Kalau ada acara kumpul-kumpul aku sering mendadak cemas dan pengen mengurung diri di kamar. Apalagi kalau kerabat-kerabat yang seusia dengan Ibu dan Bapak datang. Uh, mau menghilang saja rasanya... Bukan, aku bukan ingin menghindari mereka, ---tapi asap rokoklah yang membuat aku ketakutan setengah mati!
“Tradisi” merokok sepertinya memang sudah mendarah daging. Semenjak aku kuliah pemandangan asap mengepul jadi pandangan sehari-hari. Saat aku lagi makan siang di kantin, lagi menunggu dijemput pulang, bahkan di dalam kelas, ---jika kebetulan kebagian dosen yang entah kenapa merasa nggak berdosa untuk membunuh mahasiswanya pelan-pelan. Katanya sih merokok bisa menambah keakraban, apalagi jika ditemani oleh kopi dan camilan hangat. At least begitulah kata teman-teman laki-laki dan om-omku, kalau sudah berkumpul sambil merokok bisa dipastikan betah berlama-lama. Ya, mungkin seperti suku Indian yang aku lihat di film koboi, mereka menghisap calumet sambil berkumpul setelah hari yang panjang untuk kedamaian. Bedanya teman-teman dan om-omku ini hidupnya di zaman modern, ---zaman di mana banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu selain dengan merokok.
OOTD: Dress: Toko Kecil Indi (my design) | Shoes: Noche | Ukulele: Mahalo |
Aku nggak bermasalah dengan perokok. Ibu dan Bapak perokok berat, meskipun frekuensi merokoknya sudah banyak berkurang dibandingkan dulu. Yang menjadi masalah buatku itu perokok egois, ---perokok yang hobi bagi-bagi penyakit. I hate to admit, tapi om-omku juga termasuk perokok egois. Kalau sedang acara kumpul-kumpul mereka dengan ringannya menghisap rokok sambil mengajak ngobrol keponakannya alias aku. Bla... bla... bla... wajah mereka tersenyum tapi di waktu bersamaan mereka juga mencekikku. Posisiku jadi serba salah, kalau menghindar dianggap nggak sopan sedangkan kalau tetap diam sama saja dengan nggak sayang diri sendiri. Padahal keinginan untuk melindungi diri dari asap rokok ini bukan tanpa usaha, lho. Aku sudah berusaha, ---sangat keras. Dari mulai acting batuk ala sinetron, meminta dengan baik-baik, meminta Ibu dan Bapak untuk nggak merokok saat ada om-omku (supaya mereka nggak enak, lol), sampai dengan menyembunyikan asbak dan membuang rokok mereka diam-diam.
Rumah Ibu dan Bapak cukup luas, tapi daerah garasi pun termasuk no smoking area karena di sana ada Eris (our lovely dog), lengkap dengan baju-baju dan segala perlengkapannya. Sayangnya om-omku (dan kerabat lainnya) menganggap kalau it’s okay untuk merokok di dekat hewan. Dan saat kubilang “jangan” malah aku yang dianggap berlebihan. Dulu pun Ibu dan Bapak begitu, mereka kadang merokok sambil bermain bersama Eris di garasi atau halaman. Prinsip mereka (dulu) asalkan nggak merokok di dalam rumah atau dekat-dekat aku artinya aman. Tapi sekarang setelah mereka tahu bahaya nikotin, jangankan dekat Eris, dekat bajunya pun nggak berani. Mereka hanya merokok sambil mengurung diri di ruang ber hexos fan atau di luar, di kursi yang letaknya dekat dengan pagar rumah.
Semoga meja di semua rumah bisa begini; nggak ada asbak dan rokoknya :) |
Aku sadar karena sudah dianggap “tradisi” merokok itu susah ditinggalkan dan dianggap wajar. Untuk meyakinkan Ibu dan Bapak bahwa tindakan mereka bisa membunuhku pun perlu waktu yang cukup lama. Karena gambar-gambar di bungkus rokok nggak bisa menakuti mereka, aku pakai pendekatan lain. Aku bilang bahwa rokok bukan hanya mempengaruhi mereka, tapi juga aku, anaknya, ---ralat; anak kesayangannya. Dan dengan merokok di ruang terpisah bukan berarti aku aman, tapi bisa saja aku tetap dalam bahaya. Nikotin bisa menempel di kulit, di baju, di tirai, di taplak meja, di sofa dan lain sebagainya. Jadi jika Ibu dan Bapak merokok di ruang TV sementara aku sedang di dalam kamar, aku masih bisa terpapar nikotin dari sofa yang habis mereka duduki, atau dari pelukan hangat yang mereka beri, ---bahkan ketika rokoknya sudah dibuang jauh-jauh. Ibu dan Bapak memang masih merokok, tapi sekarang selain hanya merokok di tempat yang telah disepakati mereka juga selalu mengganti baju segera setelah merokok. Mereka takut membuatku sakit, mereka takut membunuhku.
Aku mandapatkan banyak komentar ketika menulis status tentang ini di Facebook, terutama dari perokok. Mereka bilang aku nggak mengerti perasaan mereka yang kecanduan, bahkan ada yang bilang bahwa usahaku akan sia-sia karena merokok itu sudah “tradisi”. Well, aku memang nggak kecanduan rokok, tapi aku pernah kecanduan hal lain. Kalian tahu apa yang aku lakukan? Aku cari bantuan! Ikut support group, cari terapis. Kecuali jika memang belum mau berenti merokok, so go ahead, silakan merokok sebanyak-banyaknya tapi make sure jangan ajak orang lain untuk sakit. Aku nggak melarang orang untuk merokok, toh negara saja melegalkan rokok. Akucuma minta agar perokok nggak egois. Temanku anaknya harus dirawat di Rumah Sakit gara-gara terpapar nikotin dari baju ayahnya (suami temanku). Jika memang belum mau menjaga kesehatan diri sendiri, please... at least jangan sakiti keluarga, teman-teman atau bahkan orang asing yang nggak sengaja duduk di tempat bekas kalian merokok. Jika memang gambar-gambar di bungkus rokok belum bisa membuat kalian takut, please ingat bahwa itu bukan hanya bisa menimpa kalian, tapi juga orang lain. Don’t be selfish. Don’t kill us...
Don’t kill me,
Indi
Fakta tentang rokok:
~ Racun dari rokok yang menempel di baju, perabot rumah tangga, dll nggak akan hilang sampai berbulan-bulan, bahkan jika di ruangan ber hexos fan sekalipun.
~ Hanya melewati orang yang sedang merokok di jalan pun asapnya bisa menempel di baju kita dan dampaknya bukan hanya pada kita, tapi juga orang kita temui di rumah nanti (misalnya: anak, orangtua, etc)
__________________________________