Minggu, 26 Juli 2015

Don't Kill Me!




Kalau ada acara kumpul-kumpul aku sering mendadak cemas dan pengen mengurung diri di kamar. Apalagi kalau kerabat-kerabat yang seusia dengan Ibu dan Bapak datang. Uh, mau menghilang saja rasanya... Bukan, aku bukan ingin menghindari mereka, ---tapi asap rokoklah yang membuat aku ketakutan setengah mati! 

“Tradisi” merokok sepertinya memang sudah mendarah daging. Semenjak aku kuliah pemandangan asap mengepul jadi pandangan sehari-hari. Saat aku lagi makan siang di kantin, lagi menunggu dijemput pulang, bahkan di dalam kelas, ---jika kebetulan kebagian dosen yang entah kenapa merasa nggak berdosa untuk membunuh mahasiswanya pelan-pelan. Katanya sih merokok bisa menambah keakraban, apalagi jika ditemani oleh kopi dan camilan hangat. At least begitulah kata teman-teman laki-laki dan om-omku, kalau sudah berkumpul sambil merokok bisa dipastikan betah berlama-lama. Ya, mungkin seperti suku Indian yang aku lihat di film koboi, mereka menghisap calumet sambil berkumpul setelah hari yang panjang untuk kedamaian. Bedanya teman-teman dan om-omku ini hidupnya di zaman modern, ---zaman di mana banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu selain dengan merokok.

OOTD: Dress: Toko Kecil Indi (my design) | Shoes: Noche | Ukulele: Mahalo

Aku nggak bermasalah dengan perokok. Ibu dan Bapak perokok berat, meskipun frekuensi merokoknya sudah banyak berkurang dibandingkan dulu. Yang menjadi masalah buatku itu perokok egois, ---perokok yang hobi bagi-bagi penyakit. I hate to admit, tapi om-omku juga termasuk perokok egois. Kalau sedang acara kumpul-kumpul mereka dengan ringannya menghisap rokok sambil mengajak ngobrol keponakannya alias aku. Bla... bla... bla... wajah mereka tersenyum tapi di waktu bersamaan mereka juga mencekikku. Posisiku jadi serba salah, kalau menghindar dianggap nggak sopan sedangkan kalau tetap diam sama saja dengan nggak sayang diri sendiri. Padahal keinginan untuk melindungi diri dari asap rokok ini bukan tanpa usaha, lho. Aku sudah berusaha, ---sangat keras. Dari mulai acting batuk ala sinetron, meminta dengan baik-baik, meminta Ibu dan Bapak untuk nggak merokok saat ada om-omku (supaya mereka nggak enak, lol), sampai dengan menyembunyikan asbak dan membuang rokok mereka diam-diam.


Rumah Ibu dan Bapak cukup luas, tapi daerah garasi pun termasuk no smoking area karena di sana ada Eris (our lovely dog), lengkap dengan baju-baju dan segala perlengkapannya. Sayangnya om-omku (dan kerabat lainnya) menganggap kalau it’s okay untuk merokok di dekat hewan. Dan saat kubilang “jangan” malah aku yang dianggap berlebihan. Dulu pun Ibu dan Bapak begitu, mereka kadang merokok sambil bermain bersama Eris di garasi atau halaman. Prinsip mereka (dulu) asalkan nggak merokok di dalam rumah atau dekat-dekat aku artinya aman. Tapi sekarang setelah mereka tahu bahaya nikotin, jangankan dekat Eris, dekat bajunya pun nggak berani. Mereka hanya merokok sambil mengurung diri di ruang ber hexos fan atau di luar, di kursi yang letaknya dekat dengan pagar rumah.

Semoga meja di semua rumah bisa begini; nggak ada asbak dan rokoknya :)

Aku sadar karena sudah dianggap “tradisi” merokok itu susah ditinggalkan dan dianggap wajar. Untuk meyakinkan Ibu dan Bapak bahwa tindakan mereka bisa membunuhku pun perlu waktu yang cukup lama. Karena gambar-gambar di bungkus rokok nggak bisa menakuti mereka, aku pakai pendekatan lain. Aku bilang bahwa rokok bukan hanya mempengaruhi mereka, tapi juga aku, anaknya, ---ralat; anak kesayangannya. Dan dengan merokok di ruang terpisah bukan berarti aku aman, tapi bisa saja aku tetap dalam bahaya. Nikotin bisa menempel di kulit, di baju, di tirai, di taplak meja, di sofa dan lain sebagainya. Jadi jika Ibu dan Bapak merokok di ruang TV sementara aku sedang di dalam kamar, aku masih bisa terpapar nikotin dari sofa yang habis mereka duduki, atau dari pelukan hangat yang mereka beri, ---bahkan ketika rokoknya sudah dibuang jauh-jauh. Ibu dan Bapak memang masih merokok, tapi sekarang selain hanya merokok di tempat yang telah disepakati mereka juga selalu mengganti baju segera setelah merokok. Mereka takut membuatku sakit, mereka takut membunuhku

Aku mandapatkan banyak komentar ketika menulis status tentang ini di Facebook, terutama dari perokok. Mereka bilang aku nggak mengerti perasaan mereka yang kecanduan, bahkan ada yang bilang bahwa usahaku akan sia-sia karena merokok itu sudah “tradisi”. Well, aku memang nggak kecanduan rokok, tapi aku pernah kecanduan hal lain. Kalian tahu apa yang aku lakukan? Aku cari bantuan! Ikut support group, cari terapis. Kecuali jika memang belum mau berenti merokok, so go ahead, silakan merokok sebanyak-banyaknya tapi make sure jangan ajak orang lain untuk sakit. Aku nggak melarang orang untuk merokok, toh negara saja melegalkan rokok. Akucuma minta agar perokok nggak egois. Temanku anaknya harus dirawat di Rumah Sakit gara-gara terpapar nikotin dari baju ayahnya (suami temanku). Jika memang belum mau menjaga kesehatan diri sendiri, please... at least jangan sakiti keluarga, teman-teman atau bahkan orang asing yang nggak sengaja duduk di tempat bekas kalian merokok. Jika memang gambar-gambar di bungkus rokok belum bisa membuat kalian takut, please ingat  bahwa itu bukan hanya bisa menimpa kalian, tapi juga orang lain. Don’t be selfish. Don’t kill us...

Don’t kill me,

Indi

Fakta tentang rokok: 
~ Racun dari rokok yang menempel di baju, perabot rumah tangga, dll nggak akan hilang sampai berbulan-bulan, bahkan jika di ruangan ber hexos fan sekalipun.
~ Hanya melewati orang yang sedang merokok di jalan pun asapnya bisa menempel di baju kita dan dampaknya bukan hanya pada kita, tapi juga orang kita temui di rumah nanti (misalnya: anak, orangtua, etc)


 __________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | Contact person: 081322339469

Minggu, 19 Juli 2015

(Another) Animal Abuse Story di Hari Raya :(


“Undangannya untuk berapa orang, Indi?” tanya Ibu.
“Untuk 2 orang, Bu. Pasti aku akan senang kalau Ibu dan Bapak bisa menemani di Jakarta. Ini moment penting buatku,” jawabku.
Bapak terdiam beberapa saat, “Jadi siapa yang akan menjaga Eris di rumah? Bi Ade? Atau Puja?”
Kami ikut terdiam, memikirkan solusi yang paling tepat untuk Eris, anjing peliharaan kami yang sudah pasti nggak bisa ikut menginap di hotel.
“Sudah, kamu pergi dengan Ibu saja ya. Biar Bapak menyusul di malam penobatan nanti,” Bapak memutuskan, --- yang langsung disetujui oleh Ibu.

***



Aku masih ingat betul percakapan kami ketika aku menjadi finalis Kartini Next Generation Award 2015. Sungguh aku ingin kedua orangtuaku menemani, tapi untuk kami Eris juga anggota keluarga, ---dan keluarga artinya ‘no one left behind’. Aku sering bilang bahwa aku dan Eris nggak terpisahkan, tapi sebenarnya ini juga berlaku untuk Ibu dan Bapak. Mereka selalu berusaha untuk nggak meninggalkan Eris sendirian di rumah. Itulah kenapa aku terkadang hanya bisa ditemani oleh salah satu dari mereka saja jika harus menginap di luar kota. Menjadikan Eris sebagai anggota keluarga merupakan sebuah komitmen. Aku, Ibu dan Bapak bahagia dengan kehadiran Eris, dan kami juga ingin memastikan Eris merasakan hal yang sama.



Heran rasanya jika mendengar ada orang yang menelantarkan atau menyia-nyiakan hewan peliharaannya. Alasanku memelihara Eris (teman-temannya) tentu saja karena aku menyayanginya. Tapi faktanya masih ada orang yang membawa hewan ke kehidupan mereka hanya sebagai kebanggaan atau penanda status sosial. Semakin mahal harga hewan yang mereka miliki, akan semakin bangga mereka. Let alone deh soal kelegalannya. Aku kenal kok dengan orang yang memelihara hewan eksotis ilegal di halaman rumahnya. Yang memelihara tanpa berpikir panjang pun ada (malah sepertinya paling banyak). Mereka membeli/mengadopsi hewan saat sedang lucu-lucunya, tapi malah kebingungan ketika hewan-hewan itu mulai tumbuh besar atau malah sakit-sakitan karena usia. Wajah puppy, kitten dan bayi-bayi hewan lainnya sudah pasti membuat siapa pun yang melihatnya jatuh cinta. Tapi bisakah mereka memastikan untuk jatuh cinta dengan hewan-hewan itu selamanya?


Di moment Lebaran yang indah ini aku malah mendengar berita yang memilukan. Seekor anjing betina ditinggalkan pemiliknya mudik berhari-hari dalam keadaan terikat dan tanpa makanan sama sekali! Ketika ada yang menemukan kondisikan sangat mengenaskan, sudah dehidrasi dan vaginanya dipenuhi belatung. Meski dalam keadaan lemah, anjing itu mengangkat kepalanya dan tersenyum (---yang punya anjing pasti mengerti apa maksudnya) ketika tahu ada yang datang untuk menyelamatkannya. Too bad, karena kondisinya begitu buruk ia hanya bisa bertahan selama 3 jam saja :( Hatiku pedih sekali mendengarnya, tapi juga marah. Sangat SANGAT marah. Aku nggak mau meninggalkan Eris terlalu lama karena tahu bahwa dalam konsep waktu anjing, berjam-jam terasa seperti berhari-hari bagi mereka. Dan bayangkan apa yang mereka rasakan jika ditinggalkan berhari-hari dengan leher dirantai, --- dan tanpa makanan sama sekali! Tersiksa sudah pasti! Dan juga bingung! Sudah sejak zaman nenek moyang anjing secara naluriah menjaga dan mempercayai manusia. Saat tuannya pergi mereka akan khawatir, dan kelaparan tentu membuat keadaan lebih buruk. Sampai saat mengetik ini pun aku  masih nggak ngerti dengan apa yang ada di kepala pemilik anjing malang itu :/


Aku nggak bilang tinggal serumah dengan hewan peliharaan itu mudah, apalagi jika jumlahnya lebih dari satu, ---bisa dibilang merepotkan malah. Tapi merepotkan bukan berarti nggak menyenangkan. Aku, Ibu dan Bapak somehow sangat menikmati kerepotan kami ketika berbagi tugas, termasuk di saat-saat membingungkan seperti ketika aku harus menginap di Jakarta tapi ingin ditemani oleh keduanya. Seperti yang kubilang tadi, ini adalah komitmen. Sejak hari pertama Eris ada di rumah kami sudah siap bahwa ia akan tumbuh besar, akan makan semakin banyak, akan ada waktunya ia sakit dan akan ada waktunya kami harus meninggalkannya, ---meskipun diusahakan jangan terlalu sering. Kami sudah membuat list kandidat siapa saja yang bisa dititipi Eris jika terpaksa harus meninggalkannya agar kami dan Eris sama-sama merasa nyaman.

Hari raya apapun sudah pasti merupakan moment yang sangat penting, dan sebagai orang yang tinggal di Indonesia aku mengerti betul dengan tradisi mudik. Siapa sih yang nggak senang jika bisa bertemu dengan sanak keluarga yang tinggal berjauhan, apalagi jika bisa sekalian berlibur? Tapi jangan sampai kita nggak memikirkan nasib hewan peliharaan di rumah. Jika memungkinkan ajak mereka bersama kita. Jika nggak memungkinkan pastikan ada orang yang bisa dititipi. Jika nggak bisa juga... you shouldn’t get a pet in the first place! Aku nggak memanusiakan hewan, tapi jangan pernah lupa bahwa mereka juga makhluk hidup. Don’t be selfish!


yang lagi makan kue lebaran sama Eris,

Indi



Nb: Guuuuys, selamat hari raya Idul Fitri, ya. Mohon maaf jika ada tulisan-tulisanku yang menyinggung. I never mean to do that :) Semoga waktu berkumpul kalian bersama keluarga dan kerabat menyenangkan. Amen! :)
Nb: Dan untuk yang bertanya tentang novel "Guruku Berbulu dan Berekor" di tulisanku sebelumnya, yup novel itu masih tersedia di sini dan royaltinya didonasikan ke hewan-hewan terlantar/korban kekerasan. 


________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | Contact person: 081322339469


Jumat, 03 Juli 2015

Indi dan Inis: Our Sleepover Story :)

Aku senang sekali waktu tahu Inis akhirnya datang ke Bandung. Sejak jauh-jauh hari aku dan Inis membicarakan rencana menginap, jalan-jalan dan hal-hal seru lainnya yang ingin kami lakukan jika bertemu nanti.  Rasa excited ku melebihi pertemuan-pertemuan  yang sebelumnya karena ini adalah kali pertama kami akan bertemu di Bandung, ---setelah sebelumnya selalu bertemu di Jakarta. Well, Inis sendiri sebenarnya nggak tinggal di Jakarta, sih, tapi di Makassar. Profesinya lah yang membuat ia sering mampir ke sana. Inis adalah seorang penyanyi ‘lulusan’ 10 besar X Factor Indonesia season pertama. Dari sana juga aku pertama kali mengenalnya dan langsung mengaguminya. Nggak disangka ternyata ia juga menyukai film “Mika” yang diinspirasi oleh novelku, “Waktu Aku sama Mika”. Perkenalan singkat yang terjadi melalui layar kaca dan layar lebar itu (hehehe) ternyata cukup untuk menjadikan kami teman baik. Mungkin karena kami juga sama-sama scolioser, ---pengidap scoliosis :)

Bersiap menjemput Inis. Cuma pose, yang nyetir Bapak, hahaha :D

Rencananya pertemuan kami akan sebentar saja, Inis hanya berada satu malam di Bandung untuk mengurus pekerjaannya, lalu bertemu aku di salah satu pusat perbelanjaan sebelum kembali ke Jakarta. Tapi ketika kami janjian lewat BBM tiba-tiba saja muncul ide untuk menginap dulu di rumahku! Urusan nggak bawa baju sih belakangan, bisa lah pakai punyaku meskipun Inis lebih mungil dari aku, hehehe. Segera saja aku minta izin pada Bapak dan Ibu bahwa ada teman yang akan menginap di rumah. Mereka mengizinkan dan senang, tentu saja, ---meskipun kaget karena begitu mendadak :D Dengan diantar Bapak aku menemui Inis di pusat perbelanjaan. Mumpung sedang di Bandung, ---yang konon banyak pakaian berkualitas dengan harga lebih hemat dibandingkan tempat lain---, Inis pun memanfaatkan kesempatan ini untuk berbelanja.

Soal belanjanya sih nggak perlu diceritakan, sudah pasti berdesak-desakan karena banyak yang berbelanja sambil ngabuburit (atau sekalian untuk lebaran juga, hihihi). Tapi yang menarik, ternyata Inis itu pintar menawar, lho. Biasanya aku selalu “oke-oke” saja dengan harga yang ditawarkan, makanya langsung mengeluarkan dompet begitu diberitahu harganya ketika aku mau membeli stocking. Tapi dengan sigap Inis menawar terlebih dahulu untukku sebelum uang yang aku keluarkan berpindah ke tangan penjual. Wow, sepertinya aku harus belajar darinya, karena menawar merupakan "must have skill" kalau tinggal di Bandung, hehehe. Setelah selesai rencananya aku dan Inis akan makan malam di luar, tapi Bapak bilang lalu lintas sudah semakin macet karena bertepatan dengan waktu berbuka puasa. Akhirnya kami langsung pulang ke rumah setelah membeli beberapa bahan masakan dan camilan di supermarket di dekat rumah.

Ada Inis di rumah terasa sangat menyenangkan. Aku satu-satunya girl di rumah (---kecuali kalau Eris juga dihitung, hehehe) dan sekarang jadi ada teman untuk girly talk, sharing tentang scoliosis, bahkan untuk melakukan hal-hal konyol. Kami tidur larut sekali, sepertinya topik pembicaraan kami nggak ada habis-habisnya. Inis juga sempat mencoba SpineCor (soft brace untuk scoliosis) milikku. Meskipun ukurannya nggak pas, tapi katanya terasa sangat nyaman. Inis juga sama sepertiku, di masa remaja sempat memakai boston brace yang rasanya sangat kaku. Mudah-mudahan saja bisa segera menyusulku untuk memakai SpineCor, ya. Amen... :) Aku sering membicarakan tentang perasaanku sebagai seorang scolioser kepada orangtua, sahabat, bahkan Ray. Tapi dengan Inis rasanya berbeda. Kami saling mengerti perasaan satu sama lain karena apa yang aku alami juga Inis alami. Ah, mungkin begini rasanya punya sister, huhuhu.

Saking randomnya sampai tengah malam kamarku masih ramai, ---atau kalau istilah Ibu; berisik banget, hehehe. Setelah selesai mengobrol aku dan Inis langsung asyik bernyanyi sambil main ukulele. Waktu di mobil, di perjalanan ke rumah Inis sempat bilang kalau ingin bernyanyi denganku. Tentu saja aku juga mau (---kapan lagi duet dengan lulusan X Factor, hihihi), apalagi setelah diingat-ingat ternyata ada salah satu follower di Instagram yang meminta kami untuk berduet. Jadi ya sudah sekalian memenuhi request. Tapi kami baru sadar kalau sudah memakai piyama yang kayanya nggak begitu nyaman untuk dilihat di video. Jadi kami putuskan untuk merekam penampilan kami di pagi hari nanti dan segera bersiap untuk beristirahat, ---setelah menghabiskan 2 potong lumpia mix mayonnaise dan Boncabe di atas tempat tidur, hehehe (jangan ditiru, aku langsung sakit perut).

Berfoto untuk thumbnail YouTube. Tadinya akan dihapus, tapi aku putuskan untuk disimpan, hehehe :)
Inis dan Indi :)

Ketika alarm berbunyi kami bersusah payah untuk bangun. Waktu tidur kami super singkat dan ke-randoman yang kami lakukan rupanya membuat stamina terkuras. Tapi begitu ingat kalau kami harus memanfaatkan waktu agar bisa menikmati quality time berdua, kami langsung bergantian masuk ke kamar mandi untuk bersiap memulai hari. Aku dan Inis pun super sibuk, kami menggotong kursi meja makan dan kursi di kamarku ke halaman depan. Bukan, kami bukan mau pindahan, tapi ini demi kualitas rekaman kami karena aku nggak punya tripod untuk menyangga kamera, hehehe. Setelah semuanya siap kami pun langsung beraksi. Jangan bayangkan yang serius-serius, aku itu bukan penyanyi, bermain ukulele pun nggak bagus-bagus amat. Makanya kami cuma bersenang-senang. Pembagian suara seadanya, ---atau lebih tepatnya Inis yang menyesuaikan nada dengan suaraku yang seadanya, hehehe :D Nih, aku share videonya, siapa tahu teman-teman mau dengar :p


Nggak terasa hari sudah semakin siang, Inis pun membereskan barang-barang bawaanya ke dalam tas. Mobil travel yang akan mengantarkannya ke Jakarta akan berangkat nanti sore, jadi kami punya sedikit waktu lagi untuk bersama. Dengan diantar Bapak kami melihat-lihat kota Bandung dari dalam mobil, ---yang sayangnya nggak bisa berhenti di tempat-tempat menarik karena sedang super macet. Rasanya belum puas untuk melakukan banyak girly thing bersama, tapi jadwal keberangkatan mobil travel Inis sudah semakin dekat. Kami pun berpisah di depan pool travel tanpa bisa menemani sampai mobil berangkat karena tempat parkirnya sudah penuh :( Aku dan Inis berharap agar bisa segera kembali bertemu. Mungkin sehabis Lebaran, setelah Inis merayakan hari besar dengan keluarganya di Makassar. Ah, can’t wait. Really! Siapa yang menyangka bahwa TV dan bioskop bisa menjadi awal pertemanan kami? And now I already missing that special girl from the talent show :’)

yang bukan penyanyi tapi penulis, ---tapi suka main ukulele,

Indi

nb: Tolong support aku di GoGirl! Passion Pitch 2015, ya. Caranya "like" dan berikan komentar di video ini.  Terima kasih :)


________________________________
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here