Sabtu, 14 Januari 2017

Scoliosis, HIV/AIDS dan Skripsi

Sore itu aku menunggu Bapak pulang dengan nggak sabar. Gue ada janji dengan seseorang pukul 4 sore sementara waktu sudah menunjukan pukul setengah 4 sore, ---lebih sedikit. Desember selalu menjadi bulan yang sibuk untuk keluargaku. Ibu dan Bapak sibuk dengan pekerjaannya di bidang fashion, sementara aku sibuk dengan kegiatan yang berhubungan dengan hari AIDS sedunia. Tapi hari itu aku berusaha menyempatkan diri untuk bertemu dengan seorang mahasiswi dari salah satu universitas di Bandung. Aku sudah berjanji jauh-jauh hari, jadi meskipun sebentar aku harus bisa.

Menunggu Bapak untuk mengantarkanku wawancara.

Waktu akhirnya Bapak datang aku masih belum bisa lega. Sepanjang jalan sangat macet. Mungkin karena tempat kami janjian berada di pusat kota, mungkin karena banyak yang sedang menghabiskan libur akhir tahun, ---atau mungkin juga karena keduanya. Setelah masuk area parkir aku jadi agak menyesal karena memilih mall sebagai tempat pertemuan. Aku dan Bapak harus memutar beberapa kali sebelum menemukan tempat yang kosong. Uh, 15 menit, lho... Padahal maksudku memilih mall agar tempatnya mudah dijangkau dan jaraknya fair bagi kedua belah pihak, tapi malah begini :'D Kalau dipikir lucu juga ya, seharusnya sebagai warga Bandung aku sadar kalau musim liburan Bandung pasti jadi milik bersama :p

Seperti yang aku duga, Dyah, ---nama mahasiswi itu, sudah menungguku di area food court. Ah, rasanya nggak enak sekali karena sudah membuatnya menunggu selama 15 menit:( Dyah ingin mewawancaraiku sebagai narasumber untuk skripsinya yang bertema scoliosis. Rupanya ia juga seorang scolioser, ---yang kurvanya lebih kecil dariku, dan dulu sempat terapi di tempat yang sama denganku. Tanpa berlama-lama ia langsung mengeluarkan handphonenya untuk merekam dan mengajukan beberapa pertanyaan. Aku sudah sering menjadi narasumber, ---bahkan sebelum skripsiku sendiri selesai, hehehe, ---tapi kali ini agak berbeda karena pertanyaan-pertanyaan Dyah yang unik.

Sama seperti yang sudah-sudah, selalu ada pertanyaan 'standar' seperti, kapan aku tahu mengidap scoliosis dan tentang terapi-terapi apa saja yang sudah pernah aku lakukan. Tapi lalu Dyah bertanya tentang terapi favorite dan least favorite ku. Hahaha, biasanya pertanyaan seperti itu diajukan kalau bicara soal film, musik atau bahkan makanan kan :D Dyah juga bertanya tentang apa yang aku pikirkan jika ada game dengan tema scoliosis. Well, honestly meski aku berusaha 'memasyarakatkan' scoliosis dengan cara menyematkannya di daily basis, tapi soal game sama sekali belum pernah terpikir :O Genius! Rupanya Dyah memang ada rencana untuk membuat game scoliosis. Aku belum tahu seperti apa detailnya, tapi mendengarnya saja sudah membuatku super happy :D

Setelah wawancara selesai aku langsung pamit untuk pulang. Agak terburu-buru, tapi aku pastikan Dyah mendapatkan semua jawaban yang ia butuhkan. Aku berpesan padanya jika masih ada yang kurang bisa mengirimiku email dan akan kujawab kemudian. Fiuh, lega rasanya karena akhirnya ada janji wawancara skripsi di Bulan Desember yang terpenuhi. Sebenarnya di bulan yang sama cukup banyak yang memintaku menjadi narasumber, tapi sayangnya terpaksa harus aku tolak karena waktunya kurang pas. Aku selalu berusaha untuk menyempatkan memenuhi meskipun sebatas via email atau telepon. Kalau ada yang terlewat rasanya 'ganjel' sekali. Mungkin teman-teman heran kenapa aku segitu ngototnya soal skripsi ini. Memang apa untungnya untukku?

Bersama Dyah. Meski sedikit terburu-buru tapi semua pertanyaan sudah terjawab :)



Scoliosis, HIV/AIDS; Dua Hal Berbeda tapi Sama yang Jarang Dibicarakan

Aku didiagnosis mengidap scoliosis ketika berusia 13 tahun dan 2 tahun kemudian mengenal Mika yang ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Selain saling mencintai, kami juga punya persamaan lain yaitu memiliki 'sesuatu' di tubuh kami yang somehow orang jarang sekali mau membicarakannya. Aku masih ingat dulu ketika awal menggunakan brace (penyangga tulang belakang untuk scoliosis), keluarga besarku enggan sekali membicarakannya. Aku nggak yakin dengan alasan tepatnya. Entah karena denial, berpura-pura brace ku invisible atau malah karena menganggap scoliosis bukan sesuatu hal yang penting. Ibu dan Bapak pun awalnya begitu, mereka hampir nggak pernah membicarakannya kecuali jika memang harus sekali, ---seperti misalnya saat mendaftar ke sekolah baru. 

Karena sudah terbiasa aku pun jadi sempat menganggap apa yang mereka lakukan adalah benar. Aku jadi ikut enggan membicarakannya, bahkan saat ada teman satu kelas yang bertanya tentang kondisiku. Tapi pelan-pelan aku dan orangtua mulai sering membicarakan tentang scoliosis, terutama karena mereka akhirnya sadar bahwa apa yang aku alami bukan sekedar masalah 'kosmetik'. Ini mempengaruhiku 24 jam sehari dan sepanjang hidupku. Kami mulai berinisiatif untuk 'memasyarakatkan' scoliosis pada lingkungan sekitar. Aku di-encourage untuk memakai brace di luar baju dan bahkan menjadi narasumber untuk beberapa acara TV dengan didampingi Ibu dan Bapak.

Tapi jika bicara soal keluarga besar lain lagi ceritanya. Ada salah satu om ku yang nggak setuju jika aku bercerita tentang scoliosis di media, terutama TV. Beliau bahkan sampai mengutarakan keberatannya kepada Bapak. Alasannya sungguh membuatku tersinggung. Beliau berkata bahwa aku nggak perlu melakukan itu, dan dengan jujur soal kondisiku bisa membuat laki-laki 'berpikir dua kali' untuk dekat denganku (---padahal nggak ngaruh ya, yang naksir aku banyak, lol). Aku nggak akan cerita tentang detailnya, yang pasti ini sempat membuat orangtuaku meradang. Apalagi pernyataan om ku itu nggak mendasar; beliau hanya tahu scoliosis sebagai 'masalah' fisik. Syukurlah pada akhirnya om ku meminta maaf. Goal ku adalah agar suatu hari nggak ada lagi yang berpikir seperti beliau. Karena saat aku berbicara tentang scoliosis sebenarnya ada misi penting di dalamnya (---akan aku jelaskan di bawah).

HIV/AIDS mungkin sekilas terkesan jauh berbeda dengan scoliosis. Tapi semenjak mengenal Mika aku jadi sadar bahwa 'kondisi' kami nggak jauh berbeda. Sama seperti scoliosis, orang juga enggan membicarakan tentang HIV/AIDS. ---Bahkan lebih buruk lagi, pengidapnya mendapatkan stigma dan diskriminasi. Aku masih ingat ketika SMA teman-teman dan guru nggak begitu mengganggap Mika. Jika pun ia dibicarakan pasti hanya dari sisi negatifnya saja. Mika bisa melakukan seribu kebaikan dan orang masih juga nggak bisa melihatnya. Orang nggak akan peduli betapa Mika membuatku happy, membuatku lebih percaya diri dan hal-hal baik lainnya. Yang mereka lihat hanya satu: virus yang ia idap. Padahal Mika lebih dari itu. Mika adalah laki-laki tercerdas dengan sense of humor terbaik yang pernah aku kenal!


Speak UP! Raise the awareness!

Semakin dewasa aku semakin sadar bahwa berpura-pura dan menolak membicarakan scoliosis dan HIV/AIDS hanya membuat keadaan semakin buruk. Let's talk about scoliosis first. Berapa banyak orang yang tahu apa itu scoliosis? Berapa banyak orang yang tahu bahwa scoliosis bisa jadi sesuatu yang serius terutama jika kurva pengidapnya sudah besar? Sayangnya masih sedikit. Bahkan memiliki anggota keluarga yang mengidap scoliosis pun bukan jaminan memiliki pengetahuan yang cukup. Aku mengerti bahwa sebagian orang enggan membicarakannya karena dari luar scoliosis hanya terlihat seperti tulang yang bengkok. Padahal scoliosis bisa mempengaruhi kualitas hidup pengidapnya karena, ---of course organ tubuh lainnya pun ikut terpengaruh.

Aku bersyukur karena sekarang semakin banyak media yang bisa digunakan untuk 'bicara'. Dari berbagai macam sosial media, blog sampai situs-situs unggah video gratis. Aku bisa memberikan informasi yang benar (---well, aku berusaha) tentang scoliosis dan berbagi tentang kehidupanku sebagai seorang scolioser. Semakin banyak orang yang tahu tentang scoliosis maka semakin berkurang pula ke ignorant-an orang tentang isu ini. Scoliosis memang bukan hal yang menyenangkan, tapi deteksi dini bisa mempermudah koreksi dan penanganan pengidapnya. Sering kali aku menerima email dari para orangtua yang baru sadar anaknya mengidap scoliosis setelah menonton film Mika! Siapa sangka, hal sesederhana melihat caraku berjalan dan melihat lengkung punggungku di film bisa 'menyelamatkan' anak-anak remaja mereka. Banyak di antara mereka yang ketahuan saat kurvanya masih kecil sehingga belum membutuhkan operasi :)

Dengan berani berbicara juga membuat scolioser lain yang tadinya bersembunyi mulai bermunculan. Banyak di antara mereka yang ragu untuk bicara karena takut dibilang manja atau dikira ingin diistimewakan. Dan itu juga yang terjadi padaku dulu. Betapa takutnya untuk berbicara tentang kondisiku pada guru olahraga karena khawatir dinilai lemah dan menjadi bahan ejekan teman-teman. Dan hal terpenting yang "didapat" dari speak up adalah bisa membuat scolioser sadar bahwa mereka nggak sendirian. Saat sedang berjuang di ruang fisioterapi, saat sedang memakai brace 23 jam setiap hari, saat sedang menunggu di pinggir lapangan sementara teman-teman sekalas mengikuti pelajaran olahraga, ---mereka, kita akan ingat bahwa di suatu tempat ada scolioser lain yang juga sedang merasakan hal yang sama :)

Dan tentang Mika, aku merasa ia bisa mendapatkan lebih banyak kesempatan dalam berbagai hal jika saja orang melihat ia di luar status HIV nya. Menolak untuk membicarakan, berpura-pura nggak ada yang terjadi dan meng-ignore keberadaannya hanya membuat keadaan semakin buruk. Dan yang aku maksud sebagai 'semakin buruk' bukan hanya tentang Mika, tapi juga tentang mereka. Aku berani bilang dengan menolak Mika mereka miss out banyak hal seru dan menarik tentang Mika. Mereka nggak akan pernah tahu betapa cerdas dan betapa hangatnya kepribadian Mika hanya karena mereka 'takut' dengan HIV/AIDS. Aku nggak menyalahkan mereka, karena apa yang sudah melekat selama berpuluh-puluh tahun pasti susah sekali dihilangkan. Saat mendengar HIV/AIDS yang melintas di benak kebanyakan orang pasti kesan seram. Padahal benarkah demikian?

Karena menolak membicarakannya orang terkadang lupa bahwa HIV/AIDS 'sama saja' seperti flu dan virus lainnya. Siapa saja bisa terjangkit dan belum tentu karena apa yang dilakukannya. Tahukah kalian bahwa banyak ibu rumah tangga dan anak-anak yang juga berstatus sebagai ODHA? Dan jika pun ada orang yang terjangkit virus HIV karena lifestyle atau sesuatu yang mereka lakukan... we are all human after all. Kita nggak punya hak untuk men-judge atau berkata hal buruk tentang mereka. Mari kita mencoba menilai seseorang 'melampaui' apa yang ia idap. Perlakukan setiap orang sebagaimana kita ingin diperlakukan. Terdengar klise dan sangat PPKN, ---but it works, haha, trust me. Kenapa kita mengucilkan seseorang sebelum mengenalnya lebih jauh? Padahal kita nggak tahu apa pengaruhnya orang itu terhadap diri kita, ---bahkan orang banyak jika saja diberikan kesempatan.

Aku pakai Mika sebagai contoh kecilnya saja, bahwa banyak orang di sekitarnya yang miss out dengan kepribadian luar biasa Mika (---saat mengetik ini pun aku tiba-tiba teringat dengan aksi ala 'rockstar' nya yang membanting gitar imajiner, hahaha). Kita mungkin pernah membaca berita tentang seorang anak yang dikucilkan atau diusir dari desanya karena ia mengidap HIV. Atau malah pernah menonton video tentang anak yatim piatu yang sulit diadopsi karena ia mengidap HIV. Coba bicarakan tentang HIV/AIDS, speak up, ---edukasi diri sendiri dengan fakta-faktanya maka 2 headline tersebut akan terasa janggal karena tiba-tiba kita nggak lagi melihat ada kata "HIV" di judulnya. Siapa yang tahu di masa depan apa yang terjadi dengan anak-anak itu? Mereka bisa saja calon penemu hebat, calon pemimpin hebat, ---siapa tahu. Dan kita missing out hanya karena menolak kehadiran mereka.


Scoliosis dan HIV/AIDS Sekarang

Things will get better, aku percaya itu. Perjalanan memang masing panjang. Bahkan keluarga besarku belum 100% menerima baik tentang scoliosis (baca: kalau scoliosis itu nggak lebih dari masalah kosmetik a.k.a nggak penting) juga tentang HIV/AIDS. Tapi aku percaya nggak ada hal yang sia-sia, dan yang instan pun belum tentu baik. Aku menikmati perjalananku dalam memasyarakatkan scoliosis dan menghapuskan stigma pada ODHA. Aku nggak akan pernah berhenti speak up dengan cara memanfaatkan setiap kesempatan sekecil apapun itu. Kalau ini film Toy Story, situasi sekarang mirip seperti saat Woody dan teman-teman melihat claws saat hampir dibakar di pembuangan sampah. "I see the light", hehehe (---eh, kok malah film Tangled, lol). Sepupuku yang berusia 10 tahun bisa secara santai berbicara tentang bagaimana HIV bisa menjangkiti tubuh seseorang tanpa di "sssh" oleh orangtuanya karena dianggap tabu. Dan aku pun bisa tersenyum lebar ketika iparku bercerita bertemu dengan seseorang yang menggunakan brace di luar baju dengan penuh percaya diri. 

Sekali lagi, I believe things (will) get better. Berpura-pura nggak melihat apa yang terjadi di sekitar kita nggak membuat situasi menjadi lebih baik. Speak up, ---beritahu dunia bahwa kita ada. Bukan karena ingin diistimewakan tapi karena semua orang punya hak yang sama untuk mendapatkan kesempatan :)


Lagu yang aku ciptakan untuk teman-teman istimewa :) #scoliosisawareness


girl with a cheeky spine,

Indi

___________________________________________
*Ingin mendukungku dengan memiliki karya-karyaku? Klik www.homerianshop.com dan ketik judul novelku (Waktu Aku sama Mika/Karena Cinta Itu Sempurna/Guruku Berbulu dan Berekor) di kolom "cari".
*Ingin berkontribusi untuk novel Guruku Berbulu dan Berekor Part 2? Kirim cerita menarik dan menginspirasi kalian dengan hewan peliharaan ke namaku_indikecil@yahoo.com. Royalti untuk didonasikan ke penampungan hewan.


___________________________________


Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com

26 komentar:

  1. Sampe sekarang di lingkunganku masih beranggapan: Scoliosis is okay. Penyakit (penyakit bukan, sih? Let say 'keunikan')yang nggak masalah kalo orang tau. Jadi speak up juga nggak masalah. Tapi AIDS/HIV adalah sesuatu yang memalukan. Karena udah terstempel stigma kalo ODHA itu pasti lifestyle-nya gak bener.
    Agak kejem, sih. Secara orang ODHA kadang khan bukan salah dia, tapi nggak sengaja tertular dari pasangan atau diturunkan oleh ibu.
    Anyway, aku setuju banget, Ndi. Speak up bukan karena minta diistimewakan, tapi agar mendapatkan kesempatan yang sama. Semangat dan terus berkarya ya, Cyn!!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah, "sama tapi beda". Jadi speak up dalam scoliosis konteksnya bukan karena dianggap tabu, tapi justru karena dianggap gak penting jadi gak perlu dibicarakan. Aku harap semakin banyak scolioser yang "bicara" supaya semakin banyak yang sadar kalau scoliosis itu bukan cuma masalah tampilan fisik tapi juga mempengaruhi hal-hal lainnya.
      Aku di sini masukan scoliosis dan HIV/AIDS ke dalam 1 post karena "kebetulan" saja Mika ODHA :) Terima kasih, ya :)

      Hapus
  2. Suka dengar suaranya Indi :)
    Aku sangat tersentuh membaca kisahmu In..kamu luar biasa,dan aku kagum akan optimisme yang kamu punya. Tetap semangat ya sayang :) Tuhan memberkati

    BalasHapus
  3. waw, keren kak
    hmmm, saya masih belum menemukan teman/kerabat/saudara yang mengidap scoliosis dan hivaids selama ini, jadi jarang membicarakannya.
    pun, kalau dibicarakan, saya tidak merasa tabu, karena sudah sering membahas (membaca di sini, membahasnya dalam hati >.<), lalu ya saya sudah terbiasa, ya biasa saja
    mungkin berbeda dengan teman2 yang mungkin akan merasa tabu karena jarang mendengar istilah tersebut, juga edukasinya kurang sih, mereka jarang mbaca siiih >.<

    kak, kapan ke jember? berkabar yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin bisa kamu bantu dengan share cerita tentang scoliosis dan HIV/AIDS sama teman-temanmu. Jadi kalau suatu hari dengar dari orang lain mereka gak anggap tabu lagi :)

      Hapus
    2. Ke Jember mau banget, tapi belum ada undangan ke sana baru sampai Surabaya dan Malang, huhuhu. Mudah-mudahan tahun ini ada kesempatan ya, pasti aku kabari di sini :)

      Hapus
  4. Yah menurut saya Indi memang spesialisasi pada scoliosis dan HIV/AIDS dan kagum dengan segala usaha untuk mengedukasi masyarakata tentang hal tersebut. Karena ini pengalaman pribadi saya yakin orang akan percaya dan yang tadinya cuek semoga akan semakin perhatian karena ini adalah hal umum yang bisa terjadi pada siapa saja.

    Saya optimis kedepannya kita akan bisa diterima karena masyarakat sekarang makin smart dengan melihat suatu masalah tidak hanya dari sisi buruknya saja tapi secara keseluruhan dari A - Z.

    Harapan saya akan ada banyak 'Indi lain' dengan spesialisasi berbeda yang selama ini masih bersembunyi karena berbagai alasan, bisa muncul dan menceritakan apa yang terjadi pada mereka, supaya masyarakat tahu bahwa mereka ada.

    Jika ada 1 orang tidak perduli masih ada 1000 yang perduli. Speak up!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, aku juga berharap begitu. Jangan takut untuk membicarakan sesuatu. Kan bagaimana kita mau didengar kalau bicara saja gak pernah? :)

      Hapus
  5. kagum sama perjuangan lo, mbak :')
    kadang orang sudah minder duluan karena 'beda', tapi lo berani speak up dan bikin orang lain terinspirasi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang bikin minder biasanya dari lingkungan luar. Padahal kalau diperlakukan sama, siapa juga gak akan merasa beda. Misalnya aja ada anak yang pakai wheelchair, saat di rumah mungkin dia merasa okay. Tapi waktu keluar dan ada bilang bahwa dia "beda", baru terasa. Jadi lingkungan terdekat juga penting sih buat mengedukasi anak/anggota keluarga supaya berani show their true colors, alias gak perlu minder :)

      Hapus
  6. ih kak indi narasumber yang baik ya, kalo ada yang lupa ditanyain bersedia buat nerima sama bales email, kan narasumber suka ada tuh yang gak semengerti kak indi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin bukan gak mengerti, tapi mereka sibuk, hihihi :)

      Hapus
  7. Keep inspiring ya Indi... Dulu aku sempat kerja berhubungan sama HIV/AIDS ini dah emang ngga mudah memberikan informasi ke masyarakat yang udah ketakutan & parno sama penyakit ini. Padahal informasi yang tepat justru harus diberikan agar penyebarannya dapat dicegah dan dihentikan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih :) Parno itu padahal akibat ketidaktahuan, ya :)

      Hapus
  8. Kadang kita perlu berpikir positif ya, husnudzan :))
    Nggak semua ODHA itu kena penyakit karena lifestyle-nya, tapi karena mayoritas yg kena gara2 itu makanya suka di generalisasi sama masyarakat awam.
    Tetaplah bicara Indi, tulisanmu mungkin bisa membuka hati banyak orang.

    BalasHapus
  9. Indi emang care ama sesama .... *thumbs up

    BalasHapus
  10. First pic..... Bikin salah fokus banget

    KAWAIIII!!
    KIYOWOO AEGYOO :3

    Kak Indi kayak Eunha, member girlband GFRIEND, salah satu yang lagi top banget di Korea <3

    ^^

    Keep inspiring miss!
    Seperti kata pepatah, Cegah/Jauhi Penyakitnya.
    Bukan penderitanya :'(

    BalasHapus
  11. Sukses terus ya kak Indi.
    kebetulan aku juga punya temen yang mengidap penyakit Scoliosis, dia baru saja selesai operasi tulang belakang.
    memang benar ya, setiap penderitaan membuat kita menjadi pribadi yang lebih kuat dari sebelumnya.

    BalasHapus
  12. Yapp... Begitulah sifat dasar manusia... Loe lakuin seribu kebaikan dan ketika loe ngelakuin satu kesalahan, maka lenyap tuh 1000 kebaikan loe, and then stigma lagi... Malas gua bicarain hehe...

    BalasHapus
  13. hallooo neng Indi yang imut, baik suka berbagi ...
    membacanya terasa ada tambahan aliran semangat.

    Qadarullah,
    ALlah menjadikan hambaNYA dengan berbagai "keistimewaan".
    Nikmati dengan penuh syukur ...
    Ada "keindahan dan kebahagiaan" tersendiri
    yang belum tentu orang lain dapat menikmatinya.

    SO touching..inspiring ...
    selalu berbagi manfaat untuk lainnya :)

    BalasHapus
  14. Kak Indi humble banget eeee, masih bisa berbagi meskipun--" bahkan sebelum skripsi gue sendiri selesai, hehehe, " salute.

    BalasHapus
  15. tahun 2020 kak indi pernah komen di salah satu tulisan blogku, dan aku baru sempat buka blog kak indi. one of my fav penulis krn "Waktu Aku Sama Mika"

    BalasHapus

Terima kasih untuk komentarnya, it's really nice to hear from you :)