Minggu, 04 Maret 2018

Look Beyond What You See: Tentang Disabilitas

Halooooooo, apa kabar semuanya? :D Ya, ampun sekarang sudah masuk bulan Maret 2018 rupanya, dan post terakhirku Desember 2017 *cengar-cengir cari alasan*
Tapi nggak apa-apa ya kalau aku ucapkan selamat tahun barunya sekarang? Hehehe. Oh, by the way, bagaimana tahun 2018 kalian so far? Mudah-mudahan berjalan dengan lancar dan segala resolusi kalian mulai terealisasi satu persatu, ya. Amen :) Aku sendiri so far so good. Banyak hal baru yang terjadi. Selain buku baruku, "Guruku Berbulu dan Berekor - Bagian 2" terbit, aku juga, ---ehm, punya pacar baru. Eh, tapi itu cerita nanti saja ya. Mendingan aku tulis di post khusus karena ada cerita yang ingin aku share.

Di dunia kecil Indi tahun ini dimulai dengan perubahan yang sangat manis dan positif. Tapi nggak begitu dengan "dunia nyata" alias real world. Nampaknya banyak hal kurang menyenangkan yang masih berulang, termasuk soal disability awareness. Kalau aku sendiri sih belakangan ini nggak mengalami karena memang sedang kebanyakan diam di rumah (---soal ini juga akan aku share nanti). Tapi salah seorang teman onlineku, Angkie Yudistia, mengalaminya di bulan Februari lalu. Kejadiannya aku tahu dari akun instagram Angkie, yang kebetulan kami saling follow di sana. Jadi waktu itu ia dan temannya diusir dari "special needs gate" di Bandara! Padahal mereka berdua memiliki disability, lho. Angkie memiliki disabilitas pendengaran, sedangkan temannya disabilitas kaki! Meski sekarang pihak bandara sudah memohon maaf, tapi tetap saja kejadian ini membuatku sedih. Karena artinya masih ada orang yang belum memahami apa itu disability :(

Aku bisa mengerti sih kalau selama ini penyandang disabilitas diidentikkan dengan kursi roda. Karena yang dipakai untuk logo disabilitas saja gambar wheelchair. Jadi "wajar" kalau masih banyak yang menyamaratakan; special needs = yang duduk di kursi roda. Padahal kenyataannya nggak begitu, ---nggak semua disabilitas terlihat secara fisik. Misalnya saja orang yang mengalami disabilitas mental, kebanyakan dari mereka terlihat "baik-baik saja" lho dari luar. Coba deh kalian lihat foto-fotoku. Do I look normal? —-Atau lebih tepatnya, do I look like most people?

Chinese new year kemarin di China Town, Bandung.

Aku yakin kebanyakan dari kalian belum tahu kalau aku mengidap OCD, atau obsessive-compulsive disorder. Bahasa sederhananya, ini adalah kondisi kelainan psikologis di mana pengidapnya memiliki pikiran yang obsesif dan perilaku yang bersifat kompulsif. Gejala tiap orang tentu berbeda-beda, tapi biasanya pikiran pengidap OCD akan dikuasai oleh rasa takut dan kecemasan. Misalnya saja aku yang jika merasa harus melakukan sesuatu (---baca: "ritual") dan nggak dilakukan, maka aku akan cemas secemas-cemasnya. Bahkan sampai aku merasa depresi (yup, aku juga didiagnosis dengan depresi tahun lalu). Dan kalau pun aku lega biasanya hanya sementara saja. Nah, OCD ini kalau sudah parah bisa dikategorikan sebagai disabilitas mental juga.

Sekarang, saat menulis ini, OCD ku sudah membaik meski terkadang ada hari-hari di mana masih terasa sulit dan menghambatku untuk beraktivitas. Jadi jangankan untuk ke luar rumah, untuk ke luar kamar saja aku bisa butuh waktu berjam-jam. Nah, coba bayangkan bagaimana dengan orang-orang yang kondisi OCD nya lebih parah dariku. Bagaimana rasanya jika untuk beraktivitas saja membutuhkan asisten tapi masih dipersulit dengan fasilitas publik yang sebenarnya dibuat untuk mempermudah mereka?

Aku menulis ini bukan karena ingin diistimewakan. Sejak kecil aku terbiasa diperlakukan sama dengan saudara-saudara yang lain oleh keluarga meski secara fisik aku "berbeda" (---mengidap severe scoliosis dan harus memakai brace 23 jam perhari). Jadi soal itu sama sekali not my case, ya. Dan aku yakin teman-teman dengan disabilitas juga nggak berharap begitu :) Maksudku hanya ingin mengingatkan untuk jangan pernah men-judge orang dari penampilan luarnya saja. Please look beyond what you see. Jangan dulu marah jika ada yang meminta kalian untuk berdiri saat duduk di bus, karena bisa saja orang itu lebih membutuhkan meski telihat "sehat". Jangan dulu kesal saat kalian menegur seseorang tapi ia terlihat cuek, karena bisa saja ia nggak bisa mendengar kalian, ---dan lain sebagainya.

Such a fun place, tapi akses wheelchair nya terbatas :(

Begitu juga dengan yang bertugas di fasilitas publik, aku harap mereka bisa mendapatkan proper training, ---dan lebih berempati. Jika memang saat ini "jalur khusus penyandang disabilitas" hanya untuk disabilitas fisik saja maka jelaskan dengan baik-baik. Nggak perlu mempermalukan apalagi sampai mengusir. Dari hasil research kecil-kecilan aku sih, rupanya untuk bandara masih berfokus dengan disabilitas yang menggunakan alat bantu fisik saja, misalnya kursi roda, tongkat atau tabung oksigen. Aku harap peraturan ini bisa segera diubah karena apa yang terlihat di luar nggak selalu mencerminkan apa yang di dalam. Contohnya dengan pengidap autistik, haruskan mereka diperiksa dengan teknik "pat down" sementara itu membuat mereka nggak nyaman?

Well, that's just my two cents, hanya opini pribadiku semata. Mengubah dunia jadi tempat yang nyaman untuk semua orang mungkin mustahil, tapi at least kita bisa mencoba untuk membuatnya lebih baik. Sekali lagi, let's look beyond what we see dan coba untuk lebih berempati. Kalian akan surprise betapa hal-hal sederhana (misalnya memberikan tempat duduk pada seseorang di bus) bisa mengubah hari mereka :) Oh iya, apa kalian tertarik untuk membaca kisah OCD dan depression ku? Kalau iya, silakan tinggalkan komentar di bawah ya, beri tahu apa yang ingin kalian baca supaya aku tahu dari mana harus memulai ceritanya. ---Atau mau baca cerita tentang pacar baruku saja? *eh, hahaha :p

just a normal girl,

Indi

_________________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

26 komentar:

  1. Terserah lu Ndi mau bahas mana duluan. Yang penting stay happy and healthy yaaaaaaaaa. *peyuk2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, iyaaaa. Peyuuuuk, sehat-sehat juga buat Fely ya :)

      Hapus
  2. Pengin baca kisah OCD nya, pgn tahu cara menghilangkan kecemasannya

    BalasHapus
  3. Penasaran OCD nya
    karena saya dulu pernah d bilang kena OCD
    tapi sekarang sudah gak pernah ngerasa cemas cemas lagi
    walau masiha da dikit2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cemas bukan berarti OCD, baiknya konsultasikan dengan psikiater jangan self diagnosed :)

      Hapus
  4. rasa empati terhadap orang lain, apalagi kepada penyandang disabelitas memang harus ada, apalagi banya fasilitas umum yang kadang tidak ramah dg keterbatasan mereka.
    mba Indi luar biasa, tdk nampak menderita ocd, thanks sharenya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Empati harus sama siapa saja, meski memiliki disabilitas bukan berarti harus mendapatkan empati yang lebih, kok. Terima kasih komentarnya, ya :)

      Hapus
  5. keren ulasanya, dan mau juga tuch baca kisah COD-nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nanti aku bahas tentang OCD ku ya. Tapi mungkin hanya sekedar berbagi pengalaman, bukan hal-hal yang bersifat medis :)

      Hapus
  6. Kamu memang blogger yang konsisten dan keren yang pernah saya kenal selama ngeBlog. Kekurangan yang kamu punya bisa dijadikan kelebihan. Salut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih ya, setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan :)

      Hapus
  7. penasaran bgt ka indi, plese ceritain :)

    BalasHapus
  8. Welcome back Miss!
    I miss youu

    Couldn't agree more, kak indi

    Regulasi yang ada sekarang emang kayaknya memprioritaskan disabilitas yang memiliki keterbatasan dilihat secara fisik, terutama yang susah bergerak. di kereta KRL juga gitu ya, yang dapet bangku prioritas ya kalo bukan yang tua, yang hamil, dan yang memiliki keterbatasan fisik yang tampak di mata.

    Wish all the best for a better world and a better indonesia

    P.S.
    Pacar baruuu???????????
    OKE I'M READY TO KNOWW

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi, I miss you too, Aul! Iya, padahal disabilitas kan gak selalu yang terlihat secara fisik. Kita bisa coba ubah kok dengan lebih berempati, atau kalau ada aturan yang kurang sreg bisa kirim saran :) Hehehe, coba lihat dulu spoiler pacarnya di instagram aku sebelum cerita di sini xD

      Hapus
  9. Semngat. Kisah ocd nya boleh di share jg loh 😁, biar bnyk yg aware

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih idenya. Nanti akan aku share ya :)

      Hapus
  10. aku salut sama dirimu, Indi. Selalu penuh semangat, aku pun jadi ikut semangat. Yap, penyandang disabilitas itu bukan aib kok, mereka adalah inspirasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi, semoga kita bisa terus saling menulari semangat ya :)

      Hapus
  11. Lanjutin kak Indi kisah OCD nya. Jadi pengen baca kak. Penasaraaaan. Hehe :)

    BalasHapus
  12. Wah sampe diusir dari gate disabilitas? Wah, iya harusnya ngomong baik2, ya. Kan bisa.

    Saya juga pengen tahu Indi, ttg OCD. Saya menduga ada orang dekat yang seperti itu juga. Karena kalo cemas suka berlebihan dan ada SOP yang pengennya begitu terus. Kalo seperti Indi menyadarinya, menerimanya, penanganannya kan jadi lebih mudah ya karena Indi bersahabat dengan diri sendiri. Berbeda dengan yang tidak menyadarinya.

    Terima kasih sudah berbagi Indi. Kamu luar biasa. Tetaplah tangguh dan tetap menulis :)

    BalasHapus
  13. mau dong baca soal ocd biar bisa lebih memahami soal manusia dibumi.

    BalasHapus
  14. Setuju. Udah saatnya kita belajar untuk semakin peduli dengan disabilitas

    BalasHapus
  15. salut banget sama kakak indi :) lanjutkan

    BalasHapus

Terima kasih untuk komentarnya, it's really nice to hear from you :)