Rabu, 15 Februari 2017

Indi's Scoliosis Life: Disabilitas dan Dunia Bekerja

Yay! Libur nasional!
Haha, kadang aku merasa konyol kalau berseru begitu. Soalnya untukku apa bedanya antara weekend dan weekdays? Aku bekerja di rumah, ---dengan beberapa pekerjaan occasional di luar yang biasanya hanya menghabiskan waktu beberapa jam saja meskipun dilakukan di akhir pekan. Aku sudah otomatis saja excited setiap mendengar kata "libur". Mungkin karena kesempatan untuk hangout dengan keluargaku paling banyak di hari sabtu, minggu dan libur nasional kali, ya? :D Eh, tapi itu sih sampai satu minggu yang lalu. Karena sejak hari selasa kemarin aku mulai kembali bekerja secara formal!


Iya, setelah break selama 2 tahun (karena kesehatan dan ada beberapa project), aku akhirnya kembali dengan pekerjaan "formal" aka "kantoran". Bukan berarti aku stop menulis, seluruh project dan PR tetap bisa dikerjakan karena perkerjaan formal yang kuambil ini sifatnya secara paruh waktu alias part time. Awalnya aku sama sekali nggak terpikir untuk back to kantoran karena terbiasa dengan "jadwal kerja buatanku". Tapi berhubung ditawari saat mengantar Ali, keponakanku yang berusia 1 tahun untuk daycare, akhirnya aku putuskan untuk menerima pekerjaan paruh waktu di sebuah preschool berbasis kurikulum British. Dalam seminggu aku bekerja 4 hari dengan jam kerja dari pukul 8.00 sampai pukul 12.00. Meski kesannya hanya sedikit, dengan kondisi kesehatanku jam kerja seperti itu sudah cukup untuk menguras tenaga. Tapi so far sih so good, dan aku harap berlangsung sampai waktunya aku selesai di sana :)

Aku nggak sabar untuk bercerita tentang pekerjaanku yang baru (---well, baru tapi "lama" karena 2 tahun yang lalu aku pernah bekerja di tempat yang sama, hahaha). Tapi kali ini aku akan membahas tentang "disabilitas dan serba-serbi melamar pekerjaan". Kenapa? Karena sejak aku lulus kuliah dan mulai bekerja formal untuk pertama kali, banyaaaaaaak sekali yang bertanya tentang ini. Terutama dari teman-teman di support group "Masyarakat Skoliosis Indonesia". Selain itu juga karena memang masih jarang yang membahasnya di sini. Padahal, kalau aku buka web-web luar aku bisa menemukan banyak artikel helpful untuk para job seeker atau fresh graduate yang mempunyai beberapa kondisi fisik atau isu medis. Aku adalah pengidap severe scoliosis yang mempengaruhi mobilitasku, ---juga masih harus memakai brace selama 6 sampai 12 jam perhari. Tentu, nggak semua pekerjaan cocok untukku. Tapi bukan berarti itu mustahil :)

Mempunyai Disabilitas Haruskah Ditulis di Riwayat Hidup/CV?
Nggak perlu! Awalnya aku pernah menganggap kalau calon rekan kerja/perusahaan yang dilamar harus tahu kondisi fisikku. Tapi setelah banyak bertanya dengan teman-teman yang juga memiliki situasi yang mirip plus ditambah dengan pengalaman pribadi, aku jadi yakin kalau itu memang sama sekali nggak perlu. Dengan nggak menulisnya maka aku akan dinilai sesuai dengan kemampuan, bukan berdasarkan kondisi fisik. Tapi itu bukan berarti aku berbohong, lho. Karena sebelum melamar suatu pekerjaan aku (---kita) wajib bertanya pada diri sendiri, "Apakah aku sanggup mengerjakan pekerjaan ini?" Jika jawabannya sanggup, maka go ahead, langsung saja kirimkan CV terbaik dan berharap yang terbaik. Percaya diri itu penting, jangan sampai takut duluan sebelum memulai sesuatu. Pastikan saja pekerjaannya memang cocok dengan latar belakang pendidikan/kemampuan dan kondisi. Misalnya saja jika memiliki kondisi sepertiku, jangan memaksakan untuk melamar di bagian gudang/stock keeper yang job desc nya mengangkat barang-barang yang berat.

Haruskah Menyebutkan Kondisi Fisik/Kesehatan saat Wawancara?
Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, "Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan." Jadi seharusnya nggak perlu lagi menjelaskan panjang lebar tentang kondisi kita. Tapi dengan catatan kita sudah yakin betul kalau sanggup dengan segala job desc dari pekerjaan yang kita lamar. Tapi  boleh-boleh saja jika mau menyebutkan, terutama saat mengisi form yang biasanya ada kolom kondisi kesehatan. ---Terutama jika kondisi kita "abu-abu". Contohnya saja aku, saat melamar menjadi guru di preschool aku akan menyebutkan bahwa mengidap severe scoliosis. Alasannya karena dari segi latar belakang pendidikan dan kemampuan, aku sangat kompeten untuk posisi itu. Tapi karena calon murid-muridku masih balita, besar kemungkinan "job desc" ku bertambah sebagai juru gendong anak-anak, hehehe. Percayalah, sebuah pekerjaan nggak akan lari hanya karena kondisi fisik selama CV dan wawancara kita mengesankan :)

Disabilitas terbagi dua, yaitu yang terlihat (visible impairment) dan nggak terlihat (invisible disabilities). Bagi yang terlihat (misalnya pengguna memakai kursi roda, brace, alat bantu dengar, memiliki mising limbs, etc) maka akan a bit easier karena kita nggak perlu menjelaskan. Tapi bagi yang nggak terlihat seperti pengidap diabetes, epilepsi dan lainnya diperlukan pertimbangan lain. Jika semuanya masih bisa diatasi dengan obat atau terapi (eg: ada jaminan pengidap epilepsi nggak akan kambuh selama patuh dengan pengobatan), kita tentu nggak perlu menjelaskan saat wawancara. Tapi lain dengan pengidap epilepsi yang bisa kambuh kapanpun (misalnya kasus lebih severe), sudah seharusnya memberitahu sejak awal karena ini adalah salah satu bentuk dari tanggung jawab terhadap diri sendiri. Kalau sudah mau bekerja artinya sudah dewasa, dong. Dan hanya kita yang paling mengenal kondisi tubuh kita sendiri :)

Pekerjaan Apa yang Cocok?
Yang tahu dengan jawabannya tentu diri sendiri. Carilah pekerjaan yang sesuai dengan minat, bakat dan kemampuan. Terkadang memang nggak mudah, tapi trust me, itu bukan 100% karena kondisi fisik kita. Banyak faktor yang menentukan, misalnya saja kesediaan lapangan pekerjaan yang cocok, luck (---yup, ini juga berpengaruh) dan "masalah" waktu. Temanku yang seorang quadriplegic (lumpuh dari leher ke bawah) perlu waktu 10 tahun untuk kembali bekerja sebagai guru. Jangan pernah remehkan atau salahkan diri sendiri. Perlu diingat bahwa memiliki IPK tinggi dan fisik yang kuat pun bukan jaminan cepat mendapatkan pekerjaan. Just be patient dan terus berusaha karena selalu ada tempat untuk semua orang.

Mungkin terdengar klise, tapi memang selalu ada sisi positif dari setiap kondisi, kok. Misalnya saja bagi scolioser yang sudah terbiasa melakukan fisioterapi atau yoga secara rutin. Nggak jarang mereka memiliki kedekatan dengan staff di klinik atau rumah sakit, dan itu sangat menguntungkan karena akan tahu lebih dulu jika ada lowongan pekerjaan di sana dibandingkan dengan orang luar ;) Banyak lho scolioser yang menjadi instuktur yoga atau staff di klinik fisoterapi. Malah aku kenal dengan fisioterapis yang dulunya adalah pasien di klinik! :D Itulah kenapa aku anggap bergabung dengan suatu komunitas atau support group sangat penting, karena bisa saja kita bisa mendapatkan informasi lowongan pekerjaan dari sana. Dan nilai plusnya kita juga sekaligus membantu teman-teman dengan kondisi yang sama. Nggak sreg dengan pekerjaan kantoran? Idenya salah satu temanku, Habibie Afsyah mungkin bisa ditiru. Ia adalah seorang enterpreneur sukses yang mengidap Muscular Distrophy. ---Ia bisa bekerja dengan baik meski hanya dengan 2 jari di tangan kanannya :)

Pokoknya, pekerjaan apapun yang kita pilih, ---kantoran atau wirausaha, aku yakin akan selalu ada jalan. Saat merasa ragu sempatkan sejenak untuk menenangkan diri dan meyakinkan diri bahwa kita hebat. Berpikirlah positif, jangan dulu pikirkan soal kegagalan sebelum mencoba. Mendengar kisah-kisah inspiratif juga bisa membantu. Misalnya saja seorang temanku, Thie Santoso yang seorang Tuli (---ya, mereka lebih nyaman dipanggil begitu daripada dengan istilah tunarungu) sudah mengirimkan lebih dari 400 surat lamaran pekerjaan dan semuanya ditolak! Tapi lihatlah ia sekarang yang sukses dengan Yayasan Sampaghita nya. Atau mungkin Hunter Kelch, temanku dari Amerika yang beberapa waktu lalu sempat menulis untuk blog ini. Ia adalah pengidap Cerebral Palsy Quadriplegic yang sukses sebagai blogger profesional! :)

Alasan aku menulis ini semua bukan karena aku sudah sukses atau keren. Aku hanya ingin berbagi pengalaman karena yakin banyak sekali yang mengalami situasi serupa. Semoga ini juga menjawab pertanyaan teman-teman di "Masyarakat Skoliosis Indonesia" yang bertanya tentang bagaimana aku bisa mendapatkan pekerjaan bahkan sebelum lulus kuliah. Sekali lagi aku ingin mengingatkan kalau selalu ada tempat untuk semua orang, jangan takut duluan sebelum berusaha dan... be anything you want to be. Kita bisa! :)


Catatan:
Difabel atau disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.
(Sumber Wikipedia)


Ingin berpartisipasi dengan project  buku "Guruku Berbulu dan Berekor" Part 2 yang royaltinya didonasikan ke hewan-hewan terlantar? Kirim cerita menarik kalian dan hewan peliharaan ke namaku_indikecil@yahoo.com.


girl with a cheeky spine,

Indi

-----------------------------------------------------------------
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

20 komentar:

  1. Oh, saya baru tahu kalau diabetes dan semacamnya itu termasuk disabilitas. Soalnya pengetahuan saya minim siiih...

    Ohya, beberapa waktu lalu, saya sempat menginterview calon pengurus untuk menjadi pengurus di organisasi saya, yaitu Unej Mengajar. Ada salah satu calon, yang bagus banget di kinerjanya, dia memilih posisi yang cukup sibuk, tapi kemudian dia bilang bahwa dia punya jantung lemah, khawatir gak bisa berkontribusi banyak. Lah, saya yang mewawancarainya kan jadinya bingung, ini maksudnya apaaa.

    Saya juga merasa begitu, nggak perlulaah menyampaikan sakitnya apa, harusnya dia sadar, apakah job yang ia pilih itu sesuai dengan kondisi fisiknya atau tidak, karena divisi yang ia pilih itu cukup banyak menguras tenaga.

    Hampir samalah dengan pernyataan kak Indi, kalau nggak perlu menyampaikan keterbatasan fisik saat wawancara, cukup kita yang harus memahami keadaan fisik kita sendiri

    Selamat bekerja dengan gembira kak Indi Sugaaar

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan diabetesnya yang termasuk disabilitas. Tapi jika kondisinya menyebabkan hambatan maka bisa disebut "disabilitas". Begitu juga dengan scoliosis. Banyak scolioser yang capable melakukan aktivitas tanpa gangguan yang berarti, tapi pada kasus severe biasanya mobilitas pun terhambat, itu baru bisa dibilang difabel :)
      Kadang kalau situasinya "abu-abu" memang bikin dilema, di satu sisi mungkin ia merasa mampu secara mental, tapi secara fisik ia ragu. Yang wise harusnya kedua belah pihak, terutama dari si job seeker agar dipikir dulu matang-matang. Karena posisiku juga sebenarnya begitu, dari latar belakang pendidikan, dll sangat cocok, tapi secara fisik kurang pas. Akhirnya karena mereka sudah "jatuh cinta" (lol) dengan CV ku, mereka mencari jalan tengah dengan menyediakan partner bekerja. Tapi tentu gak semua perusahaan bisa begitu. Jadi sekali lagi, memang kedua belah pihak harus bijak :)

      Hapus
  2. Oyaya. Nice sharing, Indi. Di sekitarku banyak juga temen-temen yang bersikap dan beraktifitas seperti layaknya orang normal. Padahal mereka ada disabilitas. Salute for them! Menjadi penyemangat dan cambuk juga sih

    BalasHapus
  3. Nice sharing, Indi. Aku ngikutin blog kamu dari jaman sebelum kamu nerbitin buku "Waktu Aku Sama Mika", sampe kamu jadi penulis terkenal seperti sekarang hehe. Aku turut bahagia lho melihat sepak terjangmu beberapa tahun terakhir ini. Kisah kamu, menginspirasi aku untuk tetap gigih mengejar impian, supaya suatu hari nanti, aku juga membagikan inspirasi ini kepada orang lain yang membutuhkan. Ayo kita sama-sama berjuang ya, Indi. Semangaaattt!

    BalasHapus
  4. oh, berarti bisa diisi juga ya kak untuk msalah kondisi ksehatan kita. Masalah pekerjaan, betul juga tuh, biasanya belum juga belum dah ada kata takut gagal lah, belum dicoba pdahal.. Bagus sharingnya kak, termotivasi. Terus semangat, semoga kita semua bsa menggapai apa yg kita inginkan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh diisi jika dirasa perlu :) Terima kasih sudah mampir, ya :)

      Hapus
  5. Haloo ka indi, saya jg seorang scolioser yg sebentar lg selesai kuliah. Maksih ya ka tulisannya buat inspirasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo juga Hamzah. Semoga kuliahnya lancar ya. Sama-sama, semoga bermanfaat :)

      Hapus
  6. nice sharing, Mba. aku jadi tau juga kalo epilepsi diabetes termasuk difabilitas, dan baru tau kalo ternyata itu gak cuma yang terlihat.

    kalo hari libur aku juga sama, walaupun belum kerja foemal tapi kalo hari libur itu bikin seneng. hehee..

    tek tunggu karnya berikute mba.
    ini artikel yang mengispirasi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan epilepsi atau diabetesnya yang termasuk disabilitas, tapi kondisinya. Jika masih bisa beraktivitas secara normal, tentu gak termasuk :) Emang ya libur itu waktu yang paling ditunggu ;)

      Hapus
  7. Cieee, kembali menjadi wanita kariir, nih. :D Selamat ya, Mbak. Semoga sll diberi kesehatan, yes!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan wanita karirnya yang kembali, Mbak, karena aku memang bekerja. Tapi kembali bekerja formal alias kantoran yang mana baru come back setelah 2 tahun. Amen, terima kasih ya :)

      Hapus
  8. Setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Dan yakinlah Allah udah menetapkan rezki makhluk ciptaannya. Btw, selamat ya mbak buat job baru nya.

    BalasHapus
  9. Halo Kak! Saya juga kemarin pas libur nasional udah seneng banget sejak tanggal 14... KARENA BESOKNYA LIBUR. (Meanwhile orang-orang di luar sana seneng karena punya Valentine plan. Lyfe.)

    Saya juga sedang berjuang menemukan pekerjaan Kak, huhuhu. Dunia keras sekali untuk fresh grad tanpa riwayat kerja profesional X'))))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Good luck, ya! Setiap orang juga sebelum profesional pasti pernah jadi amatir, hehehe. Jadi pasti ada jalan :)

      Hapus
  10. Wah ulasannya lengkap kak, jadi paham lo kalao namanya disabilitas bukan hanya mereka yang pakai kursi roda dll, Wah semangat bekerjanya luar biasa nih, menjadi guru pree school memang butuh yang namanya kesabaran ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setiap pekerjaan tentu butuh kesabaran. Jadi guru preschool memang harus ekstra sabar tapi plusnya bisa ketemu bayi-bayi yang lucu! :)

      Hapus

Terima kasih untuk komentarnya, it's really nice to hear from you :)