It's weekend already? Ya, ampuuun... Nggak terasa ya teman-teman blogger sekarang sudah akhir minggu lagi! :D So how's your weekdays going? Aku harap fun and fine, ya... Aku sendiri berjalan seperti biasa, masih dengan kerjaan yang sama, kesibukan yang sama, kesantaian (ini betul nggak sih dalam Bahasa Indonesia? Lol) yang sama, juga ke'asyik'an yang sama. So far so good :)
Sekarang aku mau cerita soal kemarin, tepatnya hari Kamis tanggal 14 Juli lalu. Jadi sejak 2 bulan lalu aku ganti tempat terapi (aku mengidap scoliosis 55 derajat). Yang tadinya di Canadian Chiropractic jadi di Japanese Chiropractic. Alasannya sih sederhana, aku ingin terapi yang lebih ringan (It was so tiring, badly...) tapi dengan hasil yang optimal. Akhirnya setelah googling sana-sini dan dapet rekomendasi dari salah satu acara TV, aku memutuskan untuk mencoba Japanese Chiropractic. Dan seperti biasa, aku kemarin diantar Bapak untuk terapi. Di perjalanan aku mau dengar CD, tapi tanpa sengaja yang menyala malah DVD player. Heran, siapa yang masukin DVD kesini, apalagi ini DVD film "Hachiko"... Waktu aku tanya Bapak, katanya tadi pagi ada yang servis DVD player mobil, nah waktu Bapak diminta cobain sudah betul atau belum, secara random Bapak ambil DVD "Hachiko"! Duh, duh... padahal aku mencoba hindari film ini, soalnya meski sudah 3 kali nonton tetap saja nangisnya sampai banjir, huhuhu...
Terpaksa aku dan Bapak nonton Hachiko sepanjang perjalanan yang lumayan jauh (baca: Bapak curi-curi nonton karena sambil nyetir, hahaha), soalnya kotak CD tertinggal di garasi dan film ini cuma satu-satunya yang ada di mobil. Lama-lama kami menikmati juga, ya kami coba lihat sisi baiknya saja, seenggaknya versi Richard Gere ini nggak se "menyiksa" versi Jepang (aku trauma 3 hari 3 malam gara-gara film itu, inget terus sama si Veggie anjingku yang ada di surga, hiks...), lol. Bapak bilang, beliau kagum sekali dengan si Hachi, soalnya selain bisa melindungi tuannya dia juga anjing yang loyal. Aku sih cuma manggut-manggut saja. Setuju, juga nahan senyum teringat Eris, adiknya Veggie yang loyal tapi sayangnya penakut, hihihi.
Nggak terasa perjalanan satu jam selesai juga, kami sampai di tempat terapi dengan tepat waktu (terlambat 10 menit, sih, tapi nggak apa, lol). Aku keluar mobil dengan sedikit malu-malu, pasalnya ini percobaan pertama aku pakai dress dipadukan dengan kaos kaki, hihihi. Sebetulnya aku nggak maksud eksperimen, sih. Tapi di tempat terapi ini memang diwajibkan pakai kaos kaki supaya mempermudah sesi terapi. Aku sempat ngaca sebentar di spion mobil, dress Greeny Day dipadukan dengan kaos kaki hadiah dari Ray (khusus dalam rangka "selamat terapi di tempat baru", lho) ternyata OK juga. Ini juga didukung dengan komentar Bapak yang bilang, "Bagus, kok" begitu melihat wajah pede nggak pedeku, hehehe :D


Sekarang aku mau cerita soal kemarin, tepatnya hari Kamis tanggal 14 Juli lalu. Jadi sejak 2 bulan lalu aku ganti tempat terapi (aku mengidap scoliosis 55 derajat). Yang tadinya di Canadian Chiropractic jadi di Japanese Chiropractic. Alasannya sih sederhana, aku ingin terapi yang lebih ringan (It was so tiring, badly...) tapi dengan hasil yang optimal. Akhirnya setelah googling sana-sini dan dapet rekomendasi dari salah satu acara TV, aku memutuskan untuk mencoba Japanese Chiropractic. Dan seperti biasa, aku kemarin diantar Bapak untuk terapi. Di perjalanan aku mau dengar CD, tapi tanpa sengaja yang menyala malah DVD player. Heran, siapa yang masukin DVD kesini, apalagi ini DVD film "Hachiko"... Waktu aku tanya Bapak, katanya tadi pagi ada yang servis DVD player mobil, nah waktu Bapak diminta cobain sudah betul atau belum, secara random Bapak ambil DVD "Hachiko"! Duh, duh... padahal aku mencoba hindari film ini, soalnya meski sudah 3 kali nonton tetap saja nangisnya sampai banjir, huhuhu...
Terpaksa aku dan Bapak nonton Hachiko sepanjang perjalanan yang lumayan jauh (baca: Bapak curi-curi nonton karena sambil nyetir, hahaha), soalnya kotak CD tertinggal di garasi dan film ini cuma satu-satunya yang ada di mobil. Lama-lama kami menikmati juga, ya kami coba lihat sisi baiknya saja, seenggaknya versi Richard Gere ini nggak se "menyiksa" versi Jepang (aku trauma 3 hari 3 malam gara-gara film itu, inget terus sama si Veggie anjingku yang ada di surga, hiks...), lol. Bapak bilang, beliau kagum sekali dengan si Hachi, soalnya selain bisa melindungi tuannya dia juga anjing yang loyal. Aku sih cuma manggut-manggut saja. Setuju, juga nahan senyum teringat Eris, adiknya Veggie yang loyal tapi sayangnya penakut, hihihi.
![]() |
Hachi lagi tiduran gara-gara ditinggal tuannya pergi, hiks. |
![]() |
Japanese Chiropractic di Jl. Cihampelas Bandung. |
![]() |
Dress Greeny Day dari Toko Kecil Indi. |


Terapisku ini orang Indonesia, btw. Iya, lokal nggak seperti kebanyakan chiropractor yang biasanya "impor", lol. Tapi tetap dia kuliah chiropractic di Jepang, bukan abal-abal karena di ruang prakteknya tergantung ijasah diploma, hehehe.
Kali ini sesi terapi nggak berjalan seperti biasanya, kami banyak sekali mengobrol. Aku bercerita kalau di perjalanan kami menonton "Hachiko" lagi untuk keempat kalinya. Dari situ dengan cepat cerita berkembang, terapisku menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun di Jepang. Di sana, dia hidup sangat sederhana karena menjadi satu-satunya mahasiswa yang berasal dari Indonesia. Jangankan keluarga, teman satu negarapun nggak ada yang bisa "membantunya" di sana. Suatu hari, terapisku bertemu dengan anjing Akita yang sangat besar (Akita itu jenis anjing seperti Hachiko), meski dia tahu bahwa Akita adalah anjing yang bertempramen nggak begitu baik (they’re not a family dog seperti Golden Retriever, dll), tapi dia penasaran dan mencoba memanggilnya. Ternyata seiring berjalannya waktu mereka mulai bersahabat, malah pemilik anjing Akita tersebut mengizinkan terapisku untuk membawanya pulang dan memeliharanya. Sayang, karena keterbatasan tempat dan biaya untuk makan (anjing sebesar itu butuh 4 cup dog food perhari sepertinya, hehehe) dia pun menolak untuk mengadopsinya.
Aku selama ini nggak pernah tertarik dengan Jepang, menurutku, aku belum terlalu mengenal negara sendiri jadi buat apa aku mempelajari negara lain? Aku sudah cukup puas menjadi warga negara Indonesia meskipun nggak tulen-tulen amat (yes, my grandma has Chinese blood, that’s why my skin is so pale and my eyes are so small, lol). Pengetahuanku tentang Jepang cuma satu: di sana ada sekelompok orang yang suka cosplay dan aku BENCI kalau terus-terusan ditanya, "Kamu suka cosplay, ya?" cuma gara-gara aku sering pakai dress+stocking (baru tahu aku kalau Ksatria Baja Hitam suka pakai kostum kayak aku, hahaha).
Tapi ternyata dengan mengenal aku bisa belajar. Contoh sederhananya saja Hachiko, aku jadi bisa belajar soal kesetiaan. Well, mungkin kalian pikir setiap anjing itu loyal, they will do anything for her/his man, gitu kan? Eits, ini Akita lho! Ada yang tahu tempramennya? Please googling dulu dan kalian akan surprise betapa "manis"nya si Hachiko ini dibanding teman-teman satu rasnya. Ternyata Akita yang sebegitu kerasnya juga bisa turunin egonya demi tuan tersayang. Kenapa kita yang manusia nggak bisa seperti dia? :)
Cerita berlanjut ke soalnya lain, masih inget aku sempat (sering, ding! Lol) mengeluhkan tentang minimnya fasilitas difabel di Indonesia? Nah, terapisku cerita kalau di Jepang banyak sekali aturan "nggak tertulis" yang memudahkan para difabel (different ability people, iya, termasuk aku). Jadi di stasiun kereta (asik amat ya di Shibuya ada patung Hachiko, mau dong difotoooo) di sana ada banyak eskalator, nah secara nggak tertulis masyarakat di sana sudah bikin aturan kalau pegangan sebelah kiri berlaku untuk orang-orang yang lagi nggak terburu-buru (hanya berdiri diam di atas eskalator), nah pegangan yang kanan khusus untuk orang-orang yang memang memutuskan berjalan meski di atas eskalator. Keren, kan? Jadi nggak akan ada lagi yang "tabrakan" dan yang nggak bisa jalan cepat nggak perlu merasa "diteror" dari belakang (pengalaman pribadi aku ini mah, hahaha). Sederhana, tapi efektif. Padahal kalau Indonesia niat, mudah banget kan menirunya? Ayok ditiru (dimulai dari aku, semoga nggak ada yang protes dan teriak "Woi, minggir-minggir" dari belakang).
Hebatnya lagi, eskalator tangganya bisa berubah jadi flat, lho (itu kayak yang di mall-mall, hehehe). Jadi kalau ada berkursi roda mau lewat situ, operator tinggal pencet 1 tombol dan tadaaaa, eskalator seketika bisa jadi wheelchair access! :D Kalau sudah gitu, konon katanya orang lain yang kakinya masih sehat pasti langsung pindah ke tangga tanpa dikomando. Waw, hebat! Disiplin dan toleransi sekali ya :)
Seperti sesi terapi kali ini, siapa yang sangka dari terapi rutin ini aku bisa mendapat ilmu baru? *wink*
Kali ini sesi terapi nggak berjalan seperti biasanya, kami banyak sekali mengobrol. Aku bercerita kalau di perjalanan kami menonton "Hachiko" lagi untuk keempat kalinya. Dari situ dengan cepat cerita berkembang, terapisku menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun di Jepang. Di sana, dia hidup sangat sederhana karena menjadi satu-satunya mahasiswa yang berasal dari Indonesia. Jangankan keluarga, teman satu negarapun nggak ada yang bisa "membantunya" di sana. Suatu hari, terapisku bertemu dengan anjing Akita yang sangat besar (Akita itu jenis anjing seperti Hachiko), meski dia tahu bahwa Akita adalah anjing yang bertempramen nggak begitu baik (they’re not a family dog seperti Golden Retriever, dll), tapi dia penasaran dan mencoba memanggilnya. Ternyata seiring berjalannya waktu mereka mulai bersahabat, malah pemilik anjing Akita tersebut mengizinkan terapisku untuk membawanya pulang dan memeliharanya. Sayang, karena keterbatasan tempat dan biaya untuk makan (anjing sebesar itu butuh 4 cup dog food perhari sepertinya, hehehe) dia pun menolak untuk mengadopsinya.
Aku selama ini nggak pernah tertarik dengan Jepang, menurutku, aku belum terlalu mengenal negara sendiri jadi buat apa aku mempelajari negara lain? Aku sudah cukup puas menjadi warga negara Indonesia meskipun nggak tulen-tulen amat (yes, my grandma has Chinese blood, that’s why my skin is so pale and my eyes are so small, lol). Pengetahuanku tentang Jepang cuma satu: di sana ada sekelompok orang yang suka cosplay dan aku BENCI kalau terus-terusan ditanya, "Kamu suka cosplay, ya?" cuma gara-gara aku sering pakai dress+stocking (baru tahu aku kalau Ksatria Baja Hitam suka pakai kostum kayak aku, hahaha).
Tapi ternyata dengan mengenal aku bisa belajar. Contoh sederhananya saja Hachiko, aku jadi bisa belajar soal kesetiaan. Well, mungkin kalian pikir setiap anjing itu loyal, they will do anything for her/his man, gitu kan? Eits, ini Akita lho! Ada yang tahu tempramennya? Please googling dulu dan kalian akan surprise betapa "manis"nya si Hachiko ini dibanding teman-teman satu rasnya. Ternyata Akita yang sebegitu kerasnya juga bisa turunin egonya demi tuan tersayang. Kenapa kita yang manusia nggak bisa seperti dia? :)
Cerita berlanjut ke soalnya lain, masih inget aku sempat (sering, ding! Lol) mengeluhkan tentang minimnya fasilitas difabel di Indonesia? Nah, terapisku cerita kalau di Jepang banyak sekali aturan "nggak tertulis" yang memudahkan para difabel (different ability people, iya, termasuk aku). Jadi di stasiun kereta (asik amat ya di Shibuya ada patung Hachiko, mau dong difotoooo) di sana ada banyak eskalator, nah secara nggak tertulis masyarakat di sana sudah bikin aturan kalau pegangan sebelah kiri berlaku untuk orang-orang yang lagi nggak terburu-buru (hanya berdiri diam di atas eskalator), nah pegangan yang kanan khusus untuk orang-orang yang memang memutuskan berjalan meski di atas eskalator. Keren, kan? Jadi nggak akan ada lagi yang "tabrakan" dan yang nggak bisa jalan cepat nggak perlu merasa "diteror" dari belakang (pengalaman pribadi aku ini mah, hahaha). Sederhana, tapi efektif. Padahal kalau Indonesia niat, mudah banget kan menirunya? Ayok ditiru (dimulai dari aku, semoga nggak ada yang protes dan teriak "Woi, minggir-minggir" dari belakang).
Hebatnya lagi, eskalator tangganya bisa berubah jadi flat, lho (itu kayak yang di mall-mall, hehehe). Jadi kalau ada berkursi roda mau lewat situ, operator tinggal pencet 1 tombol dan tadaaaa, eskalator seketika bisa jadi wheelchair access! :D Kalau sudah gitu, konon katanya orang lain yang kakinya masih sehat pasti langsung pindah ke tangga tanpa dikomando. Waw, hebat! Disiplin dan toleransi sekali ya :)
Keasyikan cerita, sesi terapi yang harusnya memakan waktu 2 jam ini pun melar jadi 3 jam, hihihi. Tapi ini nggak masalah karena aku pasien terakhir. Masih banyak sebetulnya cerita yang terapisku bagi soal Jepang (soal pasar tradisionalnya, tempat potong rambutnya, kampusnya, dll), tapi dua cerita ini saja aku rasa sudah cukup "menjelaskan" kenapa aku bisa belajar sesuatu dari mengenal. Aku rasa inilah yang disebut open minded.
Kita jangan menjudge sesuatu sebelum mengenal terlebih dahulu. Kita harus coba meluangkan waktu sebentaaaar saja untuk berkenalan dengan sesuatu atau at least mengintip karena dari situ kita dapat belajar.

nb: Ada yang pernah perhatikan nggak kalau snack Tao Kae Noi (nori alias rumput laut) ini unik banget? Dari namanya memang Hokkien abis, tapi bahan-bahannya dari Jepang (nori kan ada di hampir semua masakan Jepang) tapi produksinya di Thailand! Hahaha, just found out. Ternyata selama ini aku sering makan tanpa baca kemasannya :D
sweetest smile,
INDI
do not copy any design by toko kecil indi. thanks :)