Selasa, 27 Juli 2010

Plagiator Oh Plagiator...

It’s me, Indi :)



Halo aku Indi!
Hehehe, pernah ada yang penasaran nggak sih kenapa aku sering banget "mengenalkan diri" sebelum menulis sesuatu? Sebenernya sih alasannya sederhana aja. Ini kebiasaan sejak kecil karena di sekolah dulu aku bukan tipe anak yang dikenal. Dengan kata lain, "I'm no body".
Sejauh yang aku ketahui, nggak ada seorang anakpun yang ingin sepertiku. Aku tipe anak clumsy dan rada dorky. Setiap hari diantar jemput dan kalau jam istirahat duduk manis di kelas, bawa bekal makanan dan novel tebal (aku satu-satunya anak yang baca novel Harry Potter di SMP, hahaha). Banyak orang yang keliru panggil namaku. Harusnya "Indi", tapi malah jadi "Indri".

Jadi, suatu hari, waktu aku temuin ada orang-orang yang ingin sepertiku... Aku terkejut!


***

Waktu itu aku masih di tahun awal kuliah dan baru 1 tahun belajar jadi blogger. Aku punya 2 buah blog. Yang pertama "Dunia Indian Kecil" dan yang kedua "Dari Mika di Surga". Jangan bayangin blogku itu berisi kata-kata cerdas nan bermanfaat. Kedua blogku isinya cuma curahan hati pribadi yang sederhana dan apa adanya. Khusus di blog kedua, aku bercerita tentang Mika, pacarku semasa SMA yang meninggal dunia karena AIDS.
Aku senang menulis tentang Mika. Karena buatku dia lebih dari sekedar pacar, tapi juga pahlawan. Banyak pelajaran yang aku dapat dari dia. Terutama tentang "cinta tanpa syarat". Sederhana dan bikin aku berbesar hati sebagai seseorang yang "bukan siapa-siapa".

Tapi sayangnya surat-surat pribadiku untuk Mika yang dipublish di blog mulai diambil orang. Yang pertama, tanpa sengaja aku baca sebuah puisi dengan judul yang sama seperti postinganku. Karena nggak mau berburuk sangka, (I'm nobody remember? Nggak mungkin ada orang yang mau sepertiku) aku putusin buat baca puisinya secara utuh. Lalu, ah.. air mataku segera meleleh. Puisi itu sama persis seperti yang aku tulis. Setiap kata, setiap rima yang dipakai. Bedanya cuma nama "Mika" diganti menjadi "kamu".
Ya, aku sadar, aku cuma pemula yang karyanya masih biasa-biasa aja. Tapi aku menangis karena jerih payahku membuat puisi spesial untuk almarhum tersayang malah dipakai sama orang yang belum tentu merasakan apa yang aku rasain. Begitu tega. Begitu mudah dia mengcopy lalu paste sesuatu tanpa melalui proses berpikir...

Aku kebingungan dan nggak tau harus melapor kemana. Teman-teman bloggerku yang prihatin malah memaki-maki di blog sang plagiator. Aku kurang suka dengan cara itu, karena semarah apapun, aku nggak setuju untuk menggunakan kata-kata kasar yang malah menunjukan betapa "liar" dan "tidak tahu sopan-santunnya" seseorang.
Akhirnya, seorang teman--blogger senior-- memberikan no HP admin blog tersebut. Di hari yang sama aku langung SMS dan menceritakan semuanya. Butuh waktu berminggu-minggu sampai postingan itu menghilang dari blog si plagiat...


Ternyata kejadian itu bukan untuk terakhir kalinya. Di akhir taun 2008 aku dapat kabar gembira dari sebuah penerbit. Mereka berminat untuk menerbitkan novel pertamaku yang diberi judul "Waktu aku Sama Mika". Ya, itu adalah novel yang aku dedikasikan untuk Mika. Sangat spesial dan aku tulis dengan sepenuh hati.
Aku sangat excited menunggu novel itu terbit. Sampai-sampai setelah mendapat kabar kalau novelku siap terbit, aku langung googling sana-sini untuk cari tau (hihihihi, jadi malu). Dan ternyata memang betul, novelku sudah masuk list "coming soon" di website penerbitnya :)

Tapi semakin dekat ke tanggal terbit (waktu itu Maret 2009), aku menemukan sesuatu yang aneh di blog "seseorang" (he used to be my friend!). Awalnya aku pikir dia bikin tulisan untuk promosi novelku. Tapi ternyata dia pakai tulisan-tulisanku untuk ikut lomba!
Aku kaget, sekaget-kagetnya karena nggak nyangka tulisanku malah dipakai untuk sesuatu yang bersifat komersil. Aku coba untuk sabar dan mengingatkan dia secara halus. Aku bilang, lebih baik pakai karya sendiri karena kalaupun menang atau kalah nantinya, pasti rasanya lebih memuaskan daripada pakai karya orang lain.
Dan... Kalian tau apa balasannya?


"Enak aja nuduh gue plagiat! Gue tuh udah email lo buat minta izin, tapi nggak dibales. Lagian tulisan gitu doang dipermasalahin. Ogah gue minta maaf sama lo!"



Hmm, agak aneh ya jawabannya? Masa sudah jelas meniru tapi nggak mau disebut plagiat? Lagipula meminta izin tapi nggak dapat izin kan artinya memang nggak dapat izin. Itu sangat menyakitiku. Terutama di part "tulisan gitu doang". Karena seburuk-buruknya tulisanku, itu tetap hasil pemikiran otakku. Nggak sepantasnya dia bilang seperti itu. Kalau memang buruk, kenapa dia meniru coba?...

Kasus ini nggak ada ujungnya. Si teman entah kemana dan sampai detik ini dia nggak pernah minta maaf. Tapi setidaknya karya dia batal dilombakan. Oh, ya hanya untuk meluruskan imajinasi kalian. Mungkin kalian membayangkan kalau orang yang meniru karyaku ini masih remaja, ya? Salah! Dia hampir seumur dengan bokapku.


Novelku akhirnya terbit 1 bulan kemudian. Bangga rasanya waktu copy pertamanya dikirim ke rumah. Sampai-sampai aku buka halamannya pelan-pelaaaaan banget. Takut sobek, hihihihi.
Masih ada sedikit kekhawatiran ceritaku  dicopy orang lagi. Tapi dengan berbekal kontrak & ISBN, rasanya nggak mungkin masih ada orang yang bakal nekat meniru.

Tapi ternyata aku salah...
Lewat Facebook aku berkenalan dengan anak ini. Ya, anak. Dia masih SMA. Awalnya dia mengaku sebagai pembaca "Waktu aku Sama Mika". Lalu suatu hari, dia meminta izin untuk post kutipan dari novelku ke note'nya. Aku bilang nggak apa-apa asalkan dicantumkan aja sumbernya.
Minggu-minggu berlalu, aku hampir lupa kalau ada anak yang mau post tulisanku. Iseng-iseng ku intip page'nya. Dan... alangkah kagetnya aku karena dia bukan cuma "mengutip" tapi mempost 4 puisi untuh tanpa menyebutkan sumber. Lebih menjengkelkannya lagi, dia ganti nama Mika dengan nama lain yang menurut pengakuannya adalah nama dari mantan pacarnya yang sudah meninggal.
Sebagai manusia biasa, aku bisa berempati. Aku tau gimana rasanya kehilangan. Mungkin aja dia mau bikin sesuatu yang spesial untuk mantannya tapi nggak tau caranya. Tapi ini nggak bisa aku biarin. Anak itu mengaku kalau puisiku adalah karyanya. Jerih payah dia sendiri. Sampai-sampai di wall dan komen note'nya, dia sering sekali bilang, "Iya, itu karya aku. Aku memang suka nulis, tapi baru kali ini dipublish. Terima kasih ya sudah suka tulisan aku,"
What the... Oops, aku harus tetep sabar. Dengan bahasa sehalus mungkin aku kirim pesan sama dia. Isinya sederhana dan pendek, cuma meminta supaya di note ditambahkan nama penulis aslinya.
Tapi saudara-saudara... Tau apa yang aku dapet kemudian?
Dia remove dan block FB ku!
Beberapa teman dan pembaca yang prihatin turut menasehati anak itu. Yang didapat nggak beda jauh denganku. Pesan-pesan mereka dihapus dan mereka diremove. *sigh*
(Dasar anak zaman sekarang, ckckck... Lol)


Beberapa bulan lalu tulisanku juga dicopy sama seorang mahasiswa dari universitas terkenal berinisial "G". Setelah sebelumnya aku selalu menegur langung penjiplaknya, kali ini aku memutuskan untuk lebih serius (sudah 4 kali, lama-lama bikin kesel juga...). Aku laporkan anak ini ke polisi. Aku nggak peduli ditanggapi dengan serius atau nggak, yang penting aku mencoba.
Ternyata prosesnya cukup sulit dan berbelit-belit. Apalagi polisi sempet salah pengertian dan mengira aku ini siswa SMA yang tugas karangannya dicontek teman sekelas (Oh, come on!). Akhirnya karena nggak ada ujungnya aku langung menghubungi kampus tempat mahasiswa itu kuliah. Dua hari, akhirnya aku dapat tanggapan. Pihak kampus memohon maaf dan berjanji akan mencabut nilai untuk mata kuliah tertentu. Ternyata tulisanku dipakai buat tugas kuliahnya. Gosh...
Aku nggak mempermasalahkan lebih lanjut. Aku bilang nggak apa-apa selama nggak diulang lagi. Meskipun, ya... ada tulisan di bawah copy'an mahasiswa itu yang bikin aku agak bete. Katanya, "Jangan dicopy, yaaa... Karena itu namanya plagiat,"
*nah itu tau...*


Sebetulnya ceritaku nggak habis sampai di sini. Masih ada 1 kasus lagi yang mau aku ceritain. Tapi berhubung anaknya masih 13 tahun, jadi aku tunda dulu "tegurannya". Tapi bukan berarti aku cuek, lho. Aku cuma nunggu saat yang tepat aja. Lagian, dia blogger disini juga, kok. Siapa tau aja dia kebetulan baca tulisanku. Dan seandainya dia baca, aku mau sampaikan ini sama dia,

"De, makasih ya sudah baca novel 'Waktu aku Sama Mika'. Aku lihat blog kamu, sepertinya kamu pandai menulis. Tulisanmu bagus, halus dan bahasanya baik. Saranku, teruslah menulis, siapa tau bisa berguna untuk yang membaca.
Oh, ya makasih juga sudah post tulisanku di blog kamu. Tapi jangan kamu tambah-tambahkan, ya, dear? Mika itu memang ada. Dia pasti sedih kalau tau kamu tulis cerita yang nggak betul kaya gitu..."

Salam,
Indi


Ps: Bloggers yang baik. Aku selalu yakin jadi diri sendiri lebih baik daripada meniru. Meskipun tulisan aku biasa-biasa aja, tapi memang beginilah aku. Dan aku bangga dengan ini. Jadi diri sendiri itu indah. Aku rasa ini cara sederhana untuk memaksimalkan potensi yang diberi oleh Tuhan :)

Rabu, 21 Juli 2010

Welcome to Our Family, Eris!

Nama: Eris Von Black Mumba
Lahir: Jakarta, 22 Mei 2009
Saudara: 1 saudara kembar (Rhea) dan 1 kakak perempuan (mendiang Veggie)
Hobi: Main di halaman dan ngobrol dengan Tn. Jeruk


Kehadiran Eris memang nggak terduga. Awalnya justru aku sempet kebingungan karena karakternya yang kelewat tenang. Khawatir dia sakit atau shock berat. Tapi ternyata dia bisa bikin aku, keluarga dan semua orang yang mengenalnya jatuh cinta...

***

Februari 2010 lalu, hanya 2 bulan setelah kematian Veggie, anjing golden retrieverku, ada seorang ibu yang menawarkan anjingnya untuk diadopsi. Katanya anjingnya betina, masih bayi dan berkarakter baik. Aku langsung tertarik. Tapi kemudian... ragu. Aku sama sekali nggak mengenal ibu ini (dia teman nyokap). Apalagi lokasi kami yang berbeda kota.

Meski aku ragu, tapi aku putusin untuk cari tahu latar belakang Eris. Aku dan ibu itu mulai sering SMS'an. Dari ceritanya, Eris ternyata punya 2 saudara dan semuanya akan dijual, termasuk Eris. Mulanya Eris akan dibeli sama seseorang di Bandung, tapi karena suatu hal (yang aku nggak pernah tau alesannya), Eris nggak jadi dibawa ke Bandung. "Pembelinya kurang pas. Mau cari rumah yang lebih baik," itu kata si ibu.
Lalu ibu itu mendengar cerita tentangku. Gadis yang lagi bersedih karena kematian anjing kesayangannya yang lucu. Ia lalu memutuskan untuk menghubungiku dan menawarkan anjingnya untuk diadopsi. For free. Gratis. Meskipun calon pembeli awal sudah setuju untuk mengeluarkan biaya sebesar 4 juta...

Tanpa berpikir dua kali, aku langsung setuju untuk mengadopsi Eris. Aku belum tau Eris seperti apa. Melihat fotonya aja belum. Satu-satunya petunjuk yang diberi ibu itu cuma: Eris itu lucu.
Entah kenapa di imajinasiku Eris itu anjing golden retriever berwarna gelap dan berbadan kecil, sama sekali nggak mirip dengan Veggie. Tapi itu kan cuma khayalan, aku nggak akan tau sampai ketemu Eris langsung nanti.


Sekitar jam 11 pagi aku diantar nyokap dan sekretarisnya pergi ke Jakarta. Perjalanan cukup melelahkan. Pinggangku sakit beberapa kali, tapi semangat untuk ketemu Eris berhasil bikin aku bertahan. Tiga jam kemudian akhirnya aku sampai ke rumah ibu baik hati. Rumahnya luas, indah dan ada kolam renangnya. Dalam hati aku langsung bilang, "Wah, beruntung sekali Eris. Kalau dibawa ke Bandung kasian juga harus ninggalin ini semua...". Lol.
Belum sempat aku masuk ke ruang tamu, 4 ekor anjing udah menyambut kedatanganku, nyokap dan sekretaris. Semuanya golden retriever. Tapi perhatianku langsung tertuju ke golden kecil berwarna gelap. Anjing itu mirip sekali dengan apa yang di khayalanku. Langsung aja aku peluk dia sambil teriak,
"Eris.. Eris... Kamu Eris, kan?"
Semua langsung natapku heran. Lalu ibu baik hati itu bilang,
"Kok langsung tau? Itu memang Eris".


Eris OTW menuju rumah barunya.



Pertemuan dengan Eris begitu berkesan. Eris langsung akrab sama aku sampai-sampai mukaku basah sama liurnya. Aku nggak banyak bicara sama ibu itu, kecuali nggak henti-hentinya bilang, "Makasih.. makasih banyak...".

Lalu ibu itu cerita lengkapnya kenapa ia kasih Eris dengan cuma-cuma. Ternyata di hari waktu Eris mau dibawa ke Bandung, anak si ibu yang baru bangun tidur tiba-tiba melarang Eris untuk dijual. Katanya,
"Mama, kasih aja anjingnya sama Indi. Cepet, sekarang juga,"
Nggak pake alesan. Nggak ada alesan... Dia cuma pengen anjingnya untukku.
Aku juga nggak berani nanya lagi. Aku udah terlalu senang untuk punya Eris.



Di rumah barunya Eris langsung akrab denganku.


Eris 10 bulan.



Cuma 2 jam aku di sana. Setelah itu aku langsung bawa Eris pulang ke rumah barunya. Sedikit khawatir di sini nggak ada kolam renang ataupun AC, meski soal cinta sudah pasti dia pasti dapat banyak. Tapi ternyata Eris bisa adaptasi dengan cepet. Dia cuma nangis di malam pertama. Malam-malam selanjutnya dia langsung akrab dengan seisi rumah. Sifat pendiamnya memang nggak hilang. Tapi itu justru bagus dan PAS banget denganku yang nggak bisa lari-lari (aku pengidap scoliosis).
Eris langsung jadi pelengkap keluarga kami. Memberikan kebahagiaan dan mengobati rasa kangen karena ditinggal Veggie. Ia bahkan merayakan ulang tahun pertamanya disini. Di keluarga barunya....

Welcome to our family, Eris :)



Cake ultah pertamanya. Hanya simbolis karena anjing gak boleh makan cokelat, lol.

Senyum birthday girl.



Senin, 19 Juli 2010

Scoliosis Is a Gift From God

Hi, aku Indi. Aku bahagia, menyelesaikan sekolah dengan baik dan juga seorang scolioser.
Ya, scolioser atau pengidap kelainan tulang belakang yang abnormal kearah samping di leher, dada dan pinggang yang biasa disebut scoliosis.
Waktu aku menulis postingan ini, kelengkunganku 55 derajat. Jalanku timpang dan kesulitan untuk menggerakkan tubuh bagian kanan. Tapi seperti yang sudah aku sebutkan di atas, aku bahagia. Dan aku menganggap scoliosis sebagai anugerah dari Tuhan.



***

Aku masih berusia 9 tahun waktu tahu ada yang aneh dari tubuhku. Sebagai seorang gadis kecil yang sedang mengalami masa pra pubertas, aku mulai mencoba-coba untuk memakai mini set (itu lho, training bra for young lady. Lol). Anehnya, kedua buah dadaku nggak fit di cup mini set. Awalnya nyokap pikir itu karena usiaku yang masih terlalu muda, tapi ternyata kecurigaanku makin bertambah waktu aku menginjak usia 11 tahun.
Aku mengalami menstruasi pertama dengan nyeri yang amat sangat. Ortuku nggak tahu apa penyebabnya. Begitu juga dengan dokter anak yang menanganiku sejak lahir. Dia nggak lihat ada yang salah dari tubuhku.


Hari ini, scoliosis 55 derajat.



Lalu di usia 13 akhirnya aku dapet jawaban pasti atas keanehan yang ku alami. Tanpa sengaja, aku baca artikel tentang scoliosis disuatu tabloid kesehatan. Hanya untuk iseng aku mencoba tips "Cara Mendeteksi Scoliosis". Aku mulai membungkuk dan melihat pantulan tubuhku di cermin. Kaget. Ada yang salah. Punggung bagian kananku tampak menonjol seperti hampir lepas. Waktu itu aku sedikit panik, tapi mencoba tenang dan menceritakan semuanya pada ortu. Beruntung mereka langsung membawaku ke RS khusus tulang.

Hasil pemeriksaan dokter menunjukan kalau kemiringan scoliosisku sudah 35 derajat. Belum termasuk parah, tapi tinggal 5 derajat lagi untuk masuk kategori parah.
Dokter langsung menyarankanku untuk pakai brace alias penyangga tulang belakang. Tadinya aku ngotot buat nolak, soalnya selain bentuknya yang nggak manusiawi (sekeras besi, menutupi seluruh bagian tubuh sampai panggul dan hanya ada 3 buah lubang "bernapas": di ketiak dan di pusar!), aku juga harus pakai selama 23 jam sehari. Tapi akhirnya aku nyerah juga, soalnya otak sadarku 100% tahu, kalau tanpa brace tubuhku justru malah nggak terkontrol. Suka gerak sana-sini yang malah memperparah scoliosisku.


Sesi terapi yang menyenangkan.


Pemotretan untuk majalah sport.



Aku harus kompromi sama banyak hal semenjak aku pakai brace (baca: semenjak ketahuan scoliosis). Aku nggak bisa lagi lari, loncat, noleh sana-sini dan bebas pakai semua model baju. Kompromi sama hal terakhir jadi yang paling sulit buat aku sebagai seorang remaja. Aku cuma bisa bilang "Da-dah" sama koleksi T shirt ketatku. Soalnya kalaupun nekat aku pake, bisa-bisa tonjolan skrup kelihatan jelas dan aku malah kelihatan kaya robot, bukannya keren! Begitu juga dengan kegiatan modeling yang otomatis harus aku tinggalin (aku sering jadi model untuk butik di tempat nyokap dulu bekerja). Bikin aku sedih dan nggak tahu kegiatan apalagi yang pas buatku.


Gueststar di launching Masyarakat Skoliosis Indonesia.


Profilku di majalah GoGirl!


Profil dan resensi novelku di M Teens.


"Waktu Aku sama Mika". Novel tentang kehidupanku sebagai scolioser.



Tapi lalu Tuhan kasih aku alternatif lain untuk tujuan hidup. Semenjak aku nggak lagi bisa bebas main di luar rumah seperti anak-anak lain, aku mulai menulis. Menulis, menulis dan menulis. Sampai akhirnya aku lupa dengan cita-cita yang pengen jadi model. Terbukti, walau lambat tapi pasti Tuhan semakin menunjukan kalau scoliosis dan aku adalah padanan yang paling sempurna. Dimulai dari artikel kecil di majalah remaja sampai novel akhirnya bisa aku hasilkan. Semua itu Ia tunjukkan melalui scoliosis.

Kadang aku masih mengeluh dengan rasa sakit yang aku alami. Masih sebal kalau panggulku sakit.  Atau masih manyun kalau lagi buru-buru tapi nggak bisa jalan dan naik tangga dengan cepat. Tapi itu jarang terjadi. Jarang sekali, malah. Seringnya aku malah menganggap kalau scoliosis itu anugerah dari Tuhan. Dengan kata lain, kado, hadiah atau berkat.

Aku nggak bisa bayangin diriku tanpa mengidap scoliosis. Mungkin aku nggak akan pernah seperti ini, nggak akan pernah tahu kalau aku sebenernya bisa menulis dan punya fungsi dalam hidup. Aku bukan aku yang sekarang kalau tanpa scoliosis. Seandainya ada yang ingin menukar hidupku sekarang dengan apapun, aku nggak akan pernah mau. Ini yang terbaik untukku. Ini jalan Tuhan!...



Resensi novelku di Jawa Pos.


Profilku di majalah Kartika.






My Page (FB): Indi Sugar
My Group (FB): Waktu aku Sama Mika





Kamis, 08 Juli 2010

Siapa Mau Jadi Sarjana?

Siapa diantara kalian yang punya gelar sarjana diusia 22? Ada? Salut untuk kamu.

Ceritaku berawal ketika aku menjadi fresh graduate dari sebuah SMU swasta. Nilaiku bagus, meski bukan yang terbagus. Rata-rata delapan dengan ijazah yang membanggakan (boleh lah dipajang. Lol). Tapi aku nggak punya universitas impian, sama sekali. Apalagi jurusan impian, aku sama sekali blank dengan dunia perkuliahan.
Waktu itu aku memang sangat kekanakan, nggak mau repot-repot ambil tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa, ngambek waktu disuruh ikut test masuk sama ortu. Tapi akhirnya terbujuk juga ikut test di dua universitas swasta di kotaku. Di universitas pertama, secara random aku ambil jurusan psikologi, hukum dan komunikasi. Di universitas kedua, lagi-lagi secara random aku ambil jurusan seni musik dan hubungan internasional.
Hmm, aku sama sekali nggak ngerti dengan jurusan-jurusan yang ku pilih itu sebenernya. Apalagi waktu SMA aku masuk jurusan IPA, jadi aku blank banget dengan segala ilmu sosial. Tapi ya, namanya juga random. Jadi kalau diterima syukur, nggak juga nggak apa-apa. Toh aku belum siap jadi seorang mahasiswa.

Nggak disangka, 4 dari 5 jurusan yang aku pilih ternyata lolos. Lagi-lagi (lagi...) secara random aku pilih universitas yang kedua. Tapi waktu ditanya aku mau masuk jurusan apa, aku bingung antara seni musik dan hubungan internasional.
Waktu SMA aku anggota tetap kelompok choir. Pengen banget aku terusin minatku itu ke bangku kuliah. Tapi di sisi lain aku juga suka mempelajari bahasa, jadi Hubungan Internasional pasti cocok buatku.
Setelah dipikir cukup lama, aku putusin untuk ambil seni musik. Dan pilihanku ternyata nggak salah...

Aku merasa diterima di sana. Dalam waktu singkat aku bisa dapet banyak temen dan akrab dengan dosen-dosennya. Aku nggak peduli keberadaanku sebagai perempuan yang jadi minoritas di kelas. Dari 30an anak, hanya ada 2 orang perempuan.
Pengalamanku sekolah drum selama 2 grade memang nggak bantu terlalu banyak. Banyak anak laki-laki yang (bahkan) belajar secara otodidak lebih jago dari aku (lol). Tapi itu sama sekali nggak nurunin semangatku untuk belajar. Malah minat aku sebagai "player" pun berganti seiring berjalannya waktu. Aku mau jadi menejer musik. Itu ku pikir. Karena di seni musik selalu ada "jalan" meski nggak terlalu pandai memainkan instrumen.

Sayangnya baru 1 semester aku harus pindah dari seni musik. Alasannya ortu ngerasa pilihanku di sana nggak terlalu tepat. Mereka memang masih sedikit kolot, kadang meragukan kesempatan bekerja dari lulusan jurusan seni musik. Aku ngerti sebagai ortu mereka khawatir dengan masa depanku. Tapi aku nggak mau nyerah gitu aja.
Aku tetep pergi ke kampus seni musik meski aku bukan lagi mahasiswa disana. Status baruku sebagai mahasiswa hubungan internasional sama sekali nggak aku pake. Aku cuma mampir sebentar terus cabut sampai sore di kampus lama. Anehnya beberapa mahasiswa dosen masih nggak ngeh kalau aku sebenernya bukan mahasiswa di sana lagi. Padahal aku sering menyusup masuk kelas, lho disela-sela mata kuliah mereka.

Mengejar ketinggalan di HI (Hubungan Internasional) juga bukan hal gampang. Mata kuliah yang aku ikuti bener-bener berbeda dengan apa yang aku dapet di seni musik. Di mataku HI terlalu kaku, terlalu banyak politik dan nggak mengenal bersenang-senang. Itu termasuk para mahasiswanya. Aku nyaris nggak mengenal 1 orangpun sampai 1 tahun kemudian. Untung aja akhirnya aku nemu 2 orang sahabat yang salah 1 nya awet sampe detik ini :)

Tahun demi tahun (wah, bahasanya, hehehe) aku lalui di HI. Adaptasiku cuma sedikit membaik. Bolos berkurang dan mulai dekat dengan beberapa dosen. Aku sering gagal di beberapa mata kuliah. Malah sempet kena kasus yang agak memalukan. Gara-gara nggak bisa jawab satupun soal UTS, aku nulis surat di lembar jawaban yang isinya adalah curahan hati aku. Dengan jujur aku tulis kalau aku selalu boring ikut mata kuliah tsb (dirahasiakan ya nama mata kuliahnya. Lol) dan kadang aku ketiduran di bangku belakang. Semua itu aku tulis dengan bahasa Inggris. Nggak tau deh aku lagi kerasukan setan bule kali. Lol.
Hasilnya, aku pun dikejar-kejar sama dosen yang bersangkutan selama 1 semester lebih. Nilai mata kuliahku kosong dan SP (Semester Pendek) aku nggak diterima! O ow... Bad Indi... Setelah itu aku langsung menyesal dan janji mau perbaiki semua. Setelah kasih rayuan-rayuan maut (baik-baikin) sama Pak Dosen, akhirnya aku diizinin ikut satu kali SP (huhuhu...).

Baru ditahun akhir aku bisa lebih fokus dan bisa ngejar ketinggalan nilai-nilaiku. Nilai-nilai ku yang C perlahan berganti jadi B bahkan ada juga yang A. IPK ku semakin mendekati angka 3. Biar kata orang aku udah telat buat tobat (halaaaah, hahaha), tapi aku percaya kalau Tuhan pasti membantu umatnya yang berusaha, lol.
Meski dibantu Tuhan, bukan berarti semuanya mudah. Temen-teman satu kelasku satu persatu duluan lulus. Sedangkan aku masih disibukan dengan skripsi dan ngurusin nilai. Belum lagi sepupuku yang usianya 1 tahun dibawahku udah lulus duluan. Wah, tekanan dari keluarga langsung deh berdatangan. Dari pertanyaan halus macam, "Kapan lulus?" sampai "Nggak malu tuh dikalahin adiknya?" mulai terbiasa kedengeran sepanjang aku ngerjain skripsi.
Kalau aja aku nggak punya ketegaran ekstra, udah gantung di jalan kali tu skripsi. Untung aku punya jurus ampuh ngadepin tekanan. Jurus Budeg! Aku pura-pura nggak denger aja apa komentar negatif dari orang sekitar. Yang penting aku fokus dan mengerjakan sebaik-baiknya. Toh, aku mengejar semua ketinggalan aku ini hanya dalam waktu 1 tahun. Jadi aku rasa semua pencapaianku sejauh ini udah cukup.


Lagi nunggu giliran sidang.


Akhirnya aku berhasil selesaiin skripsiku di bulan Juni (thank you so much for Ray) dan sidang di bulan Juli. Terbukti karena Jurus Budeg ku bisa capai tujuan aku meski nggak secepat yang lain. Sempet khawatir hasil sidangku nggak baik mengingat track recordku yang rada-rada bikin dosen BT, lol. Tapi ternyata semuanya baik-baik aja. Bahkan 3 dari 4 penguji adalah fans "Waktu aku Sama Mika", novel yang aku tulis. Ssst... itu termasuk Pak Dosen "Kasus", lho, hihihi. Hasilnya proses sidangpun lebih santai dan dicampur sama tanya jawab tentang novelku! Lol.
Hasil sidang aku sangat baik. Aku lulus dengan nilai A, predikat sangat memuaskan. IPK ku pun diatas 3. Siapa yang sangka kalau itu semua aku kerjakan dalam waktu 1 tahun? :)



Lulus! :D


Kadang memenuhi pengharapan orang-orang sekitar itu susah. Jadi apa salahnya kalau kita bikin pengarapan untuk diri sendiri dulu? Meski (mungkin) nggak memuaskan orang lain dan dianggap biasa aja, tapi selalu ada perasaan bangga kalau kita bisa penuhi target yang kita buat sendiri. Sekecil apapun itu. Trust me! :)

(Diedit: 29/02/2024)