Halo! Indi di sini! Penulis dari "Waktu Aku sama Mika", "Karena Cinta itu Sempurna", "Guruku Berbulu dan Berekor", "Conversation for Preschoolers" dan Indi nyata dari Film Mika. Welcome to "DUNIA KECIL INDI"! Salam kenal :)
Yaaah kacau lagi nih jadwal update blognya, hahaha. Bagi yang rajin mampir ke sini (---memang ada? Lol) mungkin sudah tahu kalau belakangan hidupku berubah, ---makin seru dan penuh warna karena sudah menikah dan pindah ke rumah baru (---baru anniversary juga! Tapi ceritanya kapan-kapan, ya). Buatku ini adalah berkah, kebahagiaan yang bahkan lebih dari yang bisa aku impikan dulu. Jadi itulah kenapa aku nggak mau pakai "menikah dan pindahan" sebagai excuse jarang update blog. Banyak keribetan yang terjadi belakangan, cuma memang dasar akunya saja yang kurang pandai bagi waktu (dan malas, haha) :D
Bulan Oktober baru saja berlalu. Masih tetap sama, Oktober adalah bulan favoritku. Selain karena Bapak dan Adik berulang tahun di bulan itu, Halloween yang selalu menjadi my favorite holiday (padahal di Indonesia nggak libur ya, lok) juga ada di bulan yang sama. Apalagi akhir Oktober sudah masuk musim hujan, Bandung yang belakangan terik jadi adem dan cocok buat dipakai nonton marathon film horor, hihihi (---Kalau gerah-gerah mah bukannya seram, malah haus atuh). Biasanya setiap Halloween aku dibuatkan kostum oleh Ibu dan kumpul-kumpul gitu di rumah. Karena prinsip kami sih, Halloween itu hanya namanya yang dipinjam. Halloween kami ya nggak ada hubungannya dengan yang di Eropa, pure hanya waktu untuk berkreasi (tanpa bermaksud disrespectful, ---aku selalu menghormati perbedaan dan budaya orang lain). Tapi tahun ini berbeda, tanpa kostum dan hanya dihabiskan berdua saja bareng suami, hiks. Awalnya aku memang merasa ada sesuatu yang missing. Tapi akhirnya aku sadar kalau kesederhanaan bisa juga fun, apalagi kalau dilakukan dengan seseorang yang disayang.
Bukan tanpa alasan sih kenapa Halloween kali ini "harus" beda. Pertama, baju-bajuku sebagian besar masih di rumah orangtua. Jadi rencana buat mix and match pun batal. Padahal jaraknya nggak jauh, cuma karena aku sakit jadi aku dan Shane nggak bisa ke mana-mana. Nggak cuma kostum, rencana ke rumah hantu pun batal dan malah jadi jalan-jalan ke klinik dokter, hahaha. Perasaanku waktu itu campur aduk, antara kesyel tapi pasrah. Sampai-sampai aku sempat bilang sama Shane untuk skip Halloween saja, hahaha. Entah datang dari mana, tiba-tiba saja sepulang dari dokter kami putuskan untuk membeli labu. ---Eh, jangan kira ke pumpkin patch ya, kami belinya di supermarket! Kami pikir, mengukir labu saja deh buat dekorasi, lalu nanti isinya bisa kami makan. Apalagi sebagai suami istri ini bakal jadi pumpkin carving kami yang pertama. Sayang, di supermarket nggak banyak pilihan. Hanya ada labu-labu kecil dan labu parang yang biasa dibikin kolak, hahaha. Setelah dipertimbangkan, akhirnya pilihan jatuh ke dua buah labu kabocha yang imut-imut. Aku pikir warnanya cantik dan rasanya juga enak. Shane setuju, tentu saja karena dia penggemar kuaci :D
Dua labu yang kami beli. Mungil-mungil lucu ya, hehehe.
Begitu sampai di rumah kami langsung berganti baju dengan piyama dan bersiap mengukir Tony dan Judy (---bhahahaha dikasih nama, dong!). Aku lumayan agak Halloween vibes sih piyamanya soalnya bergambar pumpkin. Sebenarnya kembaran sama Shane, tapi punya dia sudah dipakai beberapa hari sebelumnya. Oh iya, soal kaos-kaos ini sudah kami beli sejak bulan September lalu. Somehow kami kaya sudah tahu ya nggak bakal punya kostum sampai sudah siapin rencana cadangan segala, hahaha. Padahal sebelumnya kami sempat ngobrol soal kostum apa yang bakal dipakai, lho. Balik lagi ke soal pumpkin carving, awalnya aku sempat khawatir mengukir labu itu bikin messy. Tapi setelah Shane yakinkan aku setuju untuk melakukannya di atas meja makan (yang merangkap meja dapur, lol). Dan ternyata memang betul sih nggak berantakan, mungkin karena labunya kecil-kecil dan isinya juga sedikit.
Kaos-kaos bertema Halloween yang kami beli sejak bulan September.
Beberapa sudut di rumah yang diberi dekor Halloween/Fall :)
Kami mulai dengan membuat pola di labu. Nggak yang ribet-ribet, karena aku nggak bakat. Bahkan setelah nyontek pun aku tetap salah sampai harus diulang lagi, hahaha. Mana pakai pulpen pula jadi nggak bisa dihapus dan terpaksa aku gambar pola lagi di sisi lain labu (---dasar si aku...). Setelah itu Shane potong bagian atas labu untuk mengeluarkan isinya. Kata orang-orang sih bagusnya langsung diraup pakai tangan, kalau nggak jadi nggak terasa Halloweennya. Tapi kami mah pengecualian, pakai sendok! Soalnya mau gimana lagi, labunya kecil jadi cuma tangan bayi yang muat masuk sana :p Yang paling seru tentu bagian mengukirnya. Kami pakai alat-alat seadanya; pisau dapur, sumpit sama paku. Iya, paku. Karena aku punya suami terlalu kreatif sampai-sampai paku dipakai buat tusuk "kepala" labu biar tambah seram, hahaha. Waktu sampai jadi nggak terasa, dan seluruh penjuru rumah jadi beraroma labu. Enak sekali, ---lebih enak dari aroma lilin aroma therapy :)
Proses mengukir labu. Seruuuu, sampai ketawa-ketawa terus :D
Sudah selesai! Tebak punya Shane yang mana? :D
For sure kami tetap sangat menghormati asal-usulnya. Sama seperti di Indonesia, di Amerika tempat kelahiran Shane Halloween juga dirayakan sebagai hari yang fun dan identik dengan pesta kostum yang nggak melulu harus seram. Jadi kurang-lebih prinsip kami (dan keluarga) soal Halloween sama. Tapi tentu suasana di sini dan di sana sangat berbeda. Nggak ada musim gugur, dikasih hujan juga sudah alhamdulillah, hehehe. Sudah dua kali aku dan Shane ber-Halloween bersama dan nggak pernah sekalipun dia bilang rindu suasana di sana. Aku bersyukur, tandanya dia betah di sini. Dan aku mengerti sih, di mana pun kita tinggal kadang nggak masalah. Yang bikin homesick itu kalau apa yang sudah jadi kebiasaan di tempat asal nggak ada. Setuju? :)
Setelah selesai dua labu masterpiece kami dipajang di meja makan. Tadinya mau di balkon, tapi karena Bandung anginnya sedang kencang kami jadi khawatir kalau sampai terbawa angin :D Nggak lupa kami sangrai biji-biji labunya untuk dijadikan kuaci. Rasanya enak, agak manis dan gurih karena kami tambah garam.
Jiwa-jiwa bocah kami memang masih kuat sih, sampai-sampai itu duo labu dilihat-lihat melulu, difoto dan dipuji-puji terus (---Shane ya bukan aku, wkwk). Ibu yang aku kirimi fotonya pun ikut memuji, katanya kami pintar dan langsung mengajak video call supaya bisa melihat "langsung". Hahaha, bahagianya punya ibu yang mendukung jiwa bocah kami (peluk Ibuuuuuu). Dan ternyata beliau juga tunjukan fotonya ke Ali, keponakanku yang usianya 3 tahun. Setiap tahun, sejak dia lahir Ali selalu ikut Halloween dengan kami (---aku dan keluarga, sebelum menikah). Begitu tahu kalau aku mengukir labu tanpanya dia langsung merasa ditinggalkan :( Akhirnya aku dan Shane putuskan untuk mengundang Ali ke rumah satu hari setelah Halloween. Ali cute sekali dengan kostum Mr. Bean nya. Dia juga happyyyyy sekali waktu melihat labu-labu kami, bahkan salah satunya (si Judy, lol) minta dibawa pulang.
Pumpkin seeds, yummmmmm.
Ali jadi Mr. Bean, cocok nggak? Hehehe.
Bahagia banget dia ketemu labu-labu ini. Tahun depan kita ukir bareng ya, sayang :)
Begitulah cerita Halloween kami tahun ini, sederhana, tanpa kostum, tanpa Ibu-Bapak dan tanpa kue lumpur yang sudah jadi "tradisi". Tapi kebahagiaanku tetap terasa full tanpa merasa kekurangan apapun. Ditambah melihat kebahagiaan Shane dan Ali yang priceless, rasanya aku nggak mau tukar dengan apa-apa lagi, ---bahkan dengan keriangan komplek sebelah yang melakukan trick or treatin’ semalaman. Halloween selalu istimewa untukku, dan setelah menikah rasanya menjadi lebih istimewa lagi. Mungkin karena ini... salah satu alasan yang juga membuat Shane nggak rindu dengan kampung halamannya :)
Jadi bagaimana Halloween kalian, teman-teman? Semoga menyenangkan ya. Dan untuk yang nggak suka dengan Halloween, it's okay, itu hak kalian (let's respect each other), semoga Oktober kalian menyenangkan ya. Selamat memasuki bulan November! See you di tulisanku yang berikutnya :)
Happy Halloween dari kami! :)
Video keseruan Halloween kami ada di YouTube ya, teman-teman! :)
Ah, akhirnya bisa kembali menyentuh laptop... Belakangan jangankan laptop, buat pakai lipbalm saja kadang aku lupa, hahaha. Aku dan Shane sudah resmi moving out, teman-teman! Akhirnya! :) Sekarang aku excited sekali untuk cerita gimana seru (dan ribetnya) waktu kami pindahan. Dari mulai drama status Shane yang WNA sampai susahnya say good bye sama baju-bajuku yang jumlahnya 3 lemari (---maksa mau dibawa semua, wkwk). Tulisan ini bukan tips n tricks pindahan lho, ya. Ini murni pengalamanku (dan Shane) sebagai newlywed muda yang mengurusi apa-apa berdua saja. Kalau bermanfaat ya syukur, tapi kalau nggak... makasih lho sudah dibaca :p
Kami menyiapkan tempat tinggal di usia 6 bulan pernikahan. Nggak ada perencanaan khusus tentang "rumah idaman", semuanya mengalir begitu saja. Karena aku dan Shane dari sejak pacaran pun bukan tipe yang banyak teori kapan harus ini-itu. Kalau kami siap ya ayok, kalau belum ya nggak usah memaksakan. Yang terpenting kenyamanan kami, karena yang menikah juga kan kami, hehehe. Jadi kalau ada yang bilang kok kami menunggu 6 bulan baru punya rumah ya cuek. Juga, kalau ada yang bilang kami terkesan terburu-buru pun cuek. Karena yang tahu kapan timing tepat ya kami. ---Apa yang pas buat pasangan lain belum tentu cocok buatku dan Shane, begitu juga sebaliknya. Aku sangat dekat dengan Ibu dan Bapak, hampir semua hal kami bicarakan. Tapi untuk soal rumah beliau-beliau ini nggak pernah turut campur. Mau lokasinya di mana, seperti apa, mereka menyerahkan sepenuhnya sama aku dan suami. Jadi waktu aku menyodorkan brosur apartemen sepulang kerja pada Ibu, beliau langsung bertanya kapan bisa melihat-lihat ke sana bersama Bapak.
Pulang Kerja "dapat" Rumah
Seperti biasa aku dan Shane pulang kerja bersama-sama. Di perjalanan, iseng, aku menunjuk gedung apartemen yang letaknya berlawanan dengan arah pulang. Aku bilang,
"Tinggal di situ asyik kali, ya. Kerja nggak takut kesiangan lagi, tinggal ngesot."
Respon Shane ternyata di luar dugaan, dia langsung bertanya apa aku ingin melihat-lihat dalamnya. Waktu itu aku pikir boleh juga buat iseng, asal jangan lama-lama saja karena belum makan siang, hehe.
Entah kenapa setelah di dalam gedung kami langsung betah. Yang tadinya sekedar melihat-lihat jadi bicara panjang lebar dengan pihak marketingnya. ---Yang tadinya hanya minta brosur jadi janjian bertemu untuk berbicara lebih lanjut. Kami lalu pamitan sambil bertukar nomor handphone.
Aku dan Shane sama-sama masih belajar menjadi orang dewasa. Kami masih belum mengerti bagaimana "cara" membeli rumah. Let alone deh rumah, untuk beli tiket pesawat sendiri saja kadang masih deg-degan... Secara kasar kami menghitung penghasilan bulanan Shane dan membaginya jadi beberapa bagian, mengira-ngira tipe manakah yang paling pas dengan kondisi keuangan *kami.
(*Meski yang digunakan adalah uang yang Shane hasilkan, tapi tetap dihitung sebagai "uang kami" karena kami sepakat setelah menikah apa yang Shane miliki adalah milikku juga).
Yang terpenting nggak memaksakan, kecil bukan masalah. Kami ingin nggak kesulitan ketika mencicilnya dan masih ada sisa untuk keperluan sehari-hari dan menabung. Setelah hitung-hitung berdua, di rumah aku langsung tanya Bapak tentang gimana proses pembelian rumah. Sebenarnya kami bisa saja langsung bertanya sama pihak marketing, tapi aku lebih percaya sama Bapak. ---Dan supaya kesannya aku nggak blank-blank amat juga sih, hehehe.
Menikah "Rasa" Single!
Mungkin karena terlalu excited, aku dan Shane lupa kalau WNA nggak boleh punya properti di sini. Pikiranku waktu itu simple banget, urusan beli rumah biar diserahkan sama suami, atas nama suami, ---sama seperti orang-orang kebanyakan. Jadi yang disiapkan ya data-data Shane saja. Tapi ternyata eh ternyata... nggak bisa! Dan entah kenapa pihak apartemennya nggak langsung bilang, padahal saat pertemuan pertama pun kami sudah bilang kalau Shane baru setahun di Indonesia dan pakai Kitas, bukan ganti kewarganegaraan. Setelah sedikit drama, akhirnya diputuskan kalau sertifikat dibuat atas namaku. Agak sebal juga sih, soalnya aku jadi berasa single. Yang ditelponin, yang ditanya-tanyain dan disuruh tanda tangan cuma aku doang. Ada sedikit perasaan nggak enak juga sama Shane meski katanya sih dia nyantai saja. Apalagi karena pernikahan beda negara jadi notaris menyarankan kami membuat surat kesepakatan yang isinya menyatakan jika ada apa-apa dengan pernikahan kami (amit-amit, ketok meja!) maka hanya aku yang berhak atas kepemilikan apartemen. TBH, ini sempat mengganggu moodku buat beberapa waktu. Tapi namanya aturan nggak mungkin juga kami langgar. Jadi aku coba fokus ke bagaimana fun nya mendekor rumah pertama kami saja supaya mood membaik.
Rumah Halloween Kami
Akhirnya 3 bulan kemudian, alias di usia 9 bulan pernikahan, kami mulai mencicil isi rumah. Apakah seru seperti yang dibayangkan? Iya! Apakah mudah? ---Well, nggak juga! :D Meski kami sudah membagi-bagi penghasilan Shane, tapi tetap saja terkadang ada pengeluaran nggak terduga. Apalagi jika kami lupa untuk menghitung hal-hal printilan yang sebenarnya penting, seperti biaya keamanan dan token, hehehe. Jadi budget untuk furnitur harus diatur ulang deh. Kami nggak punya merk favorit atau harus banget pakai style yang sedang hype. Asal modelnya kami suka dan harganya terjangkau saja. Oh iya, aku sempat ngotot membawa seluruh barang-barang dari rumah orangtua. Yang mana sangat mustahil, karena rumah kami mungil sekali, hihi. Hikmahnya aku jadi belajar untuk memilih, dan meninggalkan apa yang sudah jarang dipakai. Atau istilah kerennya downsizing. Hanya yang penting-penting saja yang dibawa. Ukulele sebagian aku tinggalkan, juga baju-bajuku. Dari 3 lemari aku hanya membawa 1 lemari. Toh, jarak ke rumah orangtua juga nggak terlalu jauh. Jadi kami sering bolak-balik, dalam satu minggu ada satu hari kami menginap di sana.
Kalau diingat lagi ke belakang, sebenarnya lucu juga. Akhir tahun 2017 lalu waktu aku dan Shane awal bersahabat, kami sering berandai-andai tentang apa yang dilakukan kalau kami punya kesempatan bertemu. Banyak hal "ajaib" yang kami khayalkan, salah satunya adalah memiliki rumah bersama dengan tema Halloween. Maunya kamar kami letaknya bersebelahan agar gampang kalau mau ngobrol, nggak perlu video call seperti di dunia nyata, hahaha. Dan rupanya sekarang menjadi nyata. Kami punya rumah bersama dengan tema Halloween. ---Sebagai suami istri, jadi kami bahkan nggak perlu tidur di kamar yang berbeda :) Oh, kami punya alasan sentimentil lho mengapa pakai tema Halloween. Kami mulai bersahabat di Halloween 2017 dan menikah di Halloween 2018. Jadi bukan sekedar alasan iseng.
Kami sangat menikmati tinggal di rumah pertama kami. Nggak banyak yang berubah seperti waktu pacaran dan tinggal di rumah orangtua sebenarnya, tugas memasak masih dipegang oleh Shane dan aku yang bertugas mengatur "mau pakai baju apa", hehe. Bedanya kami jadi belajar untuk memiliki, lebih menghargai apa yang kami punya. Aku bangga dengan Shane yang berusaha untuk pernikahan kami. Rumah kami memang sederhana, tapi itu bukan hal yang penting. Kemauan Shane untuk memperjuangkan sesuatu dan melakukan hal-hal untuk pertama kali adalah yang buatku matter! Aku juga bangga karena Shane memiliki prinsip untuk nggak termakan gengsi, hanya dapatkan apa dia tahu dia mampu.
Seperti yang kubilang sebelumnya, judulnya juga bukan tips n tricks, aku hanya bisa sharing. Jangan pernah memaksakan. Dan untuk memiliki rumah pertama itu nggak ada istilah terlalu cepat atau terlalu lambat. Yang ada hanya waktu yang tepat, karena hanya kita yang tahu kapan kita mampu :)
Sekarang sudah tengah malam, aku sedang ingin menulis yang ringan-ringan saja sambil ditemani segelas teh dingin tanpa gula yang Shane buatkan. Selain karena rindu dengan dunia kecil yang belakangan sering aku tinggalkan ini (huhu..), aku juga sedang memberi kesempatan Shane untuk menyelesaikan tantangan membuat musik selama 10 hari berturut-turutnya. Jadi aku bisa bersantai di lantai bawah, sementara suamiku berkutat dengan alat-alat musiknya :) Kami berdua belakangan punya banyak waktu senggang. Shane yang bekerja online jam kerjanya fleksible, dan aku yang Maret lalu mulai bekerja kembali di preschool juga sedang libur semester. Rutinitas kami kalau nggak selonjoran, makan, nonton film, paling ya main musik, hahaha. Baru kemarin saja kami keluar rumah seharian, itu pun karena diajak orangtua, adik dan iparku jalan-jalan.
Selama Shane tinggal di Bandung sama aku, kami jarang sekali bepergian jauh. Ya, terkecuali kalau ada yang mengantar atau memang memang nggak bisa menolak, misalnya urusan dokumen. Alasannya selain aku orangnya mageran, Shane juga nggak terbiasa dengan lalu lintas di sini yang jauh berbeda dengan Michigan. Mobil sampai tergores di beberapa tempat karena tersenggol pengendara motor. Dari sudut pandang hukum sih harus aku akui kalau Shane nggak salah, ia berkendara di jalurnya, nggak menyalip dan hanya berjalan ketika lampu hijau. Tapi sudah jadi "tradisi" buruk di sini kalau motor nyempil di antara 2 mobil saat sedang macet itu sah-sah saja, dan menyebrang di mana saja itu acceptable! Dulu waktu masih berstatus sahabat kami sering video call, jadi sedikit banyak aku hapal kondisi lalu lintas kampung halamannya yang super teratur dan damai. Aku jadi keikut stres kalau membayangkan di posisi Shane, TBH, hahaha. Apalagi waktu ibu mertuaku mampir ke sini, ekspresi "seram"nya waktu melihat angkot yang saling nyalip benar-benar nggak dibuat-buat. Yang tadinya menganggap normal ke-chaosan kota Bandung, sekarang mataku jadi terbuka. Makanya aku sekarang hanya pilih tempat yang dekat-dekat saja kalau hangout, less stress. Kemarin pun aku bilang kalau mau pakai Grab saja, tapi ternyata Bapak menawarkan diri untuk menyetir. Jadi... Oke deh, aku setuju! ;)
Pernah nggak sih merasa kalau sesuatu dianggap normal karena sudah biasa terjadi? Padahal sebenarnya kita juga tahu itu sebenarnya salah tapi helpless? Aku sama keluarga hangout di Paris Van Java alias PVJ. Sudah lamaaaa banget aku nggak ke sana, soalnya aku mah orangnya nggak terlalu tahu trend. Mall ya sama saja mall, cari yang dekat. Mana peduli kalau ada yang bilang PVJ lebih oke, hehehe. Anyway, kami naik mobil masing-masing, aku dan Shane sama Bapak, sedangkan Ibu dan keluarga adikku sudah sampai lebih dulu. Katanya mereka ada di Sky level, alias rooftop jadi kami langsung menyusul tanpa perlu mengelilingi mall nya dulu. Tempat ini kayaknya lagi hype banget, di Instagram banyak yang posting foto sedang berpose di sini. Begitu sampai aku langsung "disambut" sama ibu-ibu yang dengan cueknya membuang sisa marshmallow anaknya ke lantai. Hatiku jadi dilema antara mau negur atau pura-pura nggak lihat. Setelah sekian detik dengan suara sedikit gemetar aku beranikan untuk menegur.
"Hei!" ---kataku sambil melihat ke arah si ibu dan menunjuk marshmallow yang ia buang. Tapi bukannya malu, ia malah membalas pandanganku dengan menantang :( Waaa, males aku berurusan sama ibu-ibu. Aku langsung remas tangan Shane dan mempercepat langkah. Batinku, kenapa dia yang marah, padahal dia sudah jelas salah.
Hal "kecil" itu bikin suasana hatiku jadi kurang baik. Keluarga adikku ada di area anak, perlu jalan kaki lumayan jauh untuk ke sana. Di perjalanan rasanya kiri-kanan ada saja yang salah. Yang nyampah ternyata banyak, ada mini zoo (Lactasari Farm) yang aku nggak support sama sekali... Aku nggak mendukung eksploitasi binatang dalam bentuk apapun. Pikiran tentang binatang yang dikandangi, disentuh manusia dengan resiko stress dan over feeding karena banyaknya pengunjung bikin hati mellow. Aku nggak yakin kalau goals dari mini zoo ini untuk edukasi anak. Toh di areanya juga nggak ada keterangan yang detail tentang binatang-binatangnya. Kesannya hanya untuk hiburan dan objek foto lucu-lucuan para orangtua anak-anak saja :( Padahal kalau cuma demi foto yang instagramable nggak perlu melibatkan binatang juga sih. Kan bisa bikin tempat wisata foto dengan patung-patung lucu atau apalah. Dan biarkan binatang tetap hidup di habitatnya dan penangkaran yang kompeten. (Silakan googling "are petting zoo humane?")
Untung saja kami segera bertemu adikku. Ia menyarankan aku untuk berjalan-jalan dulu di taman bunga matahari supaya nggak bosan menunggu anak-anaknya yang masih asyik main trampoline. Jujur, sebelum ke sini aku pernah lihat foto-fotonya di Instagram dan bikin aku tergiur. Dari foto-fotonya terlihat indah dan segar sekali. Bayangkan saja, ada warna-warni taman di atas atap sementara di bawah adalah lalu lintas sibuk kota Bandung. ---Kan amazing sekali :D Untuk masuk ke area taman dikenakan biaya Rp. 10.000 per orang. Hanya aku dan Shane saja yang masuk, karena Bapak memutuskan menunggui cucu-cucunya bermain. By the way, ekspektasiku dari awal memang nggak terlalu tinggi, jadi nggak kaget pas melihat tamannya yang nggak terlalu besar. Suasananya cukup ramai, sampai aku bingung mau ngapain. Mau duduk-duduk di bangku pun segan karena orang-orang bergantian berfoto di sana, uhuhu :'D Menurutku sih tamannya cukup indah dan terawat. Tapi sayang nggak ada petugas di dalam yang mengingatkan pengunjung agar nggak terlalu "masuk" ke kerumunan bunga matahari. Kan kasihan jadi terinjak-injak. Heran deh, demi foto doang sampai harus brutal :( Akhirnya aku hanya meminta Shane mengambil beberapa foto lalu kami ke luar dari taman untuk makan. Right on time, keponakan-keponakanku ternyata sudah selesai bermain dan mereka juga lapar. Karena sudah lama nggak ke mall ini jadi aku pilih tempat makan yang masih di area roof top saja dan namanya familiar.
Berfoto seperti ini juga sudah “cantik” padahal, gak perlu masuk terlalu jauh dan menginjak bunga-bunganya :(
Bangku yang kupikir tempat buat beristirahat tapi ternyata untuk foto-foto :D
Kami makan di Sushi Tei karena di sana ada pilihan menu vegetariannya. Meski aku dan Shane vegan, tapi dengan adanya menu vegetarian pun sudah good enough kok buat kami. Tinggal request tanpa susu dan telur saja sudah bisa menyulap menu vegetarian jadi vegan :) Ajaibnya suasana hatiku langsung membaik. Bukan karena perut yang lapar sudah terisi makanan, tapi karena aku dikelilingi orang-orang yang kucintai. Kami banyak bergurau, banyak tertawa, juga banyak makan, hahaha. Aku bahagia melihat Ibu dan Bapak di usia senjanya tetap harmonis dan saling menggoda. Aku bahagia melihat keluarga adik yang berjuang dari bawah menuju kemapanan meski masih muda. ---Energi dari lunch time ini sangat positif. Hampir lupa kalau sebelumnya aku hampir menyesal untuk pergi ke luar rumah. Apalagi setelah selesai makan aku mampir ke toko buku Gramedia dan menemukan novel "Waktu Aku sama Mika" terbitan baru karyaku dipajang di rak paling atas. Rasanya aku seperti anak-anak lagi, karena dengan cerewet "pamer" kepada seluruh anggota keluarga sampai pipiku sakit! :D
Makan bersama keluarga, yay! :D
Menikmati menu vegetarian di Sushi Tei yang bisa direquest jadi vegan :)
Bersama novelku “Waktu Aku sama Mika” di Gramedia.
Bangga dan terharu novelku ada di rak paling atas :’)
Ternyata sesederhana itu menyembuhkan suasana hatiku. Cukup dengan melihat dan mengingat hal-hal kecil yang kumiliki. Memang nggak akan mengubah lalu lintas Bandung jadi lancar atau membuat si ibu-ibu galak berhenti buang sampah sembarangan. Tapi bersyukur itu menyembuhkan. Jangan sampai hal-hal kecil merusak keseluruhan hari. Jangan sampai karena beberapa hal buruk dari kota Bandung aku jadi melupakan hal-hal baik yang terjadi sini. Membandingkan sesuatu itu human nature. Dan salah tetap saja salah meski sudah menjadi kebiasaan, ---there's no such thing as menormalkan kesalahan. Kadang kita baru sadar betapa "buruk" nya sesuatu setelah seseorang menunjukannya. Tapi sambil berusaha memperbaikinya jangan sampai membutakan mata kita tentang hal-hal baik. Tetap be grateful :) Dan aku pun baru belajar tentang ini semua setelah kejadian di Paris Van Java.
Ah, kayaknya segini dulu deh tulisan santaiku. Aku nggak mau kalau dilanjutkan lama-lama jadi tulisan serius, hahaha. Sekarang aku mau minta Shane bikinin mie instan pakai cabai saja deh. Biar tidurnya nyenyak. Oh iya, mie instan juga bikin terseyum dan perlu disyukuri. Setuju?
Gimana sih rasanya punya hari lahir yang selalu "kejepit"? Aku tahu rasanya! Waktu lahir aku lebih cepat dari tanggal perkiraan dokter. Alhasil aku lahir di malam Lebaran, waktu Ibu mau beli baju baru. Malah waktu mau mendarat di dunia pun aku literally kejepit, alias terlilit tali pusat, hahaha.
Setelah dewasa aku jadi terbiasa kalau ulang tahunku jatuh di bulan puasa atau Lebaran (dan somehow libur nasional lain). Nggak selalu, of course karena kalender masehi dan hijriah nggak selalu match. Tapi cukup sering sampai aku jadi semakin ahli bikin bukber atau makan-makan lain dalam rangka perayaan ulang tahun :p
Punya hari ulang tahun di saat orang-orang sibuk dengan keluarga masing-masing, termasuk bersiap mudik memang cenderung membuat hari jadiku terlupakan. Biasanya teman-teman hanya mengucapkan selamat lewat chat dan hanya 1 atau 2 orang yang benar-benar bisa hadir. Kalau mau agak banyakan ya itu dia, aku pakai modus ngajak makan-makan, hahaha. TBH, aku nggak pernah anggap perayaan ultah sebagai sesuatu yang wajib. Yang terpenting sih hanya bisa berkumpul dengan keluarga, ---atau istilah kami mengenang betapa bersyukurnya atas kelahiran anggota keluarga baru (aku).
Tahun ini ulang tahunku kejepit lagi. Kalau 3 tahun kemarin berturut-turut di bulan puasa, tahun ini pas banget di libur Lebaran yang terjepit! Tanggal 8 Juni, tepat di saat orang-orang bersiap untuk kembali ke kampung halaman masing-masing dan anak-anak sekolah (at least di daerahku) sudah mau kembali ke sekolah. Rencanaku tadinya ingin tiup lilin saja di rumah bersama keluarga, suami plus 1 atau 2 teman dekatku. Tapi setelah dipikir-pikir kok mustahil ya karena mereka kan masih belum di Bandung, hahaha. Shane, alias sang suami memberi ide untuk staycation saja, sekalian mengabiskan waktu berdua karena pas Lebaran rumah ramai terus, lol. Aku setuju, karena setelah dipikir mungkin 'tradisi' ulang tahunku harus sedikit berubah karena sudah punya suami. Jadi aku menghargai ide-ide dia, nggak selalu tentang aku :) By the way, rupanya Shane ini sudah ada rencana buat memberi surprise liburan jauh sebelum hari ulang tahunku. Tapi karena aku sudah harus masuk kerja di hari senin, rencana untuk stay di luar Bandung jadi batal. Katanya nanti saja menunggu break sekolah di akhir Juni.
Sehari sebelum hari H di rumah sudah terasa vibes ulang tahunku. Maksudnya Ibu dan Bapak mulai bertanya apa kado yang aku mau, hahaha, bocah banget ya. Tapi ini memang kebiasaan dan buat seru-seruan saja. Aku nggak pernah meminta apa-apa, kok :) Sebalnya, Shane nampak lurus-lurus saja. Nggak ikutan heboh membicarakan ulang tahunku. Dia malah sibuk dengan laptopnya, mencoba booking hotel di sana dan sini karena sedang peak season (resiko ultah kejepit, hahaha). Ada beberapa hotel yang jadi kandidat, tapi sayang yang aku taksir tenyata sudah fully booked. Malamnya Shane bilang mau ke mini market buat beli obat sakit kepala. Pulangnya dia langsung masuk dapur dan lama banget nggak nongol-nongol. Eh, rupanya dia beli bahan-bahan cake dan dia baking cake ulang tahun buatku! Hahaha, nggak jadi sebal deh. Aku malah terharu... :') Meski nggak bisa-bisa amat urusan dapur tapi dia tetap berusaha dan hasilnya enak. Nggak ada foto yang proper di moment tiup lilin karena aku dan Shane sudah berpiyama, tapi kenangan ini sudah pasti nggak akan aku lupakan :)
Berpose dengan kue ulang tahun yang Shane buat. Kejutan! :D
Kado dari Ibu dan Bapak. Isinya ada dua karena ultahku dan Shane hanya selisih 10 hari :)
Pagi-pagi sebelum kami berangkat untuk staycation ternyata ada insiden kecil. Eris, anjing kami telinganya infeksi sampai mengeluarkan nanah. Cepat-cepat aku dan Shane bawa dia ke dokter hewan terdekat. Bersyukur sekali kliniknya sudah buka, karena di hari yang kejepit ini kebanyakan dokter hewan masih tutup. Menurut dokter luka Eris akibat dari keteledoran groomer yang memandikannya menggunakan sampo terlalu keras, dan kurang bersih saat membilasnya. Karena lukanya cukup besar, aku jadi ketar-ketir dan hampir membatalkan rencana menginap. Tapi dokter menenangkan, katanya luka seperti ini sangat cureable meski perlu waktu cukup lama, dan kalau ada apa-apa Eris bisa dirawat inapkan. Akhirnya setelah aku ceramah panjang lebar pada Ibu-Bapak tentang bagaimana cara merawat luka Eris, berangkatlah aku dan Shane dengan hati yang lebih tenang.
Oh iya aku lupa bilang. Kami staycation di hotel Prama Grand Preanger Bandung, nggak jauh-jauh dari rumah, hahaha. Meski begitu, ketika tiba di hotel aku langsung merasakan suasana yang berbeda. Lebih relax dan happy, ---pokoknya vibes birthday girl nya terasa, lol. Kamar yang Shane booking adalah tipe Naripan suite. Ruangannya cukup luas, lengkap dengan 2 buah unit TV dan bathup. Cocok banget buatku yang hobinya nggak jauh-jauh dari nonton film horor dan berendam lama-lama. Tumben banget, biasanya kalau menginap di hotel begitu tiba kami langsung selonjoran, tapi kali ini kami langsung main ukulele, haha. Idenya Shane buat bawa 2 ukulele (biasanya satu) supaya kami bisa jamming. Pas banget karena aku punya lagu baru yang belum ada video clipnya, judulnya "Love Tofu", jadi kami juga bisa shooting di sini. Puas bermain ukulele kami mulai lapar. Setelah melihat-lihat menu restoran hotel ternyata nggak ada yang cocok bagi kami yang vegan. Untung saja lokasi hotel nggak terlalu jauh dari Jl. Braga, jadi kami bisa mencari makan di sana. Sebenarnya kalau saja nggak hujan kami bisa jalan kaki, dan waktu tempuhnya lebih cepat daripada menggunakan mobil. Tapi mau bagaimana lagi, hujannya nggak nyantai lengkap dengan angin kencang yang siap menerbangkan rokku.
Lagu baru ciptaanku (Shane bermain gitar di sini, dan aku bermain ukulele). Love Tofu.
Pojok kamar hotel yang dekat jendela. Ada TV, sofa dan kursi untuk bersantai.
Bisa makan-makan sambil nonton TV di sini.
Di area tempat tidurnya ada TV lagi, jadi bisa nonton sambil rebahan :p
Onci bonekaku sudah istirahat duluan :p Eh iya, ini salah satu hotel yang menyediakan guling, lho.
Cuma bisa foto berdua kalau pakai timer :D
Batik ultah kami dari Shane. Bukan dari koleksi yang sama tapi match ya :D
Kami parkir di mall Braga City Walk, setelah itu menyebrang ke restoran Braga Permai karena di sana nggak ada spot parkir. Kehujanan sedikit karena payung kami terlalu kecil, tapi nggak apa-apa sih kami belum mandi ini :p Restoran ini selalu jadi favorit, menunya akrab di lidah dan suasananya nyaman. Bahkan waktu ibu mertuaku datang ke Indonesia, kami juga makan di sini. Menu favoritku adalah pizza sayur dan lumpia goreng. Sayangnya lumpianya habis, jadi diganti dengan pisang goreng. Pas kan hujan-hujan makan pisang goreng sambil minum teh hangat, hahaha. Shane juga tampak menikmati makanannya, dan itu membuat aku tambah happy. Meskipun ini ulang tahunku, tapi aku nggak mau happy-happy sendiri saja. The more the merrier, ---makin ramai makin seru. Dan rupanya dua keponakanku ingin membuat suasana makin seru juga. Iparku kirim pesan, katanya dia, suami dan anak-anak sudah menunggu di lobby untuk memberi kado. Tuh, kan ramai betulan! :D Jadilah sisa pisang goreng kami bungkus dan kami bergegas ke hotel karena nggak mau mereka menunggu terlalu lama.
Benar saja begitu kami tiba di hotel, Ali, keponakanku yang usianya 3 tahun langsung menyambut sambil bilang, "Happy birthday". Suasana kamar yang tadinya sunyi langsung ramai dengan kehadiran mereka. Apalagi para bayi ini ingin berendam di bathup. Banjir kemana-mana. Tapi karena mereka senang, aku juga senang (---cuma nggak senang bagian mengepel lantainya saja sih, hahaha). Lucunya, Ali pikir kamar hotel ini apartemen baruku dan Shane. Dia menolak pulang dan ingin menginap. Setelah dibujuk untuk datang lagi besok pagi, akhirnya dia menurut. Waktu quality time berdua pun akhirnya datang juga, hahaha. Kami berencana untuk menonton film horror. Tapi sebelumnya aku mandi dan makan malam dulu. Nggak ke mana-mana, kami memesan dari kamar hotel. Sayang menu yang kami mau nggak ada, jadi terpaksa diganti dengan nasi goreng yang rasanya hambar dan kurang sepadan dengan harga. Sempat bingung juga film apa yang akan kami tonton. Aku merasa TV yang di depan tempat tidur jaraknya terlalu jauh (maklum, mataku minus hampir 6, lol), sedangkan kalau menonton dari sofa rasanya kurang nyantai. Akhirnya kami memilih "The House with a Clock in its Walls" dan menontonnya dari laptop di tempat tidur! Kurang berasa gregetnya sih, tapi yang penting santai dan suaranya maksimal karena... guess what... Shane memutuskan untuk membawa speakers dari rumah, hahaha.
Kekenyangan di Braga Permai.
The babies yang merecoki kami dan kadonya, hahahaha.
Kami baru menonton setengah jalan tapi kelopak mata sudah semakin berat. Jadi kami putuskan untuk tidur dan melanjutkannya di pagi hari. Nggak tahu gimana dengan Shane, tapi aku tidur nyenyak sekali. Sampai alarm berbunyi pun aku masih setengah tidur, hahaha. Meski mengantuk aku paksakan untuk bangun, mandi cepat (semi mandi, nggak keramas, lol) dan berganti pakaian karena sarapan hanya disediakan sampai jam 10 pagi saja. Untuk vegan kaya kami, menu yang disediakan sangat terbatas. Tapi yang penting perut kenyang saja, deh, banyakin karbo :p Shane makan bubur kacang, kentang goreng, bala-bala dan sayur nangka. Aku juga sama, hanya minus bubur kacang dan diganti kwetiau beranjau daging sapi. Supaya nggak mubazir aku coba pilih-pilih sebelum dipindahkan ke piring. Kan meski nggak makan daging bukan berarti boleh buang-buang daging, dong ;) Sampai kamar hotel kami hanya ngopi-ngopi saja lalu melanjutkan nonton film semalam, sisanya cuma selonjoran karena barang-barang sudah masuk ke dalam tas semua supaya waktu check out nggak ribet.
Bersantai di dekat kolam renang sehabis sarapan.
Ini kursi konsepnya gimana, mau nyandar susah xD Oya, batik ini juga kembaran dengan Shane tapi gak ada fotonya. Kalau mau lihat bisa nonton vlog kami. Shane lho yang milih :p
Link video vlog ulang tahun. Kalau bosan lihat mukaku di sini, di vlog banyak muka Shane tuh, hahaha.
Akhirnya selesai juga waktu staycation kami. Singkat, tapi lebih dari cukup untuk membuatku happy sehappy-happynya :) Ini ulang tahun yang sangat istimewa karena untuk pertama kalinya kami rayakan sebagai pasangan suami-istri. Rasanya seperti kemarin padahal sudah 2 tahun yang lalu, aku dan Shane baru saling kenal di internet dan membuat lagu bersama bertepatan dengan hari ulang tahunku waktu itu. Pertemanan jarak jauh, Amerika-Indonesia, dan siapa yang tahu kami sekarang hidup di satu negara dan menikah. Di moment ini juga aku rasanya jadi lebih mengenal karakter Shane. Inisiatifnya untuk membuat kue ulang tahun sendiri really touched my heart... Ternyata deep inside dia laki-laki yang manis despite dari luar terlihat cuek. Nggak pernah sebelumnya aku merasa seperti ini. I'm blessed. Aku berdoa semoga masih banyak ulang tahun-ulang tahun berikutnya yang aku habiskan bersamanya, amin :)
Hey bloggiiiiiiies! Apa kabar? Bagimana puasanya, masih lancar ya? Matahari Bandung sedang terik-teriknya. Kalau tengah hari suhunya bisa 31 derajat celsius! Syukurlah aku nggak tergoda dengan segala macam iklan minuman (---termasuk Marjan. Jadi ini prestasi banget ya, hehehe). Yang menjadi godaan justru radang tenggorokan yang datang dan pergi. Minggu lalu aku sudah ke dokter, sembuh, eh sekarang kambuh lagi. Salahku sendiri sih, kurang minum dan kebanyakan pedas :p
Anyway, tulisanku kali ini nggak akan panjang-panjang. Jadi, di bulan puasa ini aku mengikuti kontes musik di Inspira TV. Namanya "Amazing Ramadhan Music Cover Challenge". Nah, timingnya mungkin kurang pas karena suaraku sedang serak, but I do it anyway karena menurutku ini kesempatan untuk menggembangkan hobi bermusikku. Meski jauh dari berpengalaman dan belum punya peralatan yang proper, tapi aku tetap semangat. Jauh-jauh aku buang perasaan untuk membandingkan diri dengan peserta lain yang (sejauh ini aku lihat) lebih matang (baca: punya tim) dan musik juga videonya well produce :) Aku rekam lagu "Amazing Ramadhan" versiku di kamar, dengan aransemen yang dikerjakan sendiri. Yup, meski nggak punya band (hanya ada Shane yang membantu dengan gitar, ukulele dan keyboard) aku putuskan nggak memakai karaoke track yang sudah disediakan agar aku bisa membawakan lagunya dengan style sendiri. Sementara untuk videonya aku menggunakan handphone Iphone 6s milik Shane, ---yang sayangnya mati di tengah shooting karena over heat, huhuhu :') Shooting pun dilanjutkan menggunakan handphone android milikku karena keadaan nggak memungkinkan untuk re-shoot di lain waktu.
Para peserta diminta untuk mengupload video cover ke channel YouTube masing-masing, dan nanti pemenangnya akan ditentukan berdasarkan jumlah penonton. Well, saat tulisan ini dibuat aku memang tertinggal dalam jumlah view meski menjadi peserta pertama yang mengupload video... Tapi seperti yang aku bilang sebelumnya, aku tetap bersemangat dan nggak mau menyerah :)
Jadi dengan segala kerendahan hati aku meminta teman-teman yang membaca tulisan ini untuk menonton videoku (link disertakan di bawah). Aku akan senang sekali jika kalian bisa memberikan komentar atau masukan. Karena meski aku mengerjakan semuanya secara indie (---maksudnya di kamar, hehe) tapi aku tetap ingin dinilai berdasarkan kualitas. Menurutku itu lebih adil daripada berdasarkan jumlah penonton :)
Terima kasih.
Klik untuk menonton video "Amazing Ramadhan" versi Indi Sugar
________________________________________
UPDATE:
Aku dapat juara ketiga! Jujur, aku nggak menyangka dan langsung histeris pas nonton pengumumannya di TV :') Hehehe... Video yang digarap kurang maksimal karena handphone over heat bikin aku pesimis, apalagi aku cukup kesulitan untuk menambah jumlah viewers di videoku. Aku bahagia sekali, ada hasil dari usahaku dan Shane. Tapi bukan berarti aku akan berhenti bermusik kalau kalah, karena menjadi pemenang hanya "bonus". Aku melakukannya murni dari hati karena aku suka. Di foto ini aku memegang sertifikat dan memakai kaus hadiah dari Inspira TV. Aku juga mendapat uang tunai yang langsung aku gunakan untuk membeli obat Eris anjingku (telinganya infeksi). Praise the Lord... dapat hadiah di waktu yang tepat :)
Buat teman-teman yang membaca ini, aku ucapkan terima kasih banyak untuk dukungan dan doanya. Terima kasih telah "ada" untukku meskipun kita belum pernah bertemu secara langsung! *peluk* xx,
Aku lagi ngetik di restoran fast food, pakai Wifi gratisan bawa laptop dari rumah dalam rangka nemenin suami kerja, hahaha. Sekarang hampir tengah malam dan kami keluar rumah karena nggak mau mengganggu jam tidur orangtuaku. ---Iya, lima bulan sudah usia pernikahanku dan Shane, dan kami masih tinggal bersama mereka. Rencana kami memang pindah secepat mungkin tapi karena satu dan lain hal harus ditunda. "Rumah kami" sih sudah dalam proses, tapi masih menyicil sedikit-sedikit. Jadi ya... sampai kami bisa pindah, aku dan Shane menikmati waktu dulu sebagai anak mami :p Syukurlah pekerjaan kami fleksibel, bisa dilakukan di mana saja in case suasana rumah nggak memadai.
Ngomong-ngomong soal suami, apa yang mau aku share sekarang ada hubungannya dengan sosok yang sedang mengetik di sebrangku ini (---namanya gratisan duduknya nggak bisa milih samping-sampingan, hahaha). Percaya nggak kalau beberapa tahun lalu aku sempat percaya kalau hidupku bakal berakhir unmarried dan dicap sebagai orang aneh? Jangankan suami, bisa diterima oleh orang-orang dekat (selain keluarga inti maksunya) pun sempat aku pikir mustahil. Penyebabnya bukan karena aku merasa nggak pantas. Tapi kata-kata salah seorang kerabatku lah yang membuatku merasa begitu. Sering kali aku mendengarnya memberiku label-label sampai aku lupa mana diriku yang sebenarnya dan mana yang "karangan dia". Iya. Aku dibully oleh yang seharusnya aku hormati, ---dia salah satu kerabat keluargaku.
Iya, dua bocah ini pasangan suami istri :)
Sejak kecil aku 'berbeda'. Aku satu-satunya anak yang memakai brace (penyangga tulang belakang) di sekolah dan di keluarga karena scoliosis. Dan aku sangat baik-baik saja dengan itu, ---kecuali tentu di masa remaja labil yang sebagian besar moodku dipengaruhi hormon, hahaha ---sisanya, I live my life. Apalagi aku dibesarkan oleh orangtua yang sangat suportif. Apapun yang kulakukan, selama itu nggak menyakiti diri sendiri dan orang lain mereka selalu mendukung. Di saat sepupu-sepupuku didorong orangtua mereka untuk mengambil jurusan tertentu, orangtuaku malah sebaliknya. Jurusan seni musik pilihanku yang dianggap kurang menjanjikan oleh Om dan Tante dianggap keren oleh Ibu dan Bapak. Caraku berpakaian, pilihan karir, keputusan menjadi vegetarian di usia remaja, sampai menulis buku pertamaku, semua dilakukan dengan restu mereka.
Percaya diriku baik, ---atau istilah Bapak "sesuai porsi". Semakin dewasa ide-ide yang dulu ada di angan mulai aku wujudkan satu persatu. Seajaib apapun itu, Ibu dan Bapak selalu mendengarkan dan nggak meremehkan ideku. Suatu hari aku mulai speak up tentang pengalaman sebagai seorang scolioser. Di TV, radio, majalah... you name it, ---aku bersuara dengan menggebu untuk raising awareness. Aku nggak mau ada orangtua yang kecolongan dengan perkembangan fisik anak-anak mereka. Nggak ada sedikit pun niat untuk dikasihani apalagi mencari sensasi. Aku merasa apa yang aku lakukan positif. ---Demi Tuhan. Sampai akhirnya ada yang berkata sebaliknya.
Maret 2019, novelku "Waktu Aku sama Mika" ada di toko buku. Aku nggak akan berhenti berkarya dan menyebarkan awareness tentang scoliosis :)
Dia, ---atau lebih tepatnya 'beliau' karena usianya lebih tua dari Ibu dan Bapak, ---mulai merasa keberatan dengan apa yang aku lakukan. Kata-katanya begitu menusuk sampai menjadi luka permanen di hatiku. Menurutnya aku nggak seharusnya 'mengumbar' tentang kekurangan fisik. Karena jikalau beliau mempunyai putra dan tahu calon menantunya mengidap scoliosis, maka beliau nggak akan merestui hubungan mereka.
...WHAT THE F?!!...
Aku nggak percaya itu keluar dari mulut seorang yang sangat berpendidikan dan terpandang. Masih ingat dengan jelas waktu itu aku seketika menangis. Aku merasa kecil sekecil-kecilnya. Semua niat positifku jadi terasa sia-sia karena ternyata malah dianggap aib. Beliau dan orangtuaku langsung bersitegang. Terutama Bapak, beliau sangat tersinggung sampai menantang untuk berkelahi. Meski sekarang mereka (katanya) sudah saling memaafkan, hubungan mereka nggak pernah sama seperti dulu lagi.
Entah karena aku cucu perempuan pertama atau karena dianggap berbeda, beliau begitu 'memperhatikan' aku. Awalnya aku menganggapnya sebagai hal positif, tapi lama kelamaan terasa terlalu mencampuri. Pernah suatu kali beliau mengkritik model rambutku yang selalu berponi. Katanya kekanakan, lebih pantas dibelah dua dan disisir ke belakang. Menurut beliau cara berpakaianku juga aneh. ---Aneh, bukan dalam artian unik yang positif, tapi aneh karena menurutnya harus diubah. Meski Ibu nggak pernah berkata apa-apa tapi aku yakin hatinya juga turut sakit. Baju-baju yang aku pakai semuanya buatan beliau. ---Dibuat penuh cinta dan rasa bangga, ---apa rasanya sesuatu yang dibuat dengan sungguh-sungguh ternyata malah dibilang 'aneh'?... Cara berpakaian aku jugalah yang menurutnya membuatku susah mendapatkan pacar. Padahal, saat itu aku sedang menjalin hubungan dengan laki-laki, dan orangtuaku tahu itu.
Mungkin ada yang nggak percaya, aku yang sering dibilang ceria ini pernah mengalami fase di mana aku merasa rendah. Luka karena kata-kata kadang lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik. Aku jadi memikirkannya terus-terusan. Model rambut yang sudah hampir seumur hidup kupakai mendadak jadi nggak lagi cocok ketika akh melihatnya di cermin. Baju yang tadinya kupikir paling cantik sedunia jadi malu untuk kupakai ke acara formal karena takut dianggap seperti anak-anak. Seketika aku juga jadi merasa bahwa orang hanya melihatku sebagai sosok yang dikasihani. ---Aku nggak mungkin dicintai dengan tulus. Mungkin hubungan percintaanku nggak akan berakhir ke mana-mana. Mungkin 'beliau' benar. Aku nggak akan pernah menikah.
Embrace my style. Dress ini Ibu yang desain dan aku bangga :)
Luar biasa betapa kata-kata bisa begitu mempengaruhiku. Tadinya kupikir aku sudah benar-benar mengenal diri sendiri, ---sudah tahu apa passion dan tujuan hidupku. Tapi lalu aku merasa menjadi bukan siapa-siapa, nggak berarti. Syukurlah fase itu akhirnya berlalu setelah aku berdamai dengan diri sendiri. Aku mulai berusaha untuk nggak memusatkan pikiran dengan label-label yang 'beliau' berikan, alih-alih mulai mendengarkan pujian-pujian sekecil apapun dari orang-orang sekitarku, ---yang menghargai apa yang aku lakukan. Kenapa aku harus berpusat dengan satu orang yang negatif sementara yang positif sebenarnya lebih banyak? Lambat laun aku mulai kembali, kebahagiaanku dan orangtua lebih penting daripada harus memuaskan 'standar' seseorang yang bahkan nggak mengenalku dengan baik.
Sekarang setelah bertahun-tahun berlalu apakah aku masih marah dengan 'beliau'? Well... tentu terkadang perasaan itu datang, karena seperti yang aku bilang; kata-katanya meninggalkan luka di hati. Tapi yang terpenting aku bangkit, ---kembali menjadi Indi yang bahkan lebih pemberani dari sebelumnya. I trust my self more than anyone else. Aku nggak mau over thinking. Saat akan melakukan sesuatu dan aku yakin bahwa itu positif dan niatnya baik, maka tanpa ragu akan aku lakukan. Aku bangga menjadi aku yang berponi, yang scoliosis, yang sudah menjadi vegan, dan ---aku yang senang main ukulele meskipun fals, hahaha. Nggak akan aku izinkan apapun mengubahnya, sekalipun itu bully dan label-label dari seseorang yang 'disegani'.
Punya lagu yang didengar orang dan masuk TV hanya bonus. Yang terpenting adalah perasaanku yang happy saat bermain ukulele :)
Terkadang kita lupa betapa powerfulnya kata-kata. Saat kita menyakiti seseorang secara fisik maka terlihat jelas lukanya. Tapi saat hati seseorang sakit lukanya nggak akan terlihat sampai orang itu menunjukan emosi. Dan "nggak terlihat" bukan berarti nggak real, kata-kata bisa mempengaruhi seseorang sampai sebegitu dalamnya, bahkan berpotensi merusak masa depan. Lebih baik tetap berikan kata-kata positif segatal apapun mulut kita untuk berkomentar. Ingin mengkritik atau memberi masukan? Ya, gunakan kata-kata yang santun. Bicara kan gratis, jangan merasa berat :)
Kalau ada di antara kalian yang mengalami hal sepertiku, ---dibully oleh orang dekat, ---atau siapapun, ---please ingat kalau kita semua berarti dan unik. Percayalah pada diri sendiri lebih dari orang lain. Karena nggak ada yang lebih mengenal kita selain diri sendiri. Do whatever makes you happy, selama itu nggak merugikan orang lain. Dan kalau merasa depresi jangan dipendam sendiri, search for help, nggak perlu malu.
Oh, well... Shane sekarang sudah menyelesaikan pekerjaannya dan aku juga sudah menghabiskan potongan kentang goreng terakhir beberapa menit yang lalu. Sebentar lagi kami akan pulang, ---mungkin nonton film dulu sebelum tidur, hehe.
Hmm, by the way, kalian tahu nggak... setiap malam saat berbaring di samping Shane, aku selalu terseyum dan membatin,
"Lihat di mana aku sekarang. Aku berhasil 'mengalahkan' bully." :)
it's me,
Indi
ps: Aku sempat terkena demam tifoid selama 3 minggu, dan selama itu pula aku nggak ngapa-ngapain (huhu...). Sebagai come back aku dan suami mengcover lagu yang musik video dan mixingnya 100% dilakukan oleh kami berdua. Kalau mau dengar dan support karya kami boleh banget. Klik link ini untuk videonya.