Tampilkan postingan dengan label Teman Dengar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Teman Dengar. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 27 Agustus 2011

Me and my dear friend, Thie :)


Ini tengah malam, dan aku sudah bersiap istirahat. Tapi tiba-tiba saja aku teringat dengan obrolan via BBM dengan sahabatku, Thie.

Kemarin Thie bilang bahwa dagangannya laku keras. "Benar-benar penuh berkah", itu dia bilang. Aku mengiyakan. Aku bilang, pasti ada jalan kalau kita mau berusaha dan berdoa pada Tuhan.


***

Thie dan aku.


Aku mengenal Thie kira-kira 2 atau 3 tahun yang lalu lewat Facebook. Nggak ingat kapan tepatnya. Yang aku ingat cuma betapa cocoknya kami dan betapa bahagianya kami menjadi pribadi yang "berbeda" dari kebanyakan orang. Ya, Thie juga memiliki disability, sama sepertiku. Aku scoliosis sejak kecil, sekarang dan selamanya. Sedangkan Thie, Tuli (mereka lebih suka disebut Tuli, dengan T besar dibandingkan tuna rungu) sejak lahir.

Jangan bayangkan Thie sebagai pribadi yang pasif atau pemalu. Ia sangat periang dan mudah bergaul. Ia bahkan bersekolah di sekolah umum setelah sebelumnya nggak betah di sekolah luar biasa. Soal kegiatan, nggak tanggung-tanggung, Thie di SMA aktif menari Saman, malah ikut eskul fotografi segala. Waktu awal kenal, aku aku sempat bingung bagaimana ia bisa menari Saman. Setahuku Saman itu kan mengandalkan pendengaran penarinya supaya gerakanannya kompak. Ternyata Thie punya cara lain. Ia nggak bisa mendengar, tapi ia bisa berhitung. Ia menghitung ketukannya dan mengingat gerakan pelatih ketika latihan. Sisanya, ia murni mengandalkan feeling! Wow, salut sekali. She's such a talented girl :)

Bersama kami sering share soal ketertarikan kami di dunia seni. Aku senang menulis dan mendesain. Sedang Thie senang dengan dunia fotografi. Nggak ada "batasan" dalam obrolan kami. Kami bercerita seperti dua gadis normal yang bisa mencapai apapun. Aku bilang, aku akan menulis buku yang lebih sukses dari pada The Lord of the Ring, lebih tebal dari Harry Potter dan lebih menarik dari bukunya Arswendo Atmowiloto. Aku bahkan akan punya butik yang cabangnya ada di seluruh dunia (hehehe). Thie bilang ia akan punya studio sendiri dan karya-karyanya akan lebih indah dari karya Darwis Triadi.
Iya, setinggi itulah cita-cita kami, dan kami tidak main-main dalam mencapainya meski itu nggak mudah.



Salah satu karya Thie. Bagus, kan? :D

Novel-novelku yang menjadi best seller :)


Salah satu dress hasil desainku.

 

Thie juga pernah diejek, sama sepertiku ketika masih memakai penyangga. Masa kecilnya nggak mudah dan penuh perjuangan. Ia pernah dipanggil "Budeg" dan kesulitan untuk berteman, tapi pada akhirnya ia berhasil membuktikan bahwa ia memiliki otak yang sama normalnya dengan teman-teman sekelasnya. Ia bahkan --percaya atau nggak-- bisa bicara dengan jelas hampir seperti orang kebanyakan!
Aku jadi ingat beberapa hari sebelum kami memutuskan untuk bertemu. Selama ini kami hanya berkomunikasi lewat chatting dan SMS. Thie khawatir aku akan kesulitan berkomunikasi dengannya secara langsung. "Aku takut kamu nggak ngerti ngomong aku", itu katanya. Lalu aku balas, "Kamu kan bisa tulis, jadi aku tinggal baca apa yang mau kamu bilang". Tapi ternyata itu nggak perlu. Aku bisa mengerti perkataannya dengan sangat jelas. Bahkan lebih asyik mengobrol dengannya secara langsung daripada lewat tulisan. Kami berdua sama-sama "cerewet" dan nggak bisa berhenti membicarakan apa yang biasanya perempuan kebanyakan sukai: boys, food and cute stuff, hehehe. Ya, she's that normal. We are that normal :)





Sekarang usia kami sudah memasuki masa dewasa, masa "matang" atau masa di mana kami (seharusnya) bisa hidup mandiri. Kami semakin bisa menerima kekurangan kami. Aku akan selamanya scoliosis dan Thie akan selamanya Tuli. Aku nggak akan pernah bisa berlari dan Thie nggak akan pernah bisa mendengar. Tapi biarlah. "Memang kenapa? We're fine and grateful", itu kami bilang. Tuhan menciptakan kami seperti ini karena inilah yang Ia inginkan. Itu yang tercocok untuk kami.







Thie tetap menekuni hobinya di dunia fotografi dan aku tetap menulis dan mendesain. Jika perkerjaan formal nggak terlalu ramah pada kami, itu nggak buat kami terlalu khawatir. Aku dan Thie ---secara terpisah-- mulai berwirausaha--berdagang--- dan melakukan apapun yang kami bisa untuk tetap bertahan di dunia yang menyenangkan namun penuh tantangan ini. Kami sadar kami harus berusaha lebih keras dari pada orang lain. Tapi juga percaya kalau kami berusaha dan berdoa pasti ada jalan untuk kami. 

Kembali lagi pada obrolan semalam, Thie bertanya aku sedang apa selarut ini. Aku bilang,
"Aku lagi nunggu Ray, dia lagi antar coklat-coklat pesanan pelangganku".
Lalu Thie membalas, "Ya, ampun! Sama! Terry juga jadi kurirku, lho, hehehe".
Aku nggak bisa nahan diri untuk tertawa dan membalas, "Wah, kurir kita ganteng-ganteng ya, Thie? Hehehehehe".

Lihat, kan? Selalu ada jalan. Pasangan kami, keluarga, teman... dan yang terpenting Tuhan, selalu bersama kami. Kami baik-baik saja dan siap mencapai cita-cita. Iya, kan Thie? ;)






Tulisan ini spesial gue persembahkan untuk Thie. Gue sudah janji akan menulis tentang kami di blog sejak lama dan senang akhirnya bisa terwujud :) Ada satu cita-cita gue dan Thie yang belum tercapai, kami ingin muncul di halaman majalah yang sama. Berkali-kali kami muncul di majalah tapi selalu terpisah. Untuk sekarang seenggaknya kami muncul di halaman blog yang sama, hehehe :)