Rabu, 30 Maret 2016

Pelajaran yang Didapat Ketika Menghadiri Resepsi Pernikahan...

Wedding invitation.
"Uh, lagi?"
Mungkin terdengar kasar---atau aneh, tapi begitulah reaksiku. Sejak kecil sampai sekarang aku nggak pernah excited dengan segala yang berhubungan dengan wedding stuff. Ini bukan karena aku sensi dengan pertanyaan "kapan nyusul", ya. Aku sudah 8 tahun punya serious relationship with Ray, so definitely I’m not a jomlo, hehehe :p Tapi aku adalah girly girl yang orang bilang "not girly enough" karena malas ribet. Konon setiap anak perempuan mempunyai impian untuk menjadi pengantin, tapi untukku membayangkannya saja sudah seram. Pakai makeup, duduk dan berdiri di pelaminan berjam-jam... Uh, pakai bb cream saja aku sudah jerawatan, apalagi kalau harus dibikin "pangling". Pokoknya setiap mendengar tentang wedding, aku langsung teriak "Nooooo... jangan libatkan akuuuu", ---dalam hati. Karena kalau berteriak di depan calon pengantin itu namanya rude, hehehe. Don't get me wrong, tentu suatu hari aku akan menikah. Tapi sambil menunggu waktunya tiba, bukan berarti aku bisa free dari segala makeup dan ini-itu. Terutama ketika yang menikah adalah anggota keluarga...

Aku sangat senang waktu tahu kalau Dani, sepupuku akan menikah dengan his longtime girlfriend, Dila. Kebetulan beberapa tahun yang lalu Dila pernah mewawancariku untuk video dan website Greensmile. Meski nggak begitu mengenalnya, tapi akan memilikinya sebagai ipar membuatku excited karena kami mempunyai passion yang sama di bidang lingkungan hidup :) Sampai aku ingat bahwa keluarga harus memakai seragam dan makeup agar terlihat kece dan berbeda dengan tamu yang lain. Jantungku langsung deg-degan. Why oh why... kenapa di keluargaku ada tradisi seperti ini? Bisakah aku memakai apapun yang ada di lemari dan cukup memakai bedak tipis? Well, jawabannya tentu "tidak". Demi menjaga kekompakan aku harus membuat baju baru dari kain seragam yang sudah disediakan oleh pihak pengantin. Ini mengingatkanku dengan film 28 Dresses. Seperti di film, aku punya banyak dress pengiring pengantin dan semuanya hanya berakhir di lemari karena kebanyakan modelnya nggak cocok untuk dipakai sehari-hari, hehehe. By the way, resepsi pernikahan diadakan di Jakarta sementara aku tinggal di Bandung. Dengan pertimbangan jarak dan waktu karena resepsi diadakan di malam hari, akhirnya diputuskan untuk nggak menyetir mobil sendiri dan kami (aku, Ray dan keluarga adikku) memutuskan memakai jasa sewa mobil sekaligus sopirnya sementara Ibu dan Bapak lebih dulu berangkat satu hari sebelumnya.

Sebenarnya bukan pernikahan yang aku takuti, tapi segala macam prosesi membuatku ingin menjadi anak-anak selamanya saja. Dulu aku pernah bertanya pada Ibu kenapa pengantin harus didandani dan dipajang di pelaminan. Waktu itu Ibu menjawab bahwa semuanya dilakukan agar berkesan, bisa dikenang sampai hari tua nanti, ---dan yang termanis di resepsi pernikahan pengantin bisa merasakan menjadi raja dan ratu selama sehari. Tapi aku nggak mengerti, bukankah berkumpul bersama di satu meja sambil mengobrol seru dengan teman dan keluarga tentang betapa beruntungnya bisa menikahi seseorang yang sangat dicintai akan lebih berkesan dibandingkan dengan menyalami tamu undangan di pelaminan dan makan belakangan? Semakin dewasa aku belajar bahwa versi fun dan berkesan bagi setiap orang itu berbeda-beda. Bagiku makeup dan highheels merupakan nightmare, tapi bagi orang lain bisa saja itu adalah hal yang sangat mereka inginnya. Aku nggak harus seperti itu, of course. Ketika hari itu datang menikmati musik dan kumpul-kumpul would be perfect for me and Ray. Tapi seperti yang sudah aku sebutkan barusan, versi fun setiap orang itu berbeda-beda, jadi di perjalanan aku bolak-balik ingatkan diri sendiri supaya nggak berwajah masam. Berempati, bayangkan jika aku ada di posisi pengantin dan ini adalah hari yang sangat mereka impikan.

Ibu dan Bapak mengerti dengan karakter aku yang 'girly but not so girly' (apaan coba, lol). Mereka selalu mencarikan jalan tengah agar aku happy tapi tetap mengikuti tradisi. Supaya kedua belah pihak senang, dan nggak ada yang (terlalu) memaksakan diri. Seperti di acara-acara pernikahan sebelumnya (OMG, aku benar-benar terdengar seperti film 28 Dresses, hehehe) pihak pengantin selalu memberi kain seragam untuk dipakai anggota keluarga. Biasanya aku menjadi pengiring pengantin, ---literally jalan di belakang mereka, jadi harus kompak dengan sepupu-sepupuku yang lain. Aku yang clumsy ini nggak pantas untuk pakai dress panjang karena bisa-bisa terpeleset dan dikenang seumur hidup oleh tamu undangan. Jadi untukku model dress sengaja dibedakan, tapi tetap dengan kain yang sama. Dan untuk sepatu, karena aku nggak bisa memakai high heels (not good for my back, lah) jadi diganti dengan kitten heels, ---yang menurutku sih tetap nggak nyaman, masih lebih enak flat shoes atau flatform. Nah, biasanya yang susah 'kabur' itu kalau urusan makeup, soalnya orang-orang langsung gemas melihat wajahku yang lebih polos dari adik sepupu yang masih SD. Kalau perlu mereka bakal mengejar-ngejar aku sambil bawa lipstik demi membuat wajahku jadi presentable, hehehe. Syukurlah kali ini aku diizinkan untuk nggak dimakeup oleh mbak-mbak makeup artist karena iparku lumayan akrab dengan lipstik dan kawan-kawannya. Aku hanya dipakaikan bb cream, bulu mata palsu, eye liner, blush on dan lipstik tipis, ---tanpa eye shadow, pensil alis dan lainnya. Lega sekali waktu melihat cermin ternyata wajahku masih dikenali. Soalnya entah karena belum terbiasa, atau memang begitu kenyataannya, makeup selalu membuatku merasa seperti pemeran antagonis, hehehe.

Bersantai dulu di Mall Slipi Jaya sebelum pakai dress dan makeup sederhana.

Resepsi pernikahan diadakan malam, tapi keluarga diharapkan untuk berkumpul pukul 12 siang untuk, ---believe it or not, makeup! Keluarga plus kerabat berkumpul di rumah mempelai dan hotel untuk bergantian dirias. Tadinya aku pikir bakal too early karena acara masih sangat lama, bisa-bisa makeup nya luntur duluan. Tapi rupanya untuk mengerjakan 1 orang membutuhkan waktu lebih dari 1 jam; makeup wajah, rambut, pakaian... Wah, pantas saja Ibu sudah stand by dari pukul 11, hehehe. Berhubung aku nggak menggunakan jasa makeup artist dan untuk rambut hanya perlu dikepang (catok rambutnya pun sendiri, lol) jadi aku punya banyaaaaaak waktu sampai resepsi tiba. Sambil menunggu aku ajak Ray berjalan-jalan ke mall yang lokasinya nggak jauh dari rumah omku. Rupanya mall sedang direnovasi, jadi hanya lantai 1 dan 2 saja yang ramai. Meski begitu kami sangat menikmati our escape date. Setiap lantai kami jelajahi dan berakhir dengan membeli sepatu, kaus kaki dan kaus dalam yang super murah. Setelah berjalan-jalan moodku menjadi semakin bagus, seperti me-refresh tubuh dan pikiran setelah perjalanan dari Bandung ke Jakarta yang melelahkan. Aku tahu setelah ini aku akan kembali ke kenyataan sebagai pengiring pengantin yang harus berdiri sampai larut malam, ---dengan sepatu yang bisa membuat scoliosis ku marah selama 1 minggu. Tapi at least aku akan berusaha melakukannya dengan happy, for my family :)

Dengan dress yang didesain khusus untukku, kitten heels dan simple makeup :)

Oh, satu hal lagi yang belum aku sebutkan tentang tradisi di acara pernikahan keluarga, secara nggak resmi aku dipilih sebagai big sister bagi adik-adik sepupuku, Gaby dan Billa yang usianya 8 dan 10 tahun. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak mereka masih balita sampai-sampai banyak yang mengira bahwa mereka benar-benar adikku. Psst, mudah-mudahan mereka nggak baca tulisan ini, karena mereka selalu protes jika diperkenalkan sebagai sepupu, ---maunya sebagai adik kandung saja, hihihi. Tradisi ini memberikan keuntungan sekaligus "memberi keterbatasan" bagiku. Sisi baiknya tentu karena aku bisa mendapatkan semua hal seru yang mereka dapat dari orang dewasa lainnya. Es krim, happy meal, jalan-jalan ke mall... you named it deh pokoknya. Tapi di sisi lain mereka juga begitu terikat denganku sampai-sampai "me time" jadi hal yang hampir mustahil. Sebenarnya aku bukan satu-satunya sepupu mereka yang sudah dewasa, tapi somehow Gaby dan Billa selalu memilihku. Sampai-sampai namaku sering dijadikan senjata oleh orangtua mereka untuk membujuk kalau mereka malas melakukan sesuatu, hahaha. Dan belakangan "adik" ku bertambah 1, namanya Anissa, anak dari sepupuku, ---si mempelai pria. Well, sebenarnya secara teknis aku adalah tantenya Anissa, tapi karena usianya nggak jauh dari Gaby dan Billa ia ikut-ikutan ingin menjadi adikku. So kali ini aku menjadi big sister bagi mereka bertiga. Sebelum resepsi dimulai aku berharap mereka nggak akan berebutan untuk menggandeng tanganku, karena obviously, ---tanganku hanya dua, hahaha.

Bersama Ibu dan Bapak :)

Pukul 7 malam resepsi pernikahan dimulai. Karena keluarga pengantin harus sudah berada di gedung sebelum acara dimulai, jadi aku harus pandai-pandai mencuri waktu untuk beristirahat. Untunglah ada beberapa kursi di salah satu sudut, jadi aku bisa melepas sepatu dan membiarkan kaki untuk bernapas lega, hihihi. Entah ada apa dengan kakiku, setiap memakai sepatu ber-heels, ---sekalipun kitten heels, pasti ujung-ujung jarinya sakit semua. Sementara para orangtua sibuk beramah-tamah dengan kerabat dan tamu yang mulai berdatangan, para sepupu sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sekedar mondar-mandir, selfie bahkan ada yang menenangkan anak-anak mereka karena sudah mulai rewel. Sedangkan aku mengobrol random dengan Ray sambil sesekali membalas sapaan kerabat yang melintas. Tapi itu nggak bertahan lama karena Gaby, Billa dan Anissa sudah datang. Belum apa-apa aku sudah ditantang untuk membuat sebuah kursi untuk bisa muat diduduki kami berempat! Padahal kursi yang kosong masih banyak, lho. Tapi mereka berlomba-lomba untuk duduk paling dekat denganku. Cepat-cepat aku berdiri supaya adil karena 3 gadis kecil yang berkelahi saat pernikahan = not good, lol. Setelah berdiri pun rupanya masalah belum selesai, ---seperti yang aku khawatirkan mereka benar-benar berebutan untuk menggandeng tanganku! Hahaha, OMG, that was beyond cute, Billa menggandeng tangan kiriku sementara Gaby dan Anissa menggandeng tangan kananku, ---Anissa menggenggam jempolku kuat sekali, hahaha. Tapi yang paling lucu adalah ketika giliran keluargaku berfoto bersama pengantin, Billa dengan percaya diri mengikutiku ke studio mini dan mengingatkan (lagi) bahwa ia adalah adikku, hahaha. Tentu Billa nggak diizinkan ikut, tapi jujur saja melihat wajah seriusnya membuatku terharu. Awww...

Acara seremonial baru "benar-benar" dimulai setelah sesi foto; doa, pidato, tari-tarian dan lain sebagainya. The girls sangat excited untuk menonton Tari Merak dari jarak dekat dan itu membuat aku cukup kewalahan karena, ---of course--- mereka minta ditemani. Tapi seperti yang sudah aku sebutkan sebelumnya, ada 2 sisi dari menjadi seorang kakak. The bright side is... aku bisa berkeliling dan mencicipi banyak makanan tanpa perlu merasa canggung. Well, akhirnya aku mengerti kenapa Ibu dan Bapak dulu sering menjadikanku alasan. Karena sekarang aku bisa merasakan keuntungannya. "Gaby, mau mau chocolate melt, ya? Yuk, ambil," ---dan aku pun mengambil porsi yang paling besar untukku sendiri, hehehe. Rasa pegal di kaki dan berat di wajah (bahkan makeup ringan pun kalau dipakai lama-lama terasa berat) memang nggak hilang. Aku masih bisa merasakannya tapi at least perhatianku teralih karena ada mereka. Pukul 9 malam, 1 jam sebelum acara selesai aku pamit untuk pulang lebih dulu. Sebenarnya masih ada 1 sesi foto lagi, tapi karena sebelum acara juga sudah jadi aku pikir itu bukan masalah. Berpamitan dengan adik-adikku seperti biasa dibumbui sedikit drama, aku harus mengantar mereka ke pelaminan karena selain bersamaku mereka hanya mau bersama orangtuanya! Hahaha, obviously I'm not ready for kids, ---yet :'D

Billa, Anissa, Gaby dan Kiran, anak dari teman ibuku.

Begitu tiba di mobil aku langsung melepas kitten heels dan menggantinya dengan sepatu yang kubeli di mall sebelumnya. I'm so happy for Dani dan Dilla, tapi aku benar-benar nggak sabar untuk tiba di rest area dan menghapus semua riasan dari wajah. Hatiku masih bertanya-tanya mengapa resepsi pernikahan harus identik dengan berdandan? Mengapa pengantin harus dipajang di pelaminan? Dan lain sebagainya. Tapi setelah kupikir-pikir, memang apa masalahnya dengan semua itu? Yang terpenting adalah kebahagiaan pengantin. Mungkin memang inilah hal yang mereka inginkan, ---yang sejak kecil diimpikan, seperti aku yang bermimpi ingin makan-makan bersama keluarga dengan diiringi konser musik kecil di hari pernikahanku nanti, ---no need to dressed up. Sedikit berkorban seharusnya bukan masalah, ---karena versi fun bagi setiap orang itu beda-beda, dan aku juga pasti bersedih jika ada yang berwajah masam ketika "hariku" tiba. Well, sepertinya nggak berlebihan jika aku menyebut resepsi pernikahan sebagai tempat untuk belajar tentang keberagaman. Aku berlajar bertoleransi, aku belajar menghormati dan aku belajar untuk ikut happy saat orang lain happy. Memang nggak mudah untuk happy saat tumit mulai lecet, tapi bukan berarti nggak bisa :)
By the way sebelum kalian mengira bahwa tulisan tentang pernikahan ini adalah kode. Jawabannya adalah; "Nooooo." Suatu hari aku akan menikah, tapi not very soon lah. Lagipula, ingat pesan Gaby, Billa dan Annisa; "No boyfriend until you're 30, Kak!" 
Oh, kasihan Ray, hahaha :D


yang kakinya masih sakit,

Indi

__________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | Contact person: 081322339469

Minggu, 13 Maret 2016

Datang sebagai Inspirator, Pulang dengan Membawa Inspirasi! (Kelas Inspirasi Bandung)

Haloooo, howdy-do bloggies?! Aduh, rasanya malu-malu gimana gitu untuk bilang kalau sekarang aku mengetik ini dalam keadaan kurang enak badan. Padahal di post sebelumnya aku bilang akan kembali update kalau sudah sehat. Tapi ternyata... tenggorokanku kembali nggak enak sekarang, huhuhu :( Mudah-mudahan saja nanti pagi sudah baikan karena hari senin aku perlu suara gue untuk, ---ehm,--- sebuah surprise yang baru saja aku dapat (ceritanya next time, ya, hihihi). Anyway, meski begitu aku akan menepati janji untuk bercerita tentang pengalaman menjadi inspirator pengajar di Kelas Inspirasi Bandung. Tulisan kali ini mungkin nggak akan sedetail biasanya (menghemat tenaga, hihihi), tapi aku janji akan berusaha sebaik mungkin ;)

Seperti yang aku sebutkan sebelumnya di tulisan tentang pengalaman mengikuti briefing, ini adalah kali pertama aku mengikuti Kelas Inspirasi. Sebenarnya sudah sejak beberapa tahun yang lalu teman-teman pembaca mendukungku untuk mengikuti Kelas Inspirasi, tapi aku selalu ragu. Pasalnya aku merasa belum pantas disebut sebagai “profesional”. Memang aku sudah sudah menulis sejak usia 7 tahun, tapi  hasilnya hanya belasan buku harian (---aku mungkin penulis buku harian profesional, lol). Baru ketika dewasa aku lebih serius menulis dan menghasilkan beberapa buku yang diterbitkan. Tapi tetap, aku merasa masih harus banyak belajar :) Sampai akhirnya tahun ini aku mendapat dukungan semakin banyak, termasuk dari Ray. Rasanya aku jadi lebih percaya diri. Dan setelah dipikir mengapa aku harus menunggu lebih lama? Lebih baik aku berbagi apa yang dimiliki sekarang, karena ilmu tentu akan semakin bertumbuh jika nggak disimpan sendiri.




Singkat cerita aku ditempatkan di SDN Griba 13 Bandung bersama belasan orang lainnya dari kelompok 50. Perasaan deg-degan terasa ketika aku memasuki kelas pertama, yaitu kelas 1-C. Tapi aku yakin pengalaman sebagai guru di sebuah preschool internasional selama 3 tahun sedikit banyak akan membantu. Segera setelah aku menyapa anak-anak, —atau “adik-adik” karena mereka ngotot memanggilku “Kakak”, hehehe, —perasaan deg-degan pun segera berganti dengan semangat. Mereka begitu welcome dan antusias dengan kedatanganku. Karena waktu ajar perkelas dipukul rata menjadi hanya 30 menit, aku langsung memperkenalkan diri dan bercerita tentang profesiku. Istilah “penulis” rupanya belum akrab di telinga mereka, bahkan ada yang mengira bahwa penulis adalah kata lain dari pelukis. Tapi setelah aku menjelaskan tentang peran penulis dalam kehidupan sehari-hari mereka langsung mengerti. Sengaja aku nggak menjelaskan secara mendetail karena yang menjadi tujuan hanya untuk mengenalkan bahwa di dunia ada berbagai macam profesi yang menyenangkan, dan penulis adalah salah satunya. Dalam proses perkenalan ini aku usahakan agar berlangsung dengan fun. Misalnya saja ketika aku menjelaskan tentang alur, latar dan tokoh dari sebuah cerita, aku tanyakan pada mereka cerita apa yang ingin dijadikan contoh. Adik-adik di kelas 1 kompak menjawab SpongeBob Squarepants, sementara di kelas yang lebih tua jawabannya lebih bervariasi; Upin-Ipin dan Frozen! Dengan mengikuti apa yang mereka sukai, istilah-istilah dalam dunia menulis pun lebih mudah dipahami. Aku amaze sekali dengan adik-adik di kelas 1 yang sudah tahu beda alur maju dan mundur lewat salah satu episode Spongebob.





Penulis nggak selalu identik dengan buku, karena yang menulis naskah film atau lagu pun sama-sama disebut penulis. Lagi-lagi dengan mengikuti apa yang mereka sukai aku menyebutkan contoh-contohnya (—dan wow, aku jadi sadar kalau lagu “Sambalado” begitu terkenal di kalangan anak-anak, hehehe). Ada moment lucu tapi juga cerdas yang gue alami di kelas 3. Yaitu ketika ada seorang anak dengan wajah terkejut berkomentar,“Jadi film horor itu ditulis orang ya, Kak? Hantunya juga pura-pura dong, kaya cerita Spongebob!” Sontak aku tertawa mendengarnya, apalagi ketika ia menambahkan bahwa suatu hari ia akan membuat cerita yang lebih bagus agar bisa bekerja di Hollywood. Semoga berhasil, kiddo!  





Karena sebagian besar dari mereka adalah penggemar berat Spongebob, aku pun menamai alat peraga mengajar dengan “kotak imajinasi”, —seperti permainan kesukaan Spongebob dan Patrick. Menjadi seorang penulis terkadang harus menjelaskan sesuatu yang nggak terlihat, —yang sifatnya imajinatif. Jadi aku mengajak adik-adik untuk menebak benda-benda yang berada di dalam kotak tanpa harus melihatnya. Nggak disangka semangat mereka untuk maju ke depan kelas besar sekali, meski beberapa dari mereka minta dibisiki bocoran viariasi kata agar teman-temannya bisa membayangkan benda yang mereka pilih dari dalam kotak, hihihi. Sepertinya ini adalah aktivitas favorit mereka ketika bersamaku di kelas, adik-adik di kelas 6 bahkan meminta waktu ekstra 5 menit agar bisa bermain lebih lama. By the way, kelas 6 adalah kelas yang paling heboh sekaligus polite. Mereka nggak segan untuk menunjukan ketertarikan terhadap outfit yang aku pakai. Dan waktu melihatku kegerahan 2 adik laki-laki di sana langsung sigap naik ke atas meja untuk menyalakan kipas angin! Hahaha, how cute! :D

Pertemuan di kelas aku tutup dengan mengajak mereka bernyanyi bersama. Sengaja aku membawa ukulele dari rumah, sekaligus sebagai contoh dari profesi penulis lagu. Lagu yang kami nyanyikan berjudul “Raihlah Cita-Cita”, liriknya ditulis olehku dengan nada sederhana yang mirip seperti lagu “ABC”.

“Ayo kawan kita bersama
Raihlah Cita-Cita
Jadilah apa saja
Semua yang kau suka.”





Menjadi inspirator pengajar adalah pengalaman yang sangat berharga. Banyak moment mengharukan dan mengejutkan yang aku alami. Seorang anak bernama Damian masuk ke kelasku sebanyak 2 kali, padahal teman-temannya sudah pulang (kelas 1 dan 2 pulang lebih awal). Ketika ditanya alasannya rupanya ia ingin mendengarku bermain ukulele lagi, katanya dulu ia hanya tahu bahwa itu adalah ‘gitar kecil yang dibawa pengamen’, hihihi. Atau ketika adik-adik dari kelas 6 mengajak aku selfie agar mereka nggak lupa bahwa kami pernah bertemu. Rasanya aku ingin memeluk mereka satu persatu dan mengucapkan terima kasih karena telah membuat hari itu menjadi salah satu hari terbaik di hidupku. Bertemu dengan adik-adik di SDN. Griba 13 mengingatkan aku bahwa terwujudnya cita-cita berawal dari semangat yang besar dan tanpa rasa takut.
Aku datang untuk menginspirasi, tapi aku pulang dengan membawa sejuta inspirasi dari mereka! Thanks a lot untuk kesempatannya, Kelas Inspirasi :)







yang dibilang lebih cocok dipanggil 'kakak' daripada 'teteh' sama adik-adik, lol,

Indi

_______________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | Contact person: 081322339469

Jumat, 04 Maret 2016

Indi's Scoliosis Life: SpineCor Update! :)

Hi bloggies! I'm back! ---Well, not "back" back, sih, karena hari ini rupanya aku belum bisa menulis panjang-panjang. Di post yang sebelumnya aku bercerita tentang pengalaman mengikuti briefing Kelas Inspirasi Bandung, seharusnya sekarang aku bercerita tentang Hari Inspirasinya. Tapi berhubung aku sedang masa pemulihan (flu, batuk dan demam, uh, bukan kombinasi yang bagus), jadi sekarang aku akan bercerita tentang update singkat dari scoliosisku. Bagi yang belum tahu, aku mengidap scoliosis sejak usia 13 tahun dan 1 tahun belakangan memilih SpineCor sebagai treatment untuk tulang belakangku.

Minggu lalu aku bertemu dengan dr. Natalie Liem untuk mereview pemakaian SpineCor ku. Sama seperti brace pada umunya, SpineCor juga harus dicek secara berkala untuk memastikan ukurannya pas dengan tubuh pasien. Meskipun masa pertumbuhan sudah berhenti (biasanya di atas usia 18), tapi bukan berarti tubuh nggak mengalami perubahan, lho. Makanya check up berkala itu sangat perlu, ---reminder untuk diri sendiri karena jadwal check up ku belakangan agak berantakan, hihihi. Biasanya saat pemeriksaan jika diperlukan akan diberikan beberapa perubahan pada SpineCor, dan kali ini ada 2 hal yang berubah dari set up nya, yaitu: ada tambahan band dan pada bagian dada atas menjadi lebih flat. Aku nggak tahu pasti apa alasannya, tapi ini artinya ada perubahan di tubuhku, ---in this case artinya baik :) By the way, ini juga salah satu alasan kenapa aku memilih SpineCor, saat tubuh berubah dokter hanya perlu mengganti/menggeser band saja. Aku nggak perlu mengganti keseluruhan brace karena sifatnya elastis. Yay! Lebih baik dari braceku yang sebelumnya, dong ;)


Aku sangat suka dengan set up yang baru. Meskipun memang SpineCor itu terasa nyaman, tapi sekarang rasanya lebih nyaman lagi. Karena lebih pas di bagian dada atas, keberadaannya semakin tersamar jika aku menggunakannya di balik baju, hihihi. Dan yang terpenting rasanya bisa lebih menyangga tulang belakangku. Lihat saja dari foto-fotonya, sooooo much better than before, kan? ;)
Dr. Natalie nggak bilang apa-apa soal kurvaku, ia hanya bilang kalau tanpa diberitahu pun sangat terlihat bahwa aku disiplin dalam pemakaian SpineCor. Dari wajahnya sih sepertinya ia puas (boleh dong bangga, hihihi). Goal dari pemakaian SpineCor dan segala macam treatment scoliosis sebenarnya untuk mempertahankan kurva dan mengurangi rasa sakit, tapi jika sampai ada pengurangan itu namanya bonus. Dan sejauh ini kurvaku berkurang 12 derajat dari 58 ke 40 derajat dengan pemakaian SpineCor. Tugasku sekarang adalah untuk menjaga agar kurva tetap stabil meskipun tanpa SpineCor.


Dulu karena belum mengerti aku hanya berfokus pada tulang belakang, ---karena scoliosis memang kelainan tulang belakang. Yang aku perhatikan adalah postur tubuh, misalnya cara duduk, dll dan asupan kalsium. Tapi ternyata otot yang kuat akan menyangga tulang dengan lebih baik. Makanya dokter menyarankan aku untuk melatih otot agar bisa menjaga kurva menjadi stabil. Tapi jangan seram, melatih otot nggak perlu angkat beban atau olahraga berat, kok, hehehe. Untuk scolioser cukup dengan exercise rutin dan lebih baik lagi kalau pilates. Tempat pilates sekarang bisa ditemukan hampir di tiap sudut kota, tapi untuk scolioser dengan kurva besar sepertiku disarankan untuk mengikuti pilates khusus scoliosis. Pilates memang baik untuk tubuh secara umum, tapi nggak semua gerakan baik untuk orang dengan severe scoliosis. Jadi sekarang aku sedang mencari kelas pilates yang suitable dengan kondisiku (dan yang jaraknya nggak jauh dari rumah supaya nggak capek di jalan). Kalau teman-teman punya informasi, boleh dong share di sini ;)

Secara keseluruhan hasil reviewku baik. Mulai sekarang aku akan memakainya 12 jam every other day (yup, dokter izinkan aku untuk pakai secara selang-seling). Mungkin bagi awam ini terdengar lama, tapi sebenarnya ini jauh lebih sebentar lho dibandingkan dengan penggunaan Boston brace yang 23 jam perhari, 7 hari selama seminggu, ---nggak pakai libur, hihihi. 
Untuk teman-teman scolioser, aku mau mengingatkan supaya nggak terlalu ngotot dengan kurva. Bracing, fisioterapi, surgery, ---atau apapun treatment yang dipilih, berkurangnya kurva itu bonus (tapi kalau pakai SpineCor bonusnya memang lebih banyak, hihihi). Kalau dapat bonus syukuri, tapi kalau nggak pun please don't be sad karena kualitas hidup ditentukan oleh semangat kita, bukan kurva kita ;)


bent not broken,

Indi

Get your own SpineCor here:
Indo Sehat Utama
APL Tower Lt. 25/T3. Podomoro City. Jl. S. Parman Kav. 28 Jakarta Barat 11470
(021) 29339295 / 29339296.

_________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | Contact person: 081322339469