Siapa diantara kalian yang punya gelar sarjana diusia 22? Ada? Salut untuk kamu.
Ceritaku berawal ketika aku menjadi fresh graduate dari sebuah SMU swasta. Nilaiku bagus, meski bukan yang terbagus. Rata-rata delapan dengan ijazah yang membanggakan (boleh lah dipajang. Lol). Tapi aku nggak punya universitas impian, sama sekali. Apalagi jurusan impian, aku sama sekali blank dengan dunia perkuliahan.
Waktu itu aku memang sangat kekanakan, nggak mau repot-repot ambil tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa, ngambek waktu disuruh ikut test masuk sama ortu. Tapi akhirnya terbujuk juga ikut test di dua universitas swasta di kotaku. Di universitas pertama, secara random aku ambil jurusan psikologi, hukum dan komunikasi. Di universitas kedua, lagi-lagi secara random aku ambil jurusan seni musik dan hubungan internasional.
Hmm, aku sama sekali nggak ngerti dengan jurusan-jurusan yang ku pilih itu sebenernya. Apalagi waktu SMA aku masuk jurusan IPA, jadi aku blank banget dengan segala ilmu sosial. Tapi ya, namanya juga random. Jadi kalau diterima syukur, nggak juga nggak apa-apa. Toh aku belum siap jadi seorang mahasiswa.
Nggak disangka, 4 dari 5 jurusan yang aku pilih ternyata lolos. Lagi-lagi (lagi...) secara random aku pilih universitas yang kedua. Tapi waktu ditanya aku mau masuk jurusan apa, aku bingung antara seni musik dan hubungan internasional.
Waktu SMA aku anggota tetap kelompok choir. Pengen banget aku terusin minatku itu ke bangku kuliah. Tapi di sisi lain aku juga suka mempelajari bahasa, jadi Hubungan Internasional pasti cocok buatku.
Setelah dipikir cukup lama, aku putusin untuk ambil seni musik. Dan pilihanku ternyata nggak salah...
Aku merasa diterima di sana. Dalam waktu singkat aku bisa dapet banyak temen dan akrab dengan dosen-dosennya. Aku nggak peduli keberadaanku sebagai perempuan yang jadi minoritas di kelas. Dari 30an anak, hanya ada 2 orang perempuan.
Pengalamanku sekolah drum selama 2 grade memang nggak bantu terlalu banyak. Banyak anak laki-laki yang (bahkan) belajar secara otodidak lebih jago dari aku (lol). Tapi itu sama sekali nggak nurunin semangatku untuk belajar. Malah minat aku sebagai "player" pun berganti seiring berjalannya waktu. Aku mau jadi menejer musik. Itu ku pikir. Karena di seni musik selalu ada "jalan" meski nggak terlalu pandai memainkan instrumen.
Sayangnya baru 1 semester aku harus pindah dari seni musik. Alasannya ortu ngerasa pilihanku di sana nggak terlalu tepat. Mereka memang masih sedikit kolot, kadang meragukan kesempatan bekerja dari lulusan jurusan seni musik. Aku ngerti sebagai ortu mereka khawatir dengan masa depanku. Tapi aku nggak mau nyerah gitu aja.
Aku tetep pergi ke kampus seni musik meski aku bukan lagi mahasiswa disana. Status baruku sebagai mahasiswa hubungan internasional sama sekali nggak aku pake. Aku cuma mampir sebentar terus cabut sampai sore di kampus lama. Anehnya beberapa mahasiswa dosen masih nggak ngeh kalau aku sebenernya bukan mahasiswa di sana lagi. Padahal aku sering menyusup masuk kelas, lho disela-sela mata kuliah mereka.
Mengejar ketinggalan di HI (Hubungan Internasional) juga bukan hal gampang. Mata kuliah yang aku ikuti bener-bener berbeda dengan apa yang aku dapet di seni musik. Di mataku HI terlalu kaku, terlalu banyak politik dan nggak mengenal bersenang-senang. Itu termasuk para mahasiswanya. Aku nyaris nggak mengenal 1 orangpun sampai 1 tahun kemudian. Untung aja akhirnya aku nemu 2 orang sahabat yang salah 1 nya awet sampe detik ini :)
Tahun demi tahun (wah, bahasanya, hehehe) aku lalui di HI. Adaptasiku cuma sedikit membaik. Bolos berkurang dan mulai dekat dengan beberapa dosen. Aku sering gagal di beberapa mata kuliah. Malah sempet kena kasus yang agak memalukan. Gara-gara nggak bisa jawab satupun soal UTS, aku nulis surat di lembar jawaban yang isinya adalah curahan hati aku. Dengan jujur aku tulis kalau aku selalu boring ikut mata kuliah tsb (dirahasiakan ya nama mata kuliahnya. Lol) dan kadang aku ketiduran di bangku belakang. Semua itu aku tulis dengan bahasa Inggris. Nggak tau deh aku lagi kerasukan setan bule kali. Lol.
Hasilnya, aku pun dikejar-kejar sama dosen yang bersangkutan selama 1 semester lebih. Nilai mata kuliahku kosong dan SP (Semester Pendek) aku nggak diterima! O ow... Bad Indi... Setelah itu aku langsung menyesal dan janji mau perbaiki semua. Setelah kasih rayuan-rayuan maut (baik-baikin) sama Pak Dosen, akhirnya aku diizinin ikut satu kali SP (huhuhu...).
Baru ditahun akhir aku bisa lebih fokus dan bisa ngejar ketinggalan nilai-nilaiku. Nilai-nilai ku yang C perlahan berganti jadi B bahkan ada juga yang A. IPK ku semakin mendekati angka 3. Biar kata orang aku udah telat buat tobat (halaaaah, hahaha), tapi aku percaya kalau Tuhan pasti membantu umatnya yang berusaha, lol.
Meski dibantu Tuhan, bukan berarti semuanya mudah. Temen-teman satu kelasku satu persatu duluan lulus. Sedangkan aku masih disibukan dengan skripsi dan ngurusin nilai. Belum lagi sepupuku yang usianya 1 tahun dibawahku udah lulus duluan. Wah, tekanan dari keluarga langsung deh berdatangan. Dari pertanyaan halus macam, "Kapan lulus?" sampai "Nggak malu tuh dikalahin adiknya?" mulai terbiasa kedengeran sepanjang aku ngerjain skripsi.
Kalau aja aku nggak punya ketegaran ekstra, udah gantung di jalan kali tu skripsi. Untung aku punya jurus ampuh ngadepin tekanan. Jurus Budeg! Aku pura-pura nggak denger aja apa komentar negatif dari orang sekitar. Yang penting aku fokus dan mengerjakan sebaik-baiknya. Toh, aku mengejar semua ketinggalan aku ini hanya dalam waktu 1 tahun. Jadi aku rasa semua pencapaianku sejauh ini udah cukup.
Ceritaku berawal ketika aku menjadi fresh graduate dari sebuah SMU swasta. Nilaiku bagus, meski bukan yang terbagus. Rata-rata delapan dengan ijazah yang membanggakan (boleh lah dipajang. Lol). Tapi aku nggak punya universitas impian, sama sekali. Apalagi jurusan impian, aku sama sekali blank dengan dunia perkuliahan.
Waktu itu aku memang sangat kekanakan, nggak mau repot-repot ambil tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa, ngambek waktu disuruh ikut test masuk sama ortu. Tapi akhirnya terbujuk juga ikut test di dua universitas swasta di kotaku. Di universitas pertama, secara random aku ambil jurusan psikologi, hukum dan komunikasi. Di universitas kedua, lagi-lagi secara random aku ambil jurusan seni musik dan hubungan internasional.
Hmm, aku sama sekali nggak ngerti dengan jurusan-jurusan yang ku pilih itu sebenernya. Apalagi waktu SMA aku masuk jurusan IPA, jadi aku blank banget dengan segala ilmu sosial. Tapi ya, namanya juga random. Jadi kalau diterima syukur, nggak juga nggak apa-apa. Toh aku belum siap jadi seorang mahasiswa.
Nggak disangka, 4 dari 5 jurusan yang aku pilih ternyata lolos. Lagi-lagi (lagi...) secara random aku pilih universitas yang kedua. Tapi waktu ditanya aku mau masuk jurusan apa, aku bingung antara seni musik dan hubungan internasional.
Waktu SMA aku anggota tetap kelompok choir. Pengen banget aku terusin minatku itu ke bangku kuliah. Tapi di sisi lain aku juga suka mempelajari bahasa, jadi Hubungan Internasional pasti cocok buatku.
Setelah dipikir cukup lama, aku putusin untuk ambil seni musik. Dan pilihanku ternyata nggak salah...
Aku merasa diterima di sana. Dalam waktu singkat aku bisa dapet banyak temen dan akrab dengan dosen-dosennya. Aku nggak peduli keberadaanku sebagai perempuan yang jadi minoritas di kelas. Dari 30an anak, hanya ada 2 orang perempuan.
Pengalamanku sekolah drum selama 2 grade memang nggak bantu terlalu banyak. Banyak anak laki-laki yang (bahkan) belajar secara otodidak lebih jago dari aku (lol). Tapi itu sama sekali nggak nurunin semangatku untuk belajar. Malah minat aku sebagai "player" pun berganti seiring berjalannya waktu. Aku mau jadi menejer musik. Itu ku pikir. Karena di seni musik selalu ada "jalan" meski nggak terlalu pandai memainkan instrumen.
Sayangnya baru 1 semester aku harus pindah dari seni musik. Alasannya ortu ngerasa pilihanku di sana nggak terlalu tepat. Mereka memang masih sedikit kolot, kadang meragukan kesempatan bekerja dari lulusan jurusan seni musik. Aku ngerti sebagai ortu mereka khawatir dengan masa depanku. Tapi aku nggak mau nyerah gitu aja.
Aku tetep pergi ke kampus seni musik meski aku bukan lagi mahasiswa disana. Status baruku sebagai mahasiswa hubungan internasional sama sekali nggak aku pake. Aku cuma mampir sebentar terus cabut sampai sore di kampus lama. Anehnya beberapa mahasiswa dosen masih nggak ngeh kalau aku sebenernya bukan mahasiswa di sana lagi. Padahal aku sering menyusup masuk kelas, lho disela-sela mata kuliah mereka.
Mengejar ketinggalan di HI (Hubungan Internasional) juga bukan hal gampang. Mata kuliah yang aku ikuti bener-bener berbeda dengan apa yang aku dapet di seni musik. Di mataku HI terlalu kaku, terlalu banyak politik dan nggak mengenal bersenang-senang. Itu termasuk para mahasiswanya. Aku nyaris nggak mengenal 1 orangpun sampai 1 tahun kemudian. Untung aja akhirnya aku nemu 2 orang sahabat yang salah 1 nya awet sampe detik ini :)
Tahun demi tahun (wah, bahasanya, hehehe) aku lalui di HI. Adaptasiku cuma sedikit membaik. Bolos berkurang dan mulai dekat dengan beberapa dosen. Aku sering gagal di beberapa mata kuliah. Malah sempet kena kasus yang agak memalukan. Gara-gara nggak bisa jawab satupun soal UTS, aku nulis surat di lembar jawaban yang isinya adalah curahan hati aku. Dengan jujur aku tulis kalau aku selalu boring ikut mata kuliah tsb (dirahasiakan ya nama mata kuliahnya. Lol) dan kadang aku ketiduran di bangku belakang. Semua itu aku tulis dengan bahasa Inggris. Nggak tau deh aku lagi kerasukan setan bule kali. Lol.
Hasilnya, aku pun dikejar-kejar sama dosen yang bersangkutan selama 1 semester lebih. Nilai mata kuliahku kosong dan SP (Semester Pendek) aku nggak diterima! O ow... Bad Indi... Setelah itu aku langsung menyesal dan janji mau perbaiki semua. Setelah kasih rayuan-rayuan maut (baik-baikin) sama Pak Dosen, akhirnya aku diizinin ikut satu kali SP (huhuhu...).
Baru ditahun akhir aku bisa lebih fokus dan bisa ngejar ketinggalan nilai-nilaiku. Nilai-nilai ku yang C perlahan berganti jadi B bahkan ada juga yang A. IPK ku semakin mendekati angka 3. Biar kata orang aku udah telat buat tobat (halaaaah, hahaha), tapi aku percaya kalau Tuhan pasti membantu umatnya yang berusaha, lol.
Meski dibantu Tuhan, bukan berarti semuanya mudah. Temen-teman satu kelasku satu persatu duluan lulus. Sedangkan aku masih disibukan dengan skripsi dan ngurusin nilai. Belum lagi sepupuku yang usianya 1 tahun dibawahku udah lulus duluan. Wah, tekanan dari keluarga langsung deh berdatangan. Dari pertanyaan halus macam, "Kapan lulus?" sampai "Nggak malu tuh dikalahin adiknya?" mulai terbiasa kedengeran sepanjang aku ngerjain skripsi.
Kalau aja aku nggak punya ketegaran ekstra, udah gantung di jalan kali tu skripsi. Untung aku punya jurus ampuh ngadepin tekanan. Jurus Budeg! Aku pura-pura nggak denger aja apa komentar negatif dari orang sekitar. Yang penting aku fokus dan mengerjakan sebaik-baiknya. Toh, aku mengejar semua ketinggalan aku ini hanya dalam waktu 1 tahun. Jadi aku rasa semua pencapaianku sejauh ini udah cukup.
Lagi nunggu giliran sidang. |
Akhirnya aku berhasil selesaiin skripsiku di bulan Juni (thank you so much for Ray) dan sidang di bulan Juli. Terbukti karena Jurus Budeg ku bisa capai tujuan aku meski nggak secepat yang lain. Sempet khawatir hasil sidangku nggak baik mengingat track recordku yang rada-rada bikin dosen BT, lol. Tapi ternyata semuanya baik-baik aja. Bahkan 3 dari 4 penguji adalah fans "Waktu aku Sama Mika", novel yang aku tulis. Ssst... itu termasuk Pak Dosen "Kasus", lho, hihihi. Hasilnya proses sidangpun lebih santai dan dicampur sama tanya jawab tentang novelku! Lol.
Hasil sidang aku sangat baik. Aku lulus dengan nilai A, predikat sangat memuaskan. IPK ku pun diatas 3. Siapa yang sangka kalau itu semua aku kerjakan dalam waktu 1 tahun? :)
Hasil sidang aku sangat baik. Aku lulus dengan nilai A, predikat sangat memuaskan. IPK ku pun diatas 3. Siapa yang sangka kalau itu semua aku kerjakan dalam waktu 1 tahun? :)
Lulus! :D |
Kadang memenuhi pengharapan orang-orang sekitar itu susah. Jadi apa salahnya kalau kita bikin pengarapan untuk diri sendiri dulu? Meski (mungkin) nggak memuaskan orang lain dan dianggap biasa aja, tapi selalu ada perasaan bangga kalau kita bisa penuhi target yang kita buat sendiri. Sekecil apapun itu. Trust me! :)
(Diedit: 29/02/2024)
salut..
BalasHapussalut bgt bwt lo ndi..gw lulus S1 di umur 21 thn,skrg gw 22 thn,tp gw ngrasa nol bgt,g dptin ap2 slama gw kul,..
yap!mskipun IPK gw jg d atas 3..but,stlh bc blog lo,gw sadar,smua BISA klu qt mw berusaha..
thx bwt semangat dr tulisan2 lo..gw sadar,smua hrs djalani serius,doain gw ndi,gw lg nerusin kul utk "profesi" gw..
smga gw lulus dengan otak "berisi".. :-)
halo nonkz. thanks for visit :)
BalasHapussama2, thank God kalau tulisan gw bisa bermanfaat. iya, setiap gw berusaha gw yakin Tuhan pasti bantu. ada kemauan ada jalan. doa gw buat lo. sukses dg profesinya ya. salut juga buat lo karena jadi sarjana di usia 21 :) GBU.
sama kayak aku kak, ambil hi juga, tapi masih maba kak. ceritanya kak indi bikin semangat lagi, sempet desperate karena gagal di PTN, kadang malu sapa temen yang masuk PTN,hihi. tapi sekarang udah gak malu lagi, mau nunjukkin dari PTS pun bisa kok kerja di kedubes :)
BalasHapusCongrats Indi! All your hard work finally paid off!
BalasHapusDoain gw nyusul jadi S.Ked bulan Maret nanti yaa ;)
@ OKKY:
BalasHapusiya, nggak perlu desperate. selalu liat yg dibawah. kamu masih beruntung bs kuliah. soal kerjaan dimana aja. yg penting halal&sepadan :) semangat!
@ LULU:
thanks, lu! iya, finnaly.. gak nyangka jg akhirnya lulus, hehehe.. amen.. didoain ya, Lu.. pasti bisa :D
makashi ya atas kunjungan kamu ke blog ku.. salam kenalan.
BalasHapussalam kenal kembali dari indonesia, nurul.
BalasHapus:D
sama aku juga lulus kuliah di umur 24,,tp ya itu menjadi acuan buat selalu smngaatt :)
BalasHapuslam kenal ya indii ^^
wah, kita sama dong, clara :) betul! semangat selalu, ya. dan salam kenal kembali.
BalasHapuswaaa sama-sama anak HI :D kak indi HI di univ apa?
BalasHapusdi UNPAS :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus