Tampilkan postingan dengan label Bandung Indah Plaza. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bandung Indah Plaza. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Februari 2024

Izin Tinggal yang Menyebalkan dan Mall yang Menyenangkan! :)

Keputusan Shane untuk tinggal di Indonesia memang mengejutkan. Bayangkan saja, Shane nggak pernah pergi jauh dari negaranya, Amerika, ---paling jauh hanya sampai Jamaika. Lalu tiba-tiba saja ia bilang ingin mengunjungi aku, (yang waktu itu masih) sahabat internetnya di Indonesia. Aku bilang pada orangtuaku kalau akan ada teman yang berkunjung. 

"Tiga minggu saja paling lama," ujarku pada Ibu dan Bapak, ---yang ternyata keliru. 

Shane dan aku saling jatuh cinta segera setelah kami bertemu. Perubahan status kami dari sahabat ke sepasang kekasih membuat Shane mengubah rencananya. Orangtuaku terkejut, keluarga Shane apa lagi! Tapi mereka ikut berbahagia dan mendukung apapun keputusan kami :)


Aku dan Shane sama-sama clueless tentang izin tinggal di Indonesia. Shane ke Indonesia menggunakan visa kunjungan yang hanya berlaku selama satu bulan. Lalu bagaimana caranya agar ia bisa di sini bersamaku selama tujuh bulan kami berpacaran? Well... sekarang sih terdengar "lucu", tapi percayalah waktu itu cara yang Shane lakukan adalah satu-satunya cara yang masuk akal bagi kami. Jadi setiap masa tinggalnya habis Shane pergi ke Singapura di pagi hari dan kembali lagi ke Indonesia di sore hari DEMI MENDAPATKAN CAP VISA KUNJUNGAN DI PASPORNYA! Iya, orang yang sekarang jadi suamiku itu rela pulang-pergi ke luar negeri satu bulan sekali, bahkan tanpa meninggalkan Bandara untuk mengejar penerbangan berikutnya, supaya ia bisa tinggal dengan legal di Indonesia, ahahahaaa :"D


Untung saja beberapa minggu setelah menikah kami diberi tahu kalau ada yang namanya KITAS, ---Kartu Izin Tinggal Sementara untuk WNA yang berlaku selama satu tahun (---nah, mengerti kan kenapa kami jadi merasa konyol, hahaha). Atas saran Alison, mantan atasanku di Preschool tempat aku dulu mengajar, kami menggunakan jasa agen untuk mengurus segala macam dokumen yang diperlukan. Jadi selama satu tahun pertama kami tenang, izin tinggal Shane sudah ada yang mengurus dan kami hanya perlu ke Imigrasi  untuk pengambilan foto dan sidik jari. Praktis, cepat, ---tapi kami terkejut setelah tahu berapa biaya asli pembuatan KITAS. Ternyata kami membayar hampir dari tiga kali lipat! Huaaa, agak menyesal rasanya, dan sejak saat itu kami memutuskan untuk mengurusnya sendiri saja. Kan lumayan tuh uang lebihnya bisa dipakai buat jatah makan seblak satu tahun :p


Tahun pertama mengurus KITAS berdua saja kami masih meraba-raba. Kami menjelaskan pada pihak Imigrasi kalau sebelumnya kami menggunakan jasa agen jadi belum mengetahui apa saja yang harus kami bawa. Aku ingat sekali waktu itu aku dan Shane saling bertukar pandang karena heran. Di zaman yang serba digital ini ternyata fotokopi KTP, Kartu Keluarga, CNI, dsb, dst, masih juga menjadi salah satu persyaratan perpanjangan KITAS. Dengan banyaknya kolom di formulir yang diisi, dengan seluruh data kami yang sudah ada di komputer, kenapa fotokopi masih diperlukan? Kertas-kertas fotokopi yang isinya selalu sama setiap tahun itu memang nantinya dikemanakan? Jangan sampai deh berakhir di tukang gorengan. 


Jadi setiap akhir tahun saat keluarga kami merencanakan liburan, aku dan Shane merencanakan kunjungan kami ke Imigrasi, hahaha. Di kedatangan pertama aku dan Shane harus menyerahkan segala macam fotokopi, foto terbaru, paspor, mengisi formulir dan membayar biayanya. Setelah itu kami dijadwalkan untuk pengambilan data biometrik (sidik jari dan foto). ---Yup, semua itu nggak bisa dilakukan di satu hari saja. Lumayan menguras tenaga fisik dan mental karena jarak dari rumah ke Imigrasi nggak dekat dan perjalanannya nggak pernah mulus (warga Bandung pasti paham kalau di daerah Surapati always macet, sniff...). Pernah satu kali kami terpaksa kembali lagi ke rumah hanya karena nggak membawa CNI. Padahal satu malam sebelumnya kami menerima email dari Imigrasi yang NGGAK menyebutkan CNI sebagai salah satu persyaratan. Aku sampai menunjukkan bukti email dan Buku Nikah, karena CNI itu sendiri adalah surat bukti kalau Shane nggak terikat pernikahan di negaranya. Harusnya kita nggak butuh CNI lagi dong karena sudah menikah legal di sini dengan bukti Buku Nikah dan data di Disdukcapil? :'D Tapi tetap saja mereka kekeuh menginginkan selembar kertas fotokopi dari kedutaan Amerika itu.


Bulan Desember 2023 yang lalu ketika akan melakukan "kunjungan" rutin ke Imigrasi level anxiety kami cukup tinggi. Dua tahun yang lalu aku dan Shane sempat merasa nggak nyaman karena salah seorang petugas memanggilku dengan sebutan "Kakak" dengan nada over friendly (ykwim...) dan berkomentar tentang penampilanku. Bukan saja terkesan nggak profesional tapi juga membuat Shane merasa kurang dihargai (ia merasa "dikacangin"). Like, why does he care about my appearance? Panggilan "Kakak" dan mengomentari kalau styleku "Kawaii" itu nggak appropriate untuk diucapkan di tempat yang formal. And he's NOT even my friend! ---To be clear ya, BUKAN panggilan “Kakak” nya yang jadi masalah. Tapi ini soal tempat dan sedang dalam kepentingan apa. Di tempat di mana semua orang dipanggil “Ibu” dan “Bapak” (bahkan Shane dipanggil “Sir”), kenapa petugasnya memilih memanggilku dengan sebutan yang berbeda dan membuat komentar nggak perlu soal penampilan dan saat melihat foto KTP ku? Ia bahkan nggak bertanya apa-apa sama Shane, seolah nggak kelihatan. Padahal Shane yang berkepentingan untuk urusan KITAS. Aneh :S Meski petugasnya sekarang sudah nggak bekerja di sana tapi tetap aku dan Shane jadi menetapkan Imigrasi sebagai tempat least favorite kami. "Vibesnya nggak enak," begitu kata Shane. Syukurlah persyaratan perpanjangan KITAS kami nggak ada yang kurang dan berjalan lancar, ---atau kami kira begitu...


Di kunjungan kami yang kedua untuk pengambilan data biometrik, seharusnya menjadi hari yang sama dengan pengambilan paspor milik Shane. Tapi kemarin nggak begitu, setelah menunggu sebentar kami diberitahu kalau paspor belum bisa diambil. Waktu aku bertanya sama petugasnya kapan, ia menjawab, "Belum tahu, whatsapp saja ke sini hari Senin. Tanyakan tentang status permohonan KITAS nya dan kapan paspornya bisa diambil."

Jujur, rasanya kepengin nangis tahu nggak sih, ahahaha... Sudah jauh-jauh datang, DUA KALI PULA, eh masih juga harus kembali lagi, KAPAN-KAPAN (karena bahkan petugasnya saja belum tahu, ahahahaha). Kalau begini rasanya lebih baik kami kembali pakai agen saja! Ingin rasanya menyerocos bertanya kenapa kami nggak dikabari saja lewat Whatsapp, email, telepon, pos, atau apapunlah supaya kedatangan kami nggak sia-sia. Tapi semuanya hanya di dalam kepalaku, karena badanku rasanya terlalu lemas dan mood sudah jelek. Aku hanya ingin pulang dan tidur.


Tapi Shane rupanya punya ide lain, alih-alih setuju untuk pulang ia mengajakku untuk ke mall. Katanya ia ingin membuat hari kami yang dimulai dengan sangat menyebalkan menjadi lebih baik. Senyumku pun kembali. Bukan karena gembira akan berjalan-jalan di mall, tapi karena aku bersyukur memiliki suami yang selalu mencoba "memperbaiki" hari untuk kami :) Dengan bantuan aplikasi map di handphone aku menemukan mall terdekat dari gedung Imigrasi, Mall Bandung Indah Plaza, mall yang sempat menjadi tempat favoritku ketika masih kecil sampai remaja. Segera kami ke sana tanpa rencana dan tanpa tahu apa yang ada di sana. Sudah sangat lama sejak terakhir kali kami mengunjungi mall tertua di Bandung itu. (---Itu pun sangat sebentar, untuk makan karena terlewat saat pulang sehabis kami dari Rumah Sakit). Di perjalanan Shane berkata kalau aku harus bersenang-senang di sana, lakukan apa saja yang aku inginkan dan jangan pikirkan soal urusan Imigrasi yang menyebalkan.


BIP, mall masa kecil dan remaja. Sudah banyak yang berubah, jadi kangen suasana dulu, huhu.


Mall sedang nggak terlalu ramai. Di beberapa pojok terlihat sedikit festive karena sedang suasana Natal dan Tahun Baru. Dengan mantap aku langsung mengajak Shane ke restoran fast food yang menjual burger plant based. ---Junk food nabati memang selalu sukses membuat moodku lebih baik, hehe. Kami ke Burger King karena plant based whopper mereka enak sekali (dan sangat mengenyangkan!). Sayang ternyata stocknya habis :') Perasaanku sih sepertinya mereka memang sudah discontinued, at least untuk wilayah Bandung karena di cabang lain pun jawabannya selalu sama. Tapi mungkin supaya terdengar halus dan menjaga supaya harapan para vegan tetap tinggi jadi bilangnya "habis" :p Untung saja di lantai paling atas ada A&W. Mereka punya menu yang namanya Veggie Burger. Rasa dan teksturnya lebih mirip perkedel dibandingkan dengan burger, tapi menurut kami sih sama-sama enak apalagi saat dipadukan dengan curly fries. 


Dekorasi mall sangat minim, di lantai atas malah hampir gak ada dekorasi :D


Kami makan sambil mengobrol ini-itu, sama sekali nggak membahas soal Imigrasi. Shane dengan random bilang kalau ia tiba-tiba ingat lima tahun yang lalu di hari yang sama kami makan di foodcourt Metro Indah Mall dan ia mengambil fotoku yang sedang duduk di depan pohon Natal. Aku tertawa mendengarnya, aku ingat waktu itu kami baru sekitar dua minggu menikah dan aku sedang ingin makan seblak. Jadi bibirku tampak merah dan dower sekali di foto, hahaha. Somehow Shane menyukai foto itu dan sampai sekarang masih menjadikannya wallpaper di handphonenya :) Oh iya, Shane dulu bukan "anak mall", ia lebih suka pergi ke toko musik atau hangout di rumah teman-temannya. Tapi semenjak bersamaku tampaknya ia jadi menyukai mall, bahkan mulai hapal dengan nama-namanya, hehe.


Hahaha, sign di belakang kami. Aku bertanya sama Shane apa ia merasa "di rumah" :p


Foto kenangan bibir dower di foodcourt Metro Indah Mall, hahaha :D


Selesai makan Shane bertanya padaku apa lagi yang ingin kulakukan. Aku berpikir sejenak lalu mengajaknya ke bioskop untuk melihat film apa saja yang sedang diputar. Kebetulan sekali ada "Wonka", dan hari pertama tayang! Sejak kecil Shane sangat menggemari film "Willy Wonka and the Chocolate Factory" (1971), film yang (seharusnya) menjadi adaptasi dari buku Roald Dahl yang berjudul "Charlie and the Chocolate Factory". Sementara aku adalah penggemar berat buku-buku Roald Dahl, baik buku anak-anak maupun buku dewasanya. Jadi menonton film ini merupakan win-win untuk kami; Shane bisa menonton "prekuel" dari film favoritnya, sedangkan aku bisa membandingkan karakter Wonka dengan yang di buku. Kupikir bioskop akan ramai, apalagi di hari Senin harga tiket lebih murah. Tapi ternyata di dalam teater hanya ada kami berdua dan beberapa orang di baris samping dan belakang kami. Aku menyukainya :)


Poster film "Wonka".


Kedua buku tentang Willy Wonka dan karya Roald Dahl yang lain.


Aku dan Shane sangat menikmati filmnya, ---aku bahkan sempat terlarut di beberapa adegan dan sedikit meneteskan air mata :'D Telinga dan mata kami terasa dimanjakan, semuanya porsinya pas, dari drama, hal-hal magis dan musiknya. Mungkin kalau aku terlalu berharap filmnya patuh dengan cerita di buku Roald Dahl aku nontonnya bakal kecewa, ya. Tapi karena sudah belajar dari film-film adaptasi Roald Dahl lain yang hampir NGGAK PERNAH persis bukunya, aku jadi menikmati filmnya sebagai sebuah karya mandiri yang "diinspirasi" Roald Dahl saja. Karena kalau dibilang jadi prekuel film versi tahun 1971 pun sebenarnya nggak nyambung-nyambung amat. Background storynya ke mana-mana, hanya karakter Willy Wonka saja yang mendekati. Disambungkan dengan film "Charlie and the Chocolate Factory" versi tahun 2005 (yang mana paling patuh dengan bukunya) apalagi, ---makin jauh, ahahaha. Jadi ya dinikmati apa adanya saja. Oya, di film "Wonka" juga ada kejutan menyenangkan dari Rowan Atkinson, yang meski perannya nggak banyak tapi sukses bikin aku tersenyum haru. Sebelumnya di film adaptasi Roald Dald yang berjudul "The Witches" (1990) ia juga punya peran sebagai Mr. Stringer, eh tiba-tiba sekarang muncul lagi sebagai Pendeta. Jadi makin nostalgia masa kecil, kan! :'D 


Begitu keluar dari teater, aku dan Shane sepakat kalau filmnya membuat kami jadi ingin makan cokelat! Tanpa berbelok ke mana-mana dulu kami langsung ke supermarket di lantai dasar dan mencari cokelat "yang bisa kami makan". Kebanyakan cokelat yang dijual di pasaran mengandung susu, dan kami yang vegan ini menghindarinya. Syukurlah setelah mencari nggak terlalu lama kami menemukan dark chocolate yang kemasannya cukup besar untuk dimakan berdua! Biasanya kami hanya menemukan chocolate bar kecil, jadi harus beli beberapa supaya puas. Tapi kali ini kami dapat kemasan pouch yang isinya ada banyaaaak. Hore! :) 

Nggak terasa hari sudah semakin gelap, kami putuskan untuk segera pulang setelah sebelumnya membeli treat untuk Kitty, si kucing mungil, yang ditinggal sendirian di rumah. Kami banyak sekali tertawa. Kalau saja nggak melihat outfit kami yang memakai batik, aku nggak akan ingat kalau sebelumnya habis mengalami hari yang menyebalkan di Imigrasi :p


***


"Shane, kalau tiba-tiba kita ketemu Steven Tyler terus dia naksir aku gimana?" Tanyaku iseng.

"Oh, nggak apa-apa, nanti kamu pura-pura suka sama dia. Terus kalau dia kasih kamu uang jangan lupa bagi aku ya," jawab Shane.

Aku tersenyum nakal, "Tapi kalau aku naksir beneran sama dia gimana?"

Shane diam sejenak, menatapku dengan serius lalu berkata, "Ya, artinya kamu tetap saja harus bolak-balik ke Imigrasi. Kan Steven Tyler juga perlu Kitas. Dia dan aku nggak ada bedanya kalau di Indonesia, sama-sama WNA!"

"Oh, iya juga ya," aku terkikik geli. 


Nggak, aku nggak naksir Steven Tyler, kok. Aku nggak akan menukar suamiku ini dengan apapun, hahaha. Nggak bisa aku membayangkan diriku dengan orang lain selain dengan Shane, ---yang selalu berusaha mengubah hari menyebalkan menjadi hari terbaik sedunia! ---Ia sudah lebih dari cukup untukku :)


blessed girl,


Indi


Kalau teman-teman ingin membaca proses pernikahanku dan Shane bisa baca di sini :)

____________________________________

Instagram: @indisugarmika | Youtube: Indi Sugar Taufik

Minggu, 01 April 2018

Dan Akhirnya Kami Saling Memaafkan...

Sejak bertahun-tahun yang lalu aku bersahabat dengan Avri, ---kami satu kelas dan kalau hangout selalu bersama meskipun teman-teman kami silih berganti. Setelah lulus, kesibukan kami pun jadi berbeda; aku fokus di kegiatan menulis dan menetap di Bandung, sementara Avri berpindah-pindah di beberapa pulau dan sekarang menjadi seorang dosen. Lama sekali kami nggak bertemu, sampai tiba-tiba saja ia mengajak janjian karena sebentar lagi akan menikah. Aku senang bukan main dan langsung mengiyakan ajakannya. Sampai-sampai aku lupa bertanya dulu sama si pacar apa aku boleh hangout tanpanya (---sementara ia baru satu minggu tiba di Indonesia) dan juga lupa bilang sama Avri kalau aku punya pacar!

Foto aku dan Avri, sahabatku waktu kami kuliah. Selalu satu kelas dan selalu ke mana-mana bersama.

Semakin dekat dengan tanggal janjian, aku malah jadi "lupa-lupa ingat". Bukannya mendadak nggak excited bertemu dengan Avri, tapi karena si pacar baru moving in alias pindah ke rumah orangtuaku, jadi banyak yang harus disesuaikan. Ya, namanya biasa sendirian lalu tinggal seatap otomatis schedule ku jadi berubah, ---termasuk soal mengecek handphone! Bahkan beberapa jam sebelum waktu janjian aku baru tahu kalau Avri mengirim pesan untuk memastikan aku datang, dan itu langsung membuatku galau maksimal... Sambil deg-degan aku ceritakan situasinya sama si pacar dan meminta pengertiannya untuk ditinggal di rumah sementara aku hangout. Dia rupanya oke-oke saja, tapi setelah dipikir kok aku jadi nggak tega ya? Hehehe :'D Dia masih sangat asing dengan situasi di sini, dan meninggalkannya aku rasa bukan hal bijak. Jadi kuputuskan untuk mengajaknya. ---Soal bagaimana reaksi Avri, itu urusan belakangan.

"Vri, gue sudah di jalan, ya. Sekitar 10 menit lagi gue sampai. Eh, iya tapi gue sama pacar. Nggak apa-apa kan, ya?"
Di mobil aku mengetik pesan untuk Avri, nggak lupa diakhiri dengan emoticon senyum yang super lebar.
"Yah, kalau ada pacar kita jadi canggung, dong." Balas Avri. Aku jadi merasa nggak enak, dan cepat-cepat membalasnya;
"Don't worry, pacar gue nggak keberatan kok. Dan dia juga bisa nunggu di tempat lain sementara kita hangout."

Dan giliran sama si pacarlah aku jadi nggak enak...

***

Akhirnya kami tiba di BIP, mall tempat janjian yang saat itu sedang super penuh (---panasnya, ya ampuuuun). Avri katanya menunggu di foodcourt, dekat dengan bioskop. Aku tahu betul di mana tempat yang dimaksud karena kami dulu sering janjian di tempat yang sama. Tapi berhubung sudah lama nggak bertemu dan banyak sekali orang, menemukan Avri bukan jadi hal yang mudah. Aku dan pacar akhirnya malah berdiri linglung di tengah keramaian sambil berharap Avri duluan yang menemukan kami. Lalu,
"Indi!"
Akhirnya, suara yang sangat kukenal memanggil namaku! Avri! Dengan cepat aku berlari ke arahnya dan memeluknya erat. Ah, rindu sekali aku padanya sampai-sampai nggak sadar kalau ada orang lain yang menunggu bersama Avri.
Aku melihatnya, perasaanku campur aduk. Rasanya hatiku akan meledak tapi reaksi yang bisa aku keluarkan hanya menangis...
"Hey, maaf gue nggak bilang sama lo. Tapi ini ada yang mau ketemu sama lo. Sudah ya marahnya... sudah kelamaan..." Avri berkata lirih sementara aku rasanya mau ambruk. 
Sosok di depanku berdiri dan memelukku. ---Aku membalas pelukannya erat. Setengah berbisik dia berkata, "Maafin gue, Indi, maafin, ya."
Dan akhirnya setelah 6 tahun aku menjawab permintaan maafnya sambil terisak, "Gue juga minta maaf... Gue kangen sama lo..."

Manda. Itu namanya. Dulu aku, Avri dan dirinya adalah sahabat yang super dekat. Kemana-mana kami selalu bertiga, saat duduk di kelas pun kami nggak pernah berjauhan. Sampai-sampai teman-teman yang lain memanggil kami dengan sebutan "Ban Becak". Mereka berdua juga seperti bodyguardku, terutama Manda yang selalu "pasang badan" buatku. Aku punya masalah sama cowok, dia ada. Aku belum dijemput sama Bapak, dia ada. Bahkan saat aku sibuk di salon sampai berjam-jam, dia ada, ---menungguku sambil membaca buku koleksinya yang tebal-tebal. Aku menyayangi mereka berdua, tapi Manda memang punya tempat istimewa, bahkan aku sering bercanda dengan bilang, "Having you is better than having a boyfriend." ---Sampai "sesuatu" terjadi. Ada sebuah kejadian yang membuatku sangat marah, sakit, kecewa dan (merasa) nggak bisa memaafkan Manda. Nggak peduli seberapa keras pun dia mencoba, hatiku tetap keras. Selama bertahun-tahun pesan permintaan maafnya yang Manda kirim di semua media sosial yang aku punya selalu aku ignore...

Manda, aku dan Avri waktu dulu. Ke mana-mana kami selalu bertiga sampai dijuluki ban becak :’D


***

Si pacar jelas kebingungan karena ini pertama kalinya bertemu dengan sahabat-sahabat aku dan langsung dibuka dengan tangisan. Aku mencoba menjelaskan dengan cepat sambil menenangkan diri.
Lucu. ---Atau aneh. Selama 6 tahun aku marah sejadi-jadinya tapi dengan sebuah pelukan hatiku terasa hangat. Aku luluh. Aku jadi sadar betapa aku merindukan Manda dan "kegilaan" kami ketika dulu sering berkumpul bertiga. Pelan-pelan suasana menjadi nyaman, air mataku sama sekali hilang digantikan dengan tawa karena kami seru berbicara tentang kenangan-kenangan ajaib yang dulu dilalui. Dan rencana agar pacarku menunggu di tempat lain pun batal karena rupanya kedua sahabatku juga ingin hangout dengannya (---itu bagus karena selain restu orangtua, restu sahabat juga penting, hahaha). Kalau aku menyebutkan hari-hari bersejarah selama hidupku, without a doubt aku akan masukkan hari bertemunya kembali dengan Avri dan Manda ini. Semakin lama kami bicara semakin aku merasa kalau kami sedang berada di kantin saat bubar kelas. Rasanya kemarahanku selama 6 tahun itu sama sekali nggak pernah terjadi...

Setelah saling memaafkan kami seperti dulu lagi :’)

Dua sahabat kesayangan; Avri dan Manda, juga satu-satunya pacar kesayangan, Shane.

Mereka sama sekali nggak berubah, masih Avri yang random dan Manda yang over protective. Aku masih menjadi "baby" di antara mereka. Dengan iseng mereka mengintrogasi pacarku, memastikan aku happy dan dengan "brutal" menceritakan kenakalan-kenalakan ala ABG ku dulu. Aku juga lega karena si pacar get along dengan mereka meski aku kadang bolak-balik jadi penerjemah atau membiarkan dia pakai 'bahasa tubuh'. Malah sepertinya pacarku ini siap menjadi anggota keempat dari "gank" kami karena okay-okay saja saat diisengin. Avri dan Manda meminta dia untuk pesan kopi sendirian, padahal Bahasa Indonesia pacarku terbatas sekali. Ah, I love these crazy peeps, hahaha :D

Di tengah keseruan kami tiba-tiba saja Manda bertanya, "Kalian masih ingat nggak sama impian kita waktu dulu?"
Aku dan Avri menggeleng, lalu disambut tawa Manda sambil mengejek kami, "Dasar pelupa!" 
"Waktu itu kita lagi ngumpul di kantin, gue bilang suatu hari bakal jadi pengusaha. Dan lo Avri, lo bilang suatu hari bakal ngajar, jadi dosen. ---Nah, kalau lo Indi, lo bilang suatu hari buku lo harus jadi film!"

Aku bengong, kaget. Impian kami sekarang sudah menjadi kenyataan. Padahal dulu, saat menyebutkan impian-impian itu kami hanya goofing around seperti biasa. Bahkan impian "iseng" Manda yang bilang kalau dia hanya mau menonton filmku jika pemerannya Vino Bastian pun menjadi kenyataan! Jadi meski aku berhenti bicara kepadanya, selama bertahun-tahun rupanya Manda tetap "mengikuti" ku. Bukan hanya menonton filmku, tapi dia juga "memeriksa" kabarku melalui blog ini. Aku jadi terharu karena sahabat-sahabatku ini benar-benar tanpa syarat. Bahkan di saat aku marah pun mereka tetap peduli dan "ada" meskipun nggak secara fisik.

Terkadang kita harus belajar dengan cara yang "keras", dan saat inilah salah satunya. Tanggal 26 Maret 2018 adalah hari di mana aku belajar bahwa efek dari kemarahan hanya membuatku berfokus dengan hal-hal buruk dan "lupa" bahwa sebelumnya ada hal-hal baik yang pernah terjadi. Kemarahan juga membuatku memutuskan sesuatu yang sebenarnya nggak aku inginkan. Jangan, ---JANGAN pernah memutuskan sesuatu saat sedang marah karena itu hanya akan berakhir dengan penyesalan. Aku bersyukur karena Avri berinisiatif untuk mempertemukanku dengan Manda. Kalau saja aku menolak bertemu, aku akan kehilangan kesempatan untuk belajar memaafkan dan meredam amarah. 


Sebelum kami berpisah untuk pulang Avri membisikkan sesuatu kepada Manda. ---Sejak dulu mereka memang seperti ini, kalau Avri malu-malu pasti Manda yang jadi juru bicaranya.
"Avri penasaran tuh, katanya pacar Indi ngizinin nggak kalau kita hangout lagi kaya dulu?"
Aku melirik si pacar menunggu jawabannya.

"Tentu saja!" jawabnya dengan Bahasa Indonesia yang terdengar canggung.

Ah, aku speechless! :')



yang lagi happy banget,

Indi


(Diedit 5/3/2024. Avri sudah menikah dan memiliki anak, Manda bekerja di Thailand, sementara aku menikah dengan Shane. Kami bertiga tetap keep in touch dan bersahabat. Avri mendukung novel keempatku dan ikut berdonasi. Dan saat Manda ke Indonesia kami juga bertemu lagi, ——dengan Shane sebagai “anggota gang” tambahan).

_____________________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

Sabtu, 14 April 2012

Reuni Paduan Suara: Bertemu Kak Immanuel Lagi dan Mendengar Cerita Darinya :)


Howdy my blogger friends?! :D
Wah, sudah weekend lagi, ya? Kok sepertinya ada aturan nggak tertulis kalau aku selalu nge-post di akhir minggu? Hihihi... Well, sebenarnya sih ini bukan disengaja, apalagi direncanakan. Tapi kebetulan saja waktuku selalu lebih senggang di akhir minggu. Sudah 2 minggu ini aku menjadi guru pendamping di playgroup dan 3 kali seminggu aku kuliah dari siang sampai sore. Setiap weekend pasti kuusahakan untuk memanfaatkannya dengan hal-hal fun. Nah, seperti hari sabtu tanggal 7 April kemarin, aku menghadiri reuni kecil-kecilan Paduan Suara Lisma! :)

Ide reuni ini datang dari Nisa, salah satu anggota paduan suara yang sangat loyal. Sama sepertiku, Nisa menjadi anggota sejak tahun 2005 sampai 2010 dan hanya lulus kuliah lah yang membuatnya berhenti bergabung dengan Lisma. Waktu 5 tahun kebersamaan membuat Nisa dan aku sangat akrab dengan anggota paduan suara yang lain, meskipun kebanyakan dari mereka datang dan pergi. Iya, paduan suara Lisma memang menerima anggota 'kontrak' alias anggota yang hanya bernyanyi ketika ada event dan boleh pergi sesuka hati jika event selesai. Syaratnya hanya dua: bersedia mengikuti latihan sebelum hari H dan nggak tahu nada. Jadi, meskipun total anggota paduan suara Lisma sangat banyak, anggota tetap yang selalu ada dalam setiap event dan lomba hanya itu-itu saja. Mungkin hanya 25 orang, itu sudah termasuk Nisa dan aku.

Waktu aku mencoba menghubungi mantan anggota paduan suara, ternyata hanya sedikit yang nomor ponselnya tetap. Singkat cerita, hanya 5 orang yang bisa datang (sudah termasuk aku dan Nisa). Ditambah Kak Immanuel, mantan pelatih kami, totalnya jadi 6 orang. Agak kecewa sebenarnya, tapi mengingat aku sudah 2 tahun nggak bertemu mereka, pertemuan ini pasti akan sangat menyenangkan meskipun hanya sedikit yang bisa hadir :)

Aku diantar adik ke Pizza Hut, BIP, tempat di mana aku dan teman-teman ex paduan suara Lisma bertemu. Aku terlambat 30 menit karena terjebak macet, dan waktu aku sampai sudah ada Nisa, Tessa, Septi dan Kak Immanuel di meja paling pojok. Rasanya gembira sekali melihat mereka, dan... sedikit ajaib, karena biasanya, dulu, kami hanya bertemu waktu latihan. Apalagi dengan Kak Immanuel yang super sibuk, seperti mimpi rasanya bisa duduk santai satu meja dengannya, hihihi.
Belum satu menit aku duduk, mereka sudah sibuk melontarkan komentar. Nisa bilang, "Kamu makin chubby sekarang, bagus". Kak Immanuel bilang, "Masih bule saja kamu. Nggak bosan?", dan sebagainya dan selanjutnya. Aku juga ingin mengomentari mereka sebenarnya, tapi entah kenapa, I was too stunned to see them again (apalagi ternyata ada Dian menyusul satu jam setelah aku datang). Yang keluar dari mulutku malah pertanyaan-pertanyaan penasaran seperti, "Pada tinggal di mana sekarang?", "Ada yang masih aktif nyanyi nggak?", "Anggota lain apa kabar?", dan seterusnya sampai mereka pusing :p

Meski pusing ternyata mereka tetap menjawab. Nisa sekarang bekerja di kantor lising Sumedang, Tessa menjadi guru SMP di Sukabumi, Dian menjadi guru tutor bahasa Inggris untuk orang Korea, sedangkan Septi baru saja diterima bekerja di tempat yang nggak terlalu jauh dari tempat tinggalku. Dan Kak Immanuel, dia lah yang mempunyai pekerjaan paling menarik sekarang. Well, mungkin bukan pekerjaannya yang menarik, tapi caranya bekerja. Dia menjadi guru sekarang, di sebuah SMP yang terletak di ujung kota Subang. Mendengar nama tempatnya saja aku sudah bisa membayangkan betapa berbedanya dengan keadaan di sini. Di sana susah sekali akses internet, untuk menuju 'kota' harus pakai ojek selama beberapa jam dan sinyal telepon masih belum bagus. Ditambah lagi menurut Kak Immanuel di sekolah tempatnya mengajar, setiap semester pasti ada saja siswinya yang keluar karena hamil. Wah...


Tessa and me :)

Tessa yang gak pernah nolak kalau kuajak nonton film musikal :p

Septi, Indi, Nisa, Kak Immanuel, Dian.

Senang bisa bertemu lagi dengan mereka :D


Tapi mendengar cerita Kak Immanuel membuatku dan teman-teman mencoba mengerti mengapa dia kerasan tinggal di sana. Menurutnya, pada awalnya memang sulit sekali untuk merasa nyaman, apalagi dia harus meninggalkan keluarganya di Bandung. Mama dan tunangannya terutama. Tapi setelah melihat keadaan sekolahnya, Kak Immanuel merasa bahwa anak-anak di sana sangat membutuhkannya. Bayangkan saja, di sana ada siklus berulang yang sudah terjadi sejak sangat-sangat-sangat lama. Rata-rata setelah lulus SMP mereka menikah karena hamil duluan dan kemudian bercerai di usia muda. Pendidikan menjadi bukan prioritas sehingga pekerjaan yang mereka dapatkanpun nggak pernah berkembang dari masa ke masa. Alumni sekolah yang berhasil lulus SMA dan melanjutkan ke jenjang kuliah pun bisa dihitung dengan jari. Itu pun mereka nggak pernah kembali lagi ke Subang dan menetap di Bandung atau kota besar lainnya. Anak-anak di sana menjadi miskin role model... 

Kak Immanuel bertekad mengubah keadaan itu, dia mulai berbicara pada guru-guru lain tentang situasi yang terjadi. Sayangnya guru-guru di sana sudah terlanjur 'malas', katanya sejak dulu memang keadaan sudah begitu, sudah diusakan berubah juga, tapi nggak ada hasilnya. Kak Immanuel yang jabatannya sebagai guru seni musik, bukan guru bimbingan konseling pun akhirnya memutuskan untuk bekerja 'di luar kewajibannya'. Mulai mengarahkan anak-anak ke jalur yang lebih positif (lewat musik tentunya), berbicara pada mereka secara pribadi sampai dengan berusaha mendatangkan role model yang diharapkan bisa membuat anak-anak lebih semangat. Usaha Kak Immanuel nggak berjalan mulus, anak-anak memang respect padanya, tapi hanya ketika di kelas. Di luar itu mereka tetap dengan 'tradisi' turun temurunnya. Kak Immanuel nggak kehilangan akal, dia meminta kepala sekolah untuk membelikan gitar dan biola agar anak-anak membentuk tim orkestra. Too bad, nggak ada seorang pun yang mendaftar :(
Aku mengenal Kak Immanuel cukup baik, 5 hampir 6 tahun aku menjadi muridnya. Aku tahu dia pantang menyerah. Tapi mendengar bahwa dia batal menikah karena dia mengharapkan pasangan yang mau ikut dengannya ke Subang benar-benar membuatku mengaguminya 100 kali lipat lebih banyak dari sebelumnya.


Aku jadi ingat pertama kali aku mengenal Kak Immanuel. Waktu itu aku adalah mahasiswa baru yang masih bingung dengan kegiatan ekstra yang mau kuikuti. Secara random aku memilih teater, fotografi dan paduan suara. Aku mengikuti ketiga kegiatan itu bersamaan, dengan rasa suka yang sama dan ketertarikan untuk belajar yang sama. Lalu suatu hari, beberapa minggu setelah aku mengikuti paduan suara, ada kabar bahwa pelatih yang selama ini mengajar digantikan oleh seorang pelatih baru. Masih muda dan penuh semangat, namanya Kak Immanuel. Entah kenapa aku memilih untuk meninggalkan teater dan fotografi lalu berkonsentrasi di paduan suara. Padahal dibandingkan dengan 2 kegiatan ekstra yang kutinggalkan, paduan suara adalah yang paling sedikit prestasinya. Satu-satunya undangan rutin hanya untuk mengisi acara wisuda atau acara kampus lainnya. Sedangkan untuk lomba, entah berapa belas tahun yang lalu paduan suara Lisma ini terakhir mengikuti lomba.


 
Seragam paduan suara kami, dasinya warna biru muda :D

Foto studio dengan kaos Lisma Choir yang masih kupakai sampai sekarang :D

Khusus acara wisuda seragam kami menjadi putih-hitam.









Aku heran melihat Kak Immanuel, dia begitu semangat untuk mengubah paduan suara yang, well, jujur saja... hancur ini. Dia selalu datang lebih awal dibandingkan murid-muridnya dan menyiapkan semuanya dengan serius. Partitur, keyboard, bahkan dia mengajari kami membaca not balok! Iya, terkadang dia meminjam kelas yang sudah selesai dipakai dan mengajari kami di sana, seolah di sekolah musik. Lambat laun usaha Kak Immanuel ada hasilnya. Dengan pelatih yang sebelumnya paduan suara Lisma hanya memiliki dua suara, tapi dengannya kami memiliki 4 suara: sopran, alto, bass dan tenor. Kami juga mulai digabungkan dengan orkestra lengkap, bukan hanya piano atau keyboard. Lalu hal yang nggak diduga pun datang, Kak Immanuel menawarkan agar paduan suara Lisma mengisi sebuah event (aku lupa nama event-nya apa). Itu adalah yang pertama buat kami, tapi Kak Immanuel menyemangati kami dan menyakinkan bahwa kami sudah siap tampil. Benar saja, sejak saat itu tawaran untuk mengisi event banyak berdatangan. Dalam satu bulan paduan suara Lisma bisa diundang ke beberapa acara sekaligus. Kami bahkan mendapatkan 'uang saku' yang benar-benar sangat lumayan secara rutin, hehehe ;)
Kegiatan ekstra yang tadinya kurang diperhatikan pun mendadak jadi sorotan. Banyak yang ingin menjadi anggota 'kontrak' karena tergiur dengan uang sakunya, dan ada pula yang ingin karena tergiur dengan tempat-tempat yang didatangi ketika mengisi event. Semuanya Kak Immanuel terima dengan senang hati.

Kak Immanuel itu orangnya galak. Eh, atau tegas ya? Hehehe... Dia nggak ragu untuk memarahi muridnya kalau memang dia bersalah. Kalau sudah marah, wah seram banget :( Syukurlah aku belum pernah dimarahi (hmm, pernah sih satu kali, tapi itu karena salah pengertian, lol). Berkat ketegasannya paduan suara Lisma akhirnya mencicipi bagaimana rasanya lomba, masuk TV, malah sampai merencanakan konser yang sayangnya harus batal karena beberapa kendala termasuk karena anggota tetapnya sudah banyak yang lulus kuliah dan mulai bekerja di tempat lain (termasuk aku). Kak Immanuel juga akhirnya mengundurkan diri karena memilih menjadi guru di Subang, dan paduan suara Lisma dikenang sebagai paduan suara yang bagus dan dispilin (ya, sekarang masih ada sih, tapi terakhir kudengar kualitasnya menurun tanpa Kak Immanuel).

Kembali lagi ke cerita Kak Immanuel di reuni kecil kami, aku penasaran kenapa dia memilih Subang bukannya Bandung yang lebih nyaman. Sebagai teman dari Nisa yang dulu pernah menjabat sebagai ketua koordinator, aku tahu betul berapa honor yang Kak Immanuel terima sebagai pelatih. Jumlahnya besar, lebih besar dibandingkan dengan gajinya sebagai guru di Subang. Dan tahukah apa jawaban Kak Immanuel? Katanya, "Mereka lebih butuh saya daripada anak-anak di sini. Kalau saya tinggalkan mereka kasihan. Ada saya saja masih susah teratur, apalagi kalau nggak ada...".
Aku terseyum. Aku rasa nggak ada alasan aku khawatir dengan keadaan Kak Immanuel di sana. Kalau 7 tahun yang lalu saja dia berhasil mengubah paduan suara super kacau menjadi paduan bersuara berprestasi, kenapa aku mesti nggak percaya kalau Kak Immanuel bisa mengubah anak-anak SMP itu untuk lebih teratur?
I know you can do it, Kak Immanuel. Yakin ;)


do re mi,
Indi




____________________________

Indi mengikuti giveaway 'Eksis dengan Batik' di sini :)


Diedit: 4/3/2024. Kak Immanuel sekarang sudah berkeluarga dan kembali ke Bandung. Usahanya membuahkan hasil, aku melihat video-video paduan suara anak didiknya di Subang yang mengikuti banyak lomba dan event :) Aku, Kak Immanuel dan Tessa masih berteman, kami berencana untuk bertemu kembali.

_________________________________________
Contact Me? HERE and HERE. Sponsorship? HERE.

Minggu, 25 Maret 2012

Pemenang :)



Hi bloggies! Apa kabar? Notice sesuatu yang beda dengan blogku? :D Yup, header dan background-nya berubah! :D Aku baru saja dapat surprise dari Mbak Elsa yang dengan baik hatinya me-make over blogku jadi lebih pinkiest, sesuai dengan warna kesukaanku. Terima kasih ya Mbak Elsa... I love it, love it, love it SO MUCH-O! :D

Seperti yang sempat aku ceritakan, belakangan ini kegiatanku lebih padat daripada biasanya. Banyak hal baru yang aku alami, salah satu, eh salah dua-nya adalah menjadi MC dan dancer di event Tadika Puri. It's kinda surprising, soalnya selama ini aku memang beberapa kali diundang menjadi narasumber/bintang tamu dalam suatu acara, tapi bukan untuk menjadi MC. Jadi ini benar-benar hal baru buatku. Begitu juga dengan menari. Waktu TK aku memang pernah menari, tapi setelah dewasa aku jadi 'agak anti' untuk melakukannya. Mungkin karena scoliosis bikin tubuhku jadi agak kaku, hihihi (ini cuma mungkin, lho, lol).
Meski mulanya ragu, setelah dibicarakan dengan orangtua, aku jadi yakin untuk menerima tawaran ini. Seperti semua hal di dunia ini, selalu ada yang menjadi pertama kali, begitu juga menjadi MC dan menari, jadi kenapa nggak dicoba? :)

Latihan pun dimulai. Aku cukup sering berbicara di depan umum, tapi menjadi narasumber sangat jauh berbeda dengan menjadi MC. Kalau biasanya aku cukup menjawab pertanyaan dan mengikuti alur acara, kali ini justru aku yang memimpin acara dan harus cekatan ketika acara berlangsung. Sebagai bahan latihan aku dan Puspa (partnerku sebagai MC nanti) datang ke acara seminar dan mencuri diam-diam trik Ivy Batuta ketika menjadi MC. Sampai-sampai kami nggak begitu konsentrasi dengan isi seminarnya, lho, saking semangatnya mencuri ilmu, hihihi... Oh, ya, kalau Puspa sih sudah memiliki pengalaman, dia memang murid dari sekolah broadcast. Berbeda denganku yang mengandalkan naluri alam dan 'bakat' sebagai 'real fast talker', hihihi (meminjam istilah Aerosmith) :p

Soal menari, sebenarnya nggak begitu cocok untuk disebut job, karena aku membentuk grup dengan 4 orang lainnya dan memang wajib, karena di event yang sama akan diadakan lomba dance untuk calon guru (yup, nggak bosan-bosan aku bilang kalau aku itu calon guru, wooo-hooo! :D ). I'm the tallest one, dan itu membuatku merasa agak kikuk. Aku memang sengaja ditempatkan di barisan belakang supaya nggak menghalangi yang lain, tapi tetap saja kok aku merasa paling kelihatan ya? Huhuhu... Apalagi waktu latihan yang memang sempit itu nggak bisa aku manfaatkan dengan maksimal karena hampir selalu terlambat setiap waktu latihan. Selain karena rumahku jauh, sebelum latihan aku masih ada pekerjaan lainnya, jadi terpaksa harus bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya dengan cepat. Fiuh...
Tapi aku nggak mau mengacau, apalagi sampai menghambat grup dance yang diberi nama BDG 43 ini (plesetan dari JKT 48, lol, lol, lol). Jadi di saat yang lain beristirahat aku berlatih sendirian, malah aku merekam gerakan-gerakannya di HP supaya sebelum tidur aku bisa berlatih dulu, syukur-syukur kalau bisa terbawa mimpi jadi bisa makin mahir, hihihi...
Aku juga diberi kepercayaan untuk mengatur kostumnya, lho. Maunya sih desain sendiri, tapi so little time so much to do, jadi aku beli yang sudah jadi saja. Blouse warna-warni murah-meriah, stocking dan rok jeans. Tadinya sih aku minta mereka pakai rok tartan, tapi karena mereka lebih nyaman pakai jeans, ya sudah aku mengalah. Dan rok tartannya aku pakai untuk waktu jadi MC saja :)



22 Maret 2012, McDonald Bandung Indah Plaza (BIP Mall).

Dan akhirnya, it's a show time... Gue bangun pagi-pagi sekali, sekitar jam 5 subuh. Padahal malamnya aku dan Puspa harus gladiresik dulu sampai larut malam dan dilanjutkan packing untuk persiapan acara (karena harus menari, aku dan Puspa membawa baju dan sepatu ganti). Kalau dihitung-hitung sepertinya aku cuma tidur 2,5 jam saja. Yang dilakukan pertama tentu saja sarapan, lalu quick shower dan menata rambut. Nah, inilah yang memakan waktu cukup lama, berhubung rambutku pendek jadi harus diakali supaya terlihat dicepol, hihihi. Stylish-nya, Mbak Ani memang jago banget. Aku nggak pakai rambut tambahan, lho, tapi cuma diikat dua dan ditutupi harnet supaya berkesan full, hihihi...


Aku dan Puspa di atas panggung, hihihi :)


Acara dimulai jam 9 pagi. Rasanya nggak menyangka banget waktu panitia memintaku dan Puspa untuk naik ke atas panggung padahal belum 5 menit aku sampai di tempat. Tapi syukurlah, entah kenapa rasa deg-deg-annya cuma berlangsung selama beberapa detik. Setelah melihat senyuman anak-anak dan audience tubuhku jadi relax. Kehadiran Mr. Nanang, MC tambahan sekaligus juru musik juga membantu. Di saat akukebingungan beliau pasti membantu mencairkan suasana, hihihi...
Meniru gaya Ivy Batuta ketika seminar, aku berinteraksi dengan anak-anak dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan sederhana pada mereka, seperti, "Sudah makan belum?", "Diantar siapa?" atau "Senang tidak bersekolah di TK?". Thank God it works, anak-anak semangat sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, malah mereka nggak malu-malu untuk naik ke atas panggung dan bernyanyi sambil menunggu acara lomba dimulai :D

Karena lomba diikuti oleh seluruh cabang Tadika Puri Bandung, jadi pesertanya lumayan banyak. Dari mulai playgroup, TK A dan TK B masing-masing memberikan puluhan wakil untuk lomba menari, membaca poem dan choir. Wah, mulutku dan Puspa sampai kering menyebutkan nama mereka satu persatu, hihihi. Kami cuma bisa beristirahat waktu ada peserta yang naik ke atas panggung, dan itu cuma sebentar sekali. Maklum, karena masih TK durasi menari, poem dan bernyanyi-nya di bawah 5 menit semua. Malah untuk tingkat playgroup seringnya cuma beberapa detik karena mereka keburu menangis atau bosan. Kalau sudah begitu tugas kami sebagai MC-pun merangkap menjadi 'pawang' untuk menenangkan mereka, hihihi. Bekerja dengan anak-anak memang butuh kesabaran super. I love children for sure ---karena itulah aku menjadi guru TK---, tapi menghadapi anak yang tiba-tiba lompat ke punggungku untuk minta digendong? Itu lain cerita, hahaha. Ada satu orang anak laki-laki yang sepertinya gemas terus setiap bertemu aku, maunya bermanja-manja terus. Malah dia mengikutiku ke WC dan (lagi-lagi) minta digendong di punggung :'D
Soal nama panggilan untukku anak-anak manis ini sering lupa, seharusnya aku dipanggil 'Miss Indi', karena guru di sini dipanggil dengan sebutan 'Miss' dan 'Mister'. Tapi mereka malah memanggilku 'Kakak', hahaha. Aduh, aduh, salah-salah malah aku yang dituduh mengajari mereka :p

"Ayo, siapa yang mau bernyanyi di atas panggung sama Miss Indi?" :p
 
Cutest girl on earth! Gemas banget lihat pipi tembam dan boneka bebek di kepalanya, hihihi :D


Bernyanyi :)


Menjelang siang udara semakin panas. Tenggorokanku semakin terasa kering dan kakiku benar-benar pegal. Sempat dag-dig-dug juga sih, takutnya fisikku sudah nggak fit lagi untuk lomba dance di waktu sore. Apalagi sekilas aku melihat teman-teman satu kelompok dance ku sedang makan dilanjutkan dengan berdandan. Wah bisa-bisa aku paling lemas dan dekil sendiri, deh, hehehe. Tapi energiku tiba-tiba pulih waktu Puspa menyenggol lenganku dan berbisik, "Itu ada ibu kamu datang". Aku sampai terharu dan refleks melambaikan tangan pada Ibu yang berada di tengah kerumunan penonton. Ibu itu memang sangat suportif, tapi beliau jarang sekali datang ke acara-acaraku. Seringnya Bapak, yang setia menemani dan mengabadikan setiap moment dalam bentuk foto. Berhubung Bapak sedang bekerja di luar kota aku khawatir sekali nggak ada yang menonton, apalagi Ibu sempat minta maaf kalau lagi-lagi nggak bisa menonton. Katanya beliau sedang menunggu tamu di butiknya. Tapi entah bagaimana ceritanya, tepat jam 2 siang Ibu datang! :D Wah, cepat-cepat saja begitu ada kesempatan aku menghampiri Ibu dan meminta doa agar semuanya lancar. Senang rasanya melihat tatapan bangga Ibu, beliau nggak berhenti tersenyum melihatku cuap-cuap di panggung sebagai MC amatir :'D

Dan, akhirnya waktu lomba menari untuk calon guru TK pun tiba. Kelompokku dan Puspa mendapatkan nomor urut akhir, yang artinya memberiku kesempatan untuk berganti kostum dulu. Dengan terburu-buru aku mengganti stocking di toilet sedangkan Puspa dengan hebatnya berganti kostum di balik meja, benar-benar seperti Houdini, hehehe. Kelamaan di atas panggung membuat konsentrasiku nyaris hilang, bayangkan saja, sejak jam 9 sampai jam 3 sore berdiri, tanpa makan dan cuma masuk beberapa teguk air, lalu sekarang harus menari. Langsung saja di detik-detik terakhir aku menyeret Dilla, Rini, Ice dan Nuri, teman-teman satu kelompokku untuk berlatih di toilet! Hahaha. Meski agak aneh, tapi berhasil membuat konsentrasiku kembali dan mengingat seluruh gerakannya :D Masih ada sedikit waktu sebelum giliran kami, jadi kami menonton dulu kelompok-kelompok lainnya. Semuanya bagus-bagus, rapi-rapi dan kostumnya disiapkan secara matang. Kami memang kelompok yang terakhir tahu tentang lomba menari ini, tapi itu nggak mau aku--kami--jadikan alasan untuk takut apalagi mundur dari lomba ini. Kami mungkin bukan penari yang baik, tapi kami berani mencoba :)

BDG 43 :)

Dilla, Indi, Ice, Rini, Nuri dengan kostum warna-warni pilihanku :)



Rambutku, tampak belakang, hihihi...

Sepatu dan cat kuku :D

Aku dan Dilla. Sudah pantas belum kami jadi guru? Hihihi...

Aku dan Puspa berpose dengan kostum masing-masing. Beda grup tapi tetap akur :p

TDK 43: Nunik, Henny, Dina, Mazda, Puspa :)

Kolompok Puspa, TDK 43 tampil duluan, setelah itu disusul kelompokku, BDG 43 yang tampil paling akhir. Ada sedikit kesalahan dari panitia, musik sudah berjalan di saat aku masih memperkenalkan diri. Hasilnya suaraku jadi tenggelam dan harus cepat-cepat mengambil posisi karena musik nggak bisa dihentikan lagi. Syukurlah kami nggak keteteran dan relatif kompak, karena meski dibanding kelompok lain gerakan-gerakan kami sangat sangat sangat sederhana, tapi tubuh kami memang nggak begitu luwes. Gerakan kami akhiri dengan posing dan memberi hormat. Rasanya sangat puas karena berhasil mengalahkan perasaan takut dan berani mengambil pengalaman baru. Di bawah panggung Ibu sudah menyambut dengan senyuman campur tawa, katanya aku tadi hampir seperti penari sesungguhnya meski baru pertama kali. Aku dan teman-teman pun langsung tertawa konyol saking leganya :D






Jam 5 sore pemenang lomba menari antar calon guru TK pun diumumkan. Aku dan teman-teman saling berpegangan tangan ketika panitia membacakan nama-nama grup yang menang. Juara harapan 3, bukan kami yang menang. Harapan 2 dan 1, bukan kami yang menang. Juara 3 bukan kami yang menang. Juara 2 bukan kami yang menang. Dan juara 1.... bukan kami yang menang :)
Aku melihat wajah-wajah kecewa teman-temanku. BDG 43 dan TDK 43 sama-sama kalah. Tapi beberapa detik kemudian mereka mulai terseyum dan memutuskan untuk tetap merayakan keberhasilan karena berhasil mengalahkan rasa takut dan berani mencoba. Dengan tulus kami memberi selamat pada kelompok-kelompok yang menang dan langsung menuju studio foto untuk berfoto bersama dengan perasaan bangga.
Mungkin kami nggak membawa pulang piala dan panitia nggak menyebutkan nama kelompok kami, tapi kami tetap pemenang untuk diri kami sendiri. Ini baru yang pertama kali, dan setelah ini aku yakin akan datang kesempatan-kesempatan lain. Untuk kali ini piala yang kami bawa pulang adalah berbentuk pengalaman, dan untuk selanjutnya siapa yang tahu? Karena perpaduan dari keinginan keras, usaha dan doa sering kali menghasilkan hal nggak terduga! ;D




"Jika kamu suka menari, menarilah meskipun tidak bagus. Karena ketika kamu menari, kamu sudah menjadi seorang penari".
(Mika bilang, diambil dari novel 'Karena Cinta Itu Sempurna').


smile, smile, smile :)

Indi


------------------------------------------------------------------
Contact Me? HERE and HERE. Sponsorship? HERE.