguh karena nada bicaranya selalu terdengar lebih serius setiap dia berbicara tentang hubungan kami. Katanya apapun akan dia lakukan supaya nggak berpisah lagi dengan sahabatnya, —-aku. Dan menikah adalah jalan yang dia pikirkan. Aku pikir, kalau pun nanti dia berubah pikiran karena belum pernah bertemu aku sebelumnya, ya sudah. Dia tinggal pulang lagi saja ke negaranya. Toh visa kunjungannya hanya berlaku satu bulan, hahaha.

And here we are now, kami menikah di bulan Oktober 2018 dengan dihadiri oleh beberapa anggota keluarga saja. Alasannya karena aku ingin pernikahan kami khidmat dan sakral. Aku pernah bermimpi bagaimana rasanya menikah, tapi ternyata yang aku alami ini lebih indah daripada impian. Aku menikahi sahabatku! :) Setiap detik yang aku alami rasanya seperti mimpi, sepanjang prosesi pernikahan aku nggak bisa berhenti tersenyum. Jalan Tuhan memang misterius, video konyol di YouTube itu ternyata jalan kami untuk saling menemukan belahan jiwa. Aku nggak akan pernah menganggap sepele lagi setiap hal kecil yang terjadi di hidupku, karena siapa tahu itu clue Tuhan untuk sesuatu yang lebih besar.


Dan soal hint, atau firasat. Saat menulis ini aku jadi sadar kalau sebenarnya "tanda-tanda" itu sudah ada tapi akunya saja yang cuek, ---mungkin karena terlalu menganggap kalau Shane itu nggak akan pernah lebih dari sahabat. Pernah suatu hari Shane memberiku batu yang dia ambil dari depan rumah John Frusciante, idolaku. Aku bilang, jika suatu hari nanti aku menikah, aku akan meminta calon suamiku melamar dengan batu itu. Dan yang kedua, tahun lalu aku menulis lagu yang berjudul "If I". Liriknya seperti ini; "If I get married today, I will wear white dress and flower crown." Satu hari sebelum menikah Shane membelikanku gaun putih bermotif batik dan mahkota bunga. Coba tebak?! Aku benar-benar memakainya di hari pernikahan kami! :)
Jadi rupanya dia sudah di sini bersamaku the whole time, my best friend is my husband.

Ah, rasanya aku ingin bercerita lebih banyak lagi tentang kami. Tapi mungkin lain kali karena sebentar lagi Shane akan selesai cuci piring sehabis memasak untuk kami, hihi. Sekarang aku mau siap-siap istirahat dulu. See you, teman-teman! :)


xx,

Indi



Lagu baru Indi dan Shane di sini: KLIK


--------------------------------------------------------------------

Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here |Contact: namaku_indikecil@yahoo.com