Halo semua, apa kabar? Semoga baik-baik saja, ya. Soalnya cuaca yang sering berubah-rubah belakangan ini bikin rawan flu (termasuk aku yang juga kena, hehehe) :) Hari ini aku mau cerita tentang wisudaku yang serba mendadak (Ya, aku AKHIRNYA wisuda, lol).
Tanggal 10 November kemarin, disaat semua orang memperingati hari pahlawan, aku malah wisuda! Sebetulnya aku sudah nolak buat ikutan sejak bulan Juli lalu. Ya, sejak jauh-jauh bulan! (bukan jauh-jauh hari lagi). Alesannya karena aku sudah lulus, tau IPK ku, sudah salaman sama semua dosen juga, hehehe. Jadi apa lagi?
Tapi Nenek ku berpendapat lain. Baginya wisuda adalah suatu "kebanggaan". Lulus saja belum cukup, beliau pengen punya kenang-kenangan untuk dipajang di rumahnya: Fotoku yang lagi pakai toga dan kebaya.
Waaaah, andai Nenek tau... Sebetulnya pakai toga, kebaya dan konde'lah yang aku hindari. Soalnya terlalu ketat, gerah dan kondenya bikin pusing. Kalau harus pakai ini semua, gimana aku bisa menikmati prosesi wisuda yang berjam-jam? Bisa-bisa aku udah pingsan duluan...
Orangtuaku bisa mengerti. Mereka setuju lebih baik kami syukuran di rumah saja. Sesuatu yang sifatnya simbolis nggak terlalu penting. Toh, semua anak yang sekolah asalkan rajin belajar (dan fasilitas mendukung) pasti bisa lulus. Itu kan proses, jadi nggak perlu dibesar-besarkan.
Tapi akhirnya di detik-detik terakhir orangtuaku minta aku ikut wisuda. Alasannya bisa ditebak, mereka nggak mau mengecewakan Nenek. Ibu bilang, Nenek sudah tua, kadang sulit untuk diberi penjelasan kalau wisuda itu nggak penting. Lebih baik aku menurut daripada jadi kekecewaan berkepanjangan.
Jujur, beberapa hari sebelum wisuda aku sempat ngambek. Nolak pakai kebaya dan parno banget rambutku yang cuma segini-segini harus ditempeli konde (soalnya kalau hanya dicepol, paling cuma dapet sejempol, hehehe). Orangtuaku akhirnya kasih kebebasan apa yang akan aku pakai nanti. Syaratnya asalkan rapi dan formal. Dikejar waktu yang sudah sangat dekat, hal pertama yang aku inget cuma buku baju pengiring pengantin yang dikasih sama Mrs. Patty, hahaha. Akhirnya aku pilih long dress tercantik yang ada di sana. Dengan sedikit corat-coret (ya, aku suka sekali mendesain baju), aku minta Ibu untuk jahit long dress yang sudah dimodifikasi itu. Ibu agak nggak percaya aku mau pakai baju pengiring pengantin. Tapi setelah aku tunjukin desainnya, beliau setuju ;)
Waktu hari wisuda datang, aku putuskan buat nggak ambil pusing. Aku inget cerita sepupu dan teman-temanku yang harus bangun jam 4 subuh untuk persiapkan kebaya, make up dan konde. Tapi ceritaku ternyata nggak seperti itu (terima kasih Tuhan...). Aku bangun jam 7 pagi (hampir seperti biasa) dan cukup cuci muka (aku mandi 2 hari sekali, btw, lol). Setelah itu aku pakai long dress'nya. Almost no makeup. Aku cuma pakai bedak tipis, lip gloss dan blush on. Untuk rambut aku biarkan terurai, cuma aku kasih hiasan bunga-bunga kecil.
Nenek agak kaget dengan penampilanku. Beliau bilang, "Mana kondenya? Nggak pakai kebaya?". Tapi aku cuma senyum menanggapinya.

Tanggal 10 November kemarin, disaat semua orang memperingati hari pahlawan, aku malah wisuda! Sebetulnya aku sudah nolak buat ikutan sejak bulan Juli lalu. Ya, sejak jauh-jauh bulan! (bukan jauh-jauh hari lagi). Alesannya karena aku sudah lulus, tau IPK ku, sudah salaman sama semua dosen juga, hehehe. Jadi apa lagi?
Tapi Nenek ku berpendapat lain. Baginya wisuda adalah suatu "kebanggaan". Lulus saja belum cukup, beliau pengen punya kenang-kenangan untuk dipajang di rumahnya: Fotoku yang lagi pakai toga dan kebaya.
Waaaah, andai Nenek tau... Sebetulnya pakai toga, kebaya dan konde'lah yang aku hindari. Soalnya terlalu ketat, gerah dan kondenya bikin pusing. Kalau harus pakai ini semua, gimana aku bisa menikmati prosesi wisuda yang berjam-jam? Bisa-bisa aku udah pingsan duluan...
Orangtuaku bisa mengerti. Mereka setuju lebih baik kami syukuran di rumah saja. Sesuatu yang sifatnya simbolis nggak terlalu penting. Toh, semua anak yang sekolah asalkan rajin belajar (dan fasilitas mendukung) pasti bisa lulus. Itu kan proses, jadi nggak perlu dibesar-besarkan.
Tapi akhirnya di detik-detik terakhir orangtuaku minta aku ikut wisuda. Alasannya bisa ditebak, mereka nggak mau mengecewakan Nenek. Ibu bilang, Nenek sudah tua, kadang sulit untuk diberi penjelasan kalau wisuda itu nggak penting. Lebih baik aku menurut daripada jadi kekecewaan berkepanjangan.
Jujur, beberapa hari sebelum wisuda aku sempat ngambek. Nolak pakai kebaya dan parno banget rambutku yang cuma segini-segini harus ditempeli konde (soalnya kalau hanya dicepol, paling cuma dapet sejempol, hehehe). Orangtuaku akhirnya kasih kebebasan apa yang akan aku pakai nanti. Syaratnya asalkan rapi dan formal. Dikejar waktu yang sudah sangat dekat, hal pertama yang aku inget cuma buku baju pengiring pengantin yang dikasih sama Mrs. Patty, hahaha. Akhirnya aku pilih long dress tercantik yang ada di sana. Dengan sedikit corat-coret (ya, aku suka sekali mendesain baju), aku minta Ibu untuk jahit long dress yang sudah dimodifikasi itu. Ibu agak nggak percaya aku mau pakai baju pengiring pengantin. Tapi setelah aku tunjukin desainnya, beliau setuju ;)
Waktu hari wisuda datang, aku putuskan buat nggak ambil pusing. Aku inget cerita sepupu dan teman-temanku yang harus bangun jam 4 subuh untuk persiapkan kebaya, make up dan konde. Tapi ceritaku ternyata nggak seperti itu (terima kasih Tuhan...). Aku bangun jam 7 pagi (hampir seperti biasa) dan cukup cuci muka (aku mandi 2 hari sekali, btw, lol). Setelah itu aku pakai long dress'nya. Almost no makeup. Aku cuma pakai bedak tipis, lip gloss dan blush on. Untuk rambut aku biarkan terurai, cuma aku kasih hiasan bunga-bunga kecil.
Nenek agak kaget dengan penampilanku. Beliau bilang, "Mana kondenya? Nggak pakai kebaya?". Tapi aku cuma senyum menanggapinya.

***
Aku diantar Bapak, Ibu dan Nenek. Sabuga, tempatku wisuda sudah penuh sepenuh-penuhnya. Agak heran juga kenapa banyak wisudawan/wati yang bawa rombongan sampai 2 mobil. Padahal sudah jelas undangan yang boleh masuk hanya 2 orang. Alhasil banyak wisudawan/wati yang mau masuk gedung malah terhalang sama tamu-tamu tanpa undangan. Untungnya, sejak tahun 2004 aku sering mengisi choir di sini, jadi sudah tau harus lewat mana supaya cepat, hihihi...
Di dalam gedung aku sering sekali dapat pertanyaan-pertanyaan heran seperti, "Indi, nggak pakai konde?" atau "Indi, nggak pakai kebaya? Padahal kan supaya cantik seperti yang lain", dll.
Aku sih tetap cuek aja, soalnya yang tau batas nyaman kan cuma diri sendiri. Soal cantik itu belakangan. Kalau teman-teman lain bisa tahan pakai baju daerah lengkap dan heels, nah nggak begitu denganku. Lagipula suasana nampaknya nggak mendukung untuk pakai baju yang agak ribet. Bayangkan aja, ada seribu lebih wisudawan/wati disana. Belum lagi jumlah security yang berlebihan bikin ruangan makin terasa sempit. Itu belum termasuk tamu tanpa undangan yang berhasil masuk. Bisa kebayang kan gimana suasananya? Sudah mirip nonton konser rock pakai konde aja, hihihihi :)
Akhirnya prosesi wisuda selesai. Beberapa teman dan dosen yang tadinya bilang aku "kurang cantik" berbalik memuji karena sampai akhir acara cuma aku lah yang wajahnya nggak belepotan karena makeup campur keringat. Tapi buatku yang paling lucu adalah pendapat Nenek. Beliau bilang,
"Bagus juga ternyata pakai baju santai. Emah (panggilan Nenek) mah kasian liat yang sebelumnya pada cantik malah pada selonjoran di lantai gara-gara pegel pakai sepatu tinggi".
Hihihi :)
Aku nggak mengecilkan teman-teman yang berpakaian ribet, tentu aja. Menurutku usaha mereka memang sepadan, kok. Di mataku mereka tampil sangat cantik. Tapi rasanya nggak masalah kalau aku berpendapat bahwa kebaya, konde dan high heels kurang tepat untuk dipakai di suasana ramai dan gedung yang kurang memadai. Wisuda sarjana itu satu kali seumur hidup, aku mau menikmati setiap detik moment'nya tanpa terganggu pakaianku. Sekali lagi, aku nggak mengecilkan teman-teman yang lain, lho. Aku cuma mau menekankan bahwa kenyamanan adalah yang utama. Dan yang terpenting cantik itu kan in the eye of the beholder ;)
