Minggu, 13 Januari 2019

Menikah dengan WNA di KUA. Gratis dan Cepat. Kok Bisa???

Setelah menikah aku jadi sering ditanyain soal susah atau nggaknya menikah dengan Warga Negara Asing. Well, dulu aku juga gitu, ---penasaran. Karena katanya sih ribet, jadi pas diajakin nikah langsung "malas" duluan, hahaha. Tapi kenyataan itu mitos, namanya menikah pasti ada prosesnya. Ribet ya kalau dibikin ribet, kalau kita mengikuti aturan sebenarnya ringan-ringan saja, kok.

Sebelum pergi ke KUA :)

Aku dan Shane hanya melalui proses pacaran yang sebentar. Begitu kami saling suka dia langsung memutuskan untuk pindah ke Indonesia dan mengajak menikah. Semenjak itu aku langsung googling dan tanya-tanya sama teman-teman yang menikah dengan WNA tentang bagaimana prosesnya. Hampir semuanya menjawab, "Ribet dan banyak biaya ini itu!" Untung saja aku bisa mengalahkan rasa "malas menikah", dan setelah dijalani akhirnya membuktikan kalau menikah itu mudah dan murah, ---sekalipun dengan WNA. Mungkin ada yang berpikir, "Ah, murah ya karena lo punya duit atau orangtua lo kaya!" Eits, jangan berprasangka dulu, Ferguso! Kami menikah dengan biaya sendiri (baca: Shane). Dan FYI, aku dan Shane masih muda, penghasilan kami belum banyak. Jadi silakan simpulkan sendiri pernyataanku ini :) Aku share proses pernikahan kami di sini juga semata-mata untuk menyimpan kenangan, dan siapa tahu bermanfaat. Karena aku yakin, I'm not the only one yang mikir-mikir dulu untuk menikah karena takut ribet, hehehe.


Membuat CNI

Jujur aku sempat nangis semalaman karena aku malaaaaas sekali kalau harus dealing dengan segala keribetan yang konon katanya bakal terjadi. Eh, bukan murni malas sih. Tapi juga karena ada perasaan nggak enak, takutnya saking ribetnya aku jadi harus minta bantuan ortu buat nyupir karena harus bolak-balik ke sana-sini. Sampai akhirnya aku putuskan untuk stop googling dan berjanji untuk cari tahu sendiri. Aku tanya lagi sama Shane, apa dia yakin untuk menikah karena selama pengalaman aku berpacaran (ecieeeeh, lol) baru kali ini ada laki-laki yang langsung mengajak menikah di hari pertama berpacaran. Dengan mantap Shane menjawab kalau dia nggak mau mundur dan bakal menjalani segala prosesnya. Jawabannya ini semakin membuatku semangat, screw yang bilang ribet, aku nggak takut, hehehe :p Langkah pertama aku dan Shane datang ke KUA terdekat dan bertanya tentang persyaratan menikah. Meski sudah tahu dari hasil googling sebelumnya, tapi kami pura-pura polos supaya mensugesti kalau kami nggak perlu takut, hehe.

Kami nggak lama-lama di sana, petugasnya hanya memberi kami catatan yang ditulis tangan. Isinya ternyata hanya persyaratan menikah standar. Alias sama seperti menikah dengan WNI. Bedanya setelah itu kami diminta untuk membuat surat izin menikah dulu dari negara Shane (Amerika), baru setelah itu kembali lagi. "Gitu doang?" batinku sambil cengengesan (dalam hati, lol). Meski Shane nggak bawa surat-suratnya ke Indonesia, tapi semua bisa dalam bentuk scan/foto. Jadi dia minta ibunya untuk mengirimkan akta kelahiran, dll via email. Sedangkan untuk izin menikah ternyata maksudnya CNI atau Certificate of No Impediment. Untuk mendapatkannya harus ke kedutaan negara calon mempelai WNA. Nggak menunggu lama kami langsung menghubungi kedutaan via telepon dan akhirnya bertukar pesan di email. Yang perlu datang hanya Shane saja, dan dia mendapat jadwal 2 minggu setelah bertukar pesan. Hanya perlu membawa passport, akta kelahiran dan biaya sekitar Rp.400.000 (aku lupa tepatnya).

Meski aku nggak diperlukan, tapi aku tetap ikut ke kedutaan Amerika di Jl. Medan Merdeka Jakarta. Alasannya? Ya, kepengen saja daripada di rumah sendirian, hehehe. Padahal aku sudah tahu kalau nggak boleh masuk, tapi siapa tahu bisa jajan-jajan di sana. Di luar dugaan lalu lintas sangat lancar, jadi perjalanan Bandung-Jakarta pun sangat cepat sehingga kami tiba jauuuuh lebih awal dari waktu perjanjian. Bersyukur Shane langsung diizinkan masuk. Meski sayang impianku untuk berkuliner gagal karena lokasi kedutaannya nggak asyik, ---tempat parkir jauh dan cuaca sedang panaaaas sekali. Untung saja 15 menit kemudian Shane keluar, kalau nggak, mungkin aku bisa pingsan dehidrasi di trotoar kedutaan, hehehe. Dan... that's it! CNI sudah didapat. Cepat sekali, dan no drama seperti yang orang pernah bilang pada kami :)


Terjemahkan Dokumen ke Bahasa Indonesia

CNI selesai kami pun kembali ke KUA. Siap menikah ceritanya (ciee cieee...). Tapi ternyata pihak KUA minta agar CNI dan akta kelahiran Shane diterjemahkan dulu ke Bahasa Indonesia (meski sebenarnya CNI sudah bilingual). Kami disarankan untuk kembali lagi ke kedutaan karena penerjemahnya harus yang tertunjuk, nggak bisa sembarangan. Tentu kami nggak menurut begitu saja. Untuk urusan ini kami mencoba mencari penerjemah tersumpah di daerah Bandung, dan ternyata... bisa! Biayanya pun murah sekali, untuk 2 halaman nggak lebih dari Rp. 200.000. Dan God bless abang Gojek, kami nggak perlu datang karena dokumen bisa dikirim via email dan diambil oleh Gojek! ;) 

Prosesnya cepat sekali, hanya 3 hari itupun karena terpotong weekend. Kalau hari biasa sepertinya bisa sehari saja. Oh iya berhubung yang diterjemahkan itu literally semuanya, jadi aku harus pastikan waktu scan kertasnya nggak terpotong. Karena sampai tulisan yang sekecil kuman pun harus terbaca, hehehe. 


Mencari Cincin dan Baju

Aku ingin pernikahan yang sederhana. Sejak awal sudah bilang sama Shane bahwa aku nggak mau dirias ataupun pakai baju yang ribet. Aku ingin momentnya indah dan santai, jadi semua pihak bisa menikmati suasana dan nggak ada "jarak". Syukurlah Shane setuju, dan ternyata pernikahan impian dia juga seperti itu. Karena sudah satu ide, jadi kami pun mengesampingkan soal baju dan lebih mendahulukan cincin. Alasannya karena untuk baju nggak perlu waktu lama untuk dipersiapkan, ---kalau mau pun kami bisa saja pakai baju yang sudah ada. Tapi kalau cincin pasti butuh waktu karena size jariku memang agak besar. Jadwal menikah di KUA sudah dapat, dan jaraknya 5 hari dari pemesanan cincin. Mepet? Nggak juga. Asalkan sudah tahu mana cincin yang dipilih, waktu penyesuaian ukuran cincin sebenarnya cepat, kok. 

Kami beli cincin di dua tempat berbeda. Untuk Shane, karena dia hanya mau yang modelnya simple tanpa aksesoris tambahan, kami mencari di sepanjang Jl. Otista Bandung. Di sana banyak sekali toko emas, jadi kalau pun di toko pertama nggak ada yang cocok kami bisa cari di tempat lain. Baru 2 tempat kami datangi, Shane sudah langsung menjatuhkan pilihan. Sedangkan untukku, kami mencari di mall. Tepatnya di Frank & Co Trans Studio Bandung. Dan sama seperti Shane, aku pun nggak perlu waktu lama untuk jatuh hati dengan salah satu cincin di sana. Pilihan jatuh ke diamond ring yang menurutku cantik tapi tetap sederhana. Karena size aku nggak ada, cincin baru akan siap satu hari sebelum hari pernikahan kami. 

Cincinku dan Shane. Sederhana dan cantik :)

Dress yang kudapat di mall, tepatnya di Metro TSM. Last minute, semalam sebelum nikah kami belinya xD

Ketika cincinku selesai, nggak sabar rasanya mau langsung dipakai. Tapi tentu belum boleh dong, hehehe. Sekalian Shane juga membelikan mahkota bunga dan dress batik untuk hari istimewa kami. Beberapa hari sebelumnya padahal Shane sudah membelikan dress, lho. Tapi tiba-tiba saja dia melihat yang menurutnya lebih bagus. Menurut kami menikah nggak harus pakai "baju khusus". Yang penting nyaman, bersih dan sopan. Sempat aku ajak berkeliling mall tapi Shane tetap teguh dengan keputusannya memakai kemeja batik yang sudah dia punya sejak beberapa bulan lalu. Kebetulan memang belum sempat dipakai. Dan waktu dilihat-lihat... ternyata match dengan dressku! :)


The Day

Kami menikah tanggal 26 Oktober 2018. Jujur, kami nggak memilih tanggal karena percaya kalau semua hari itu baik. Waktu Shane memberi tahu ibunya beliau langsung terharu. Ternyata tanggal dan bulannya sama persis dengan pernikahan pertamanya (---dengan ayah kandung Shane), dan juga pernikahan orangtuanya, aww! :D 
Kabar pernikahanku dan Shane membuat beberapa pihak terkejut, tapi juga berbahagia. Sengaja kami memberi kabar pada teman-teman dan kerabat yang nggak terlalu dekat beberapa hari setelahnya agar prosesi berlangsung khidmat. Jadi yang hadir ketika itu hanya orangtua, nenek, dan beberapa om dan tante. Sedangkan ibu mertua datang setelahnya karena menyesuaikan dengan hari libur beliau. 

Meski aku belum pernah menghadiri prosesi pernikahan orang lain, tapi sepertinya nggak ada bedanya antara WNI dengan WNA. Pukul 7 pagi aku bangunkan Shane untuk bersiap (---dia masih tidur di kamar atas karena belum sah, hehehe) dan sehabis sarapan kami mandi lalu berangkat ke KUA bersama keluarga. Di sana dilakukan proses ijab kabul dan setelahnya kami langsung mendapatkan buku nikah. Ada istilah "sebaiknya kalau ada yang berniat baik jangan dipersulit", dan itu nyatanya benar. Daripada berijab kabul dengan Bahasa Indonesia yang mana Shane nggak mengerti, kami memilih menggunakan Bahasa Inggris. Alasannya agar dia benar-benar paham apa yang dia ucapkan dan juga paham makna dari pernikahan. Jadi bukan hanya dengan membaca catatan di kertas lalu semua orang berkata "sah" padahal kurang menjiwai. Penghulu juga memberikan wejangan dengan 2 bahasa, Indonesia dan Inggris. Termasuk dalam versi tertulis agar bisa dibaca-baca lagi. Karena "sederhana" bukan berarti main-main. Aku nggak mau kami hanya sekedar mengejar buku nikah sementara prosesinya hanya asal lewat.

Bapak gak bisa menahan tawa melihat kami yang berusaha serius :D

Hore sudah sah! :D

Dan begitulah, kami sah menjadi pasangan suami istri. Sepanjang hidupku inilah moment terindah yang aku alami. Semuanya terasa soooo beautiful :) Yang agak menggangu keindahan hanya satu sebenarnya. Kami sempat mengalami pungli di KUA dengan jumlah 2 juta rupiah. Tapi no worry, uang Shane sudah kembali karena aku langsung melaporkan ke akun Instagram KUA. Dan no hurt feeling, ---kami sudah saling bermaafan. Semoga jangan terulang lagi, ya. Karena zaman sudah modern, jadi kalau ada pungli tinggal dilaporkan saja. Dan kalau benar kenapa harus takut ;) As simple as that!

***

Kalau dihitung harinya proses pengurusan pernikahan kami sebenarnya malah lebih singkat dibanding sepupu-sepupuku yang menikah lebih dulu (dengan WNI). Aku sangat sangat sangat bersyukur karena memutuskan untuk mencari tahu sendiri daripada mendengar apa kata orang. Aku juga bersyukur karena nggak merepotkan orangtua selama proses. ---I know, namanya ortu pasti akan senang kalau dimintai bantuan untuk pernikahan anaknya. Tapi aku ingin Ibu dan Bapak kebagian happy nya saja, duduk manis menyaksikan pernikahan kami tanpa harus pusing masalah CNI dan KUA :) Aku juga salut dengan Shane yang berusaha sekeras mungkin agar aku (juga keluarga) nggak mengeluarkan biaya sepeserpun. Bahkan untuk yang seharusnya bagianku (---akan aku ceritakan nanti), dia tetap nggak mau menerima sepeser pun. Bless his heart :)

Aku harap tulisan ini membantu siapa pun yang ragu menikah karena takut ribet dan khawatir masalah biaya. Pernikahan aku dan Shane adalah bukti kalau menikah dengan Warga Negara Asing itu nggak seseram yang orang-orang bilang. Menurut pengalaman kami apa yang membuat lama dan ribet itu justru kalau mempelai nggak siap. Ya, kalau hal kecil seperti akta kelahiran saja nggak ada bagaimana mau lancar? :p Untuk biaya pun jika apa-apa diurus sendiri, tanpa harus melalui pelantara sebenarnya sangat murah. Dan jangan lupa, menikah di KUA itu gratis terkecuali jika weekend atau dilaksanakan di lain tempat. Itu pun hanya dikenai biaya Rp. 600.000. Juga termasuk jika pasangan kita mualaf lho, ya. Jangan mau bayar, karena agama itu bukan untuk dijual belikan.

Jadi kalau ada di antara kalian yang membaca tulisan ini dan punya pacar WNA tapi belum mengajak/mau diajak menikah dengan alasan ribet dan mahal, tunjukkan saja tulisan ini. Kalau sudah ditunjukkan tapi masih nggak mau juga padahal katanya serius... wah, hati-hati! *becanda :p

Ciuman pertama kami sebagai sepasang suami istri. Deg-degan banget :’D

Makan-makan sebelum hari pernikahan dengan Ibu dan Bapak.


yang nama belakangnya jadi dua,

Indi

------------------------------------------------------------------------

Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com


Selasa, 08 Januari 2019

We've Made It!



Selamat tahun baruuuuuuu! :) Eh, boleh ngucapin nggak sih? Hehehe. Jujur sekarang aku takut salah kalau bikin ucapan (---ntar ada yang balas 'aku nggak rayain'). Soalnya di grup whatsapp unfaedah aku ramai banget soal ngebanned terompet dan segala macam atribut yang pas aku kecil identik banget dengan tahun baru. Di satu sisi aku senang soalnya suasana di komplek rumah jadi lebih senyap, nggak ada yang niup terompet. Di sisi lain aku sedih dong lihat penjaja terompet dst etc di jalanan yang sepi pembeli :( Aku sih no comment kalau ada yang bikin argumen tentang agama, tapi buat aku sendiri selama dilakukan dengan tertib dan nggak berlebihan ya why not? Kita tinggal di Indonesia kok, dan tahun memang berganti, ---buktinya saja kalendernya ganti angka, kan, hehehe. Aku sendiri nggak punya tradisi khusus tiap tahun baru, yang penting kumpul dengan keluarga dan buatku itu positif. Kalau ada yang bilang, "Kumpul keluarga mah bisa tiap hari kali!", well, lucky you then. Manusiawi kok kalau ingin sesuatu yang istimewa sesekali. Dan tahun baru itu cuma "moment" alias penanda kalau 365 hari sudah dilalui. Melewatinya dengan sedikit perayaan bersama keluarga sambil bersyukur buat aku nggak ada yang salah :)

Buatku dan Shane ini adalah tahun baru pertama yang kami lalui bersama secara langsung. ---Maksudnya kami berada di tempat yang sama, gitu :p Soalnya tahun baru 2018 lalu, waktu kami masih sahabatan dilalui dengan makan pizza bersama tapi lewat telepon. Aku di Indonesia dan dia di Amerika. Perbedaan waktu kami juga 13 jam, jadi pas pergantian hari aku doang yang heboh sendiri, hehehe. Aku dan Shane excited sekali, tapi lebih fokus ke quality timenya sih karena kami nggak ada rencana bakal ngapain. Yang penting barengan. We can do whatever we want, mau melek sampai pagi juga boleh. Karena meski kami nggak kerja kantoran, tapi break tahun baru ini memang bertepatan dengan selesainya salah satu projectku. Shane sih bilangnya kepengen nonton film bareng saja, mungkin kami bisa cari speaker yang agak bagusan karena punyaku yang lama sudah rusak. Aku setuju, dan berhubung ada dua keponakanku di rumah jadi kami juga mau sekalian cari kembang api biar mereka ikut happy. Jadilah siang harinya di malam tahun baru aku dan Shane ke mall terdekat buat cari speaker dan kembang api. Dan berhubung tahun lalu kami makan pizzanya terpisah sepuluh ribu miles lebih (lol), jadi kami putuskan buat beli bahan-bahannya sekalian. Mau masak berdua ceritanya, hehe.

Menunggu makanan datang di Solaria Festival Citylink sehabis berbelanja.

Oh iya, beberapa hari sebelumnya aku dan Shane sudah beli kado buat Ibu, Bapak dan dua keponakan. Kami sebenarnya sudah rencanakan ini jauh-jauh hari, cuma karena aku sedang nggak enak badan jadi belanjanya rada mepet. Eh, bukan "rada" lagi sih, tapi memang mepet. Mall sudah mau tutup sampai kami diusir halus gitu, tapi apa daya kami pura-pura nggak dengar saja karena memang butuh :p I'm sure we could have picked something better if we'd had more time, tapi nggak apalah, anggap saja ini sebagai kenang-kenangan karena sudah melalui tahun 2018. Ini semacam kebiasaan bagiku untuk bagi-bagi kado (---meski nggak bisa dibilang "tradisi" karena ada kalanya aku bokek, hehe). Buat seru-seruan saja, biasanya aku taruh kado-kadonya di ruang TV waktu orangtuaku tidur, jadi pas bangun mereka kaget, hehehe :D Kalau sedang ada rezeki lebih kadang aku juga belikan sesuatu buat karyawan yang bekerja untuk Ibu, termasuk untuk hewan-hewan peliharaanku juga (mudah-mudahan tahun depan, ya!). Dan berhubung keponakan-keponakanku itu masih bayi-bayi, jadi timing bagi kadonya agak diubah sedikit, ---di sore hari biar masih pada segar bugar!

Sepulang dari mall aku dan Shane langsung panggil the boys, Ali dan Abi Cody yang lagi sibuk berantakin ruang TV. Orangtua mereka harus lembur di bank karena akhir tahun, jadi kami kebagian dikunjungi sampai malam. Usia mereka 3 dan 1,5 tahun alias usia-usia yang bikin dilema; jauh kangen, tapi kalau dekat kadang bikin pusing, hahaha. Ali sudah mengerti dengan konsep kado. Jadi dia excited sekali untuk buka pembungkusnya, termasuk yang punya adiknya. Kalau diingat-ingat Ali itu memang selalu antusias dengan "hari besar". Entah karena dulu sering menghabiskan waktu sama aku, atau memang dia terlahir kaya gitu :p Ingatannya kuat sekali, meski baru 3 kali merayakan Halloween tapi dia ingat dengan 2 yang terakhir, termasuk kostum dan makanannya. Hampir tiap hari dia bertanya kapan Halloween lagi. Lucunya dia juga mengerti kalau hantu pas Halloween itu bohongan semua, jadi dia malah semangat buat lihat bukannya takut, hehehe. Juga dengan moment tahun baru ini, dia semangat untuk main kembang api sampai-sampai ruang TV dia beresin sehabis dapat kado supaya bisa cepat-cepat ke halaman rumah :D

Aww, Ali memeluk Shane setelah dapat kado :’)

Cody pun bahagia dengan kadonya (meski masih agak bingung, hehehe).

Seperti kedua keponakanku, Ibu dan Bapak juga dapat kado lebih cepat. Ya, kalau nunggu sampai malam aku takut mereka pikir aku lupa buat kasih kado, lol. Reaksi mereka sungguh overwhelming. Masih merinding kalau aku bayanginnya, padahal kadonya sederhana banget; sandal buat Ibu dan termos elektrik buat Bapak. Beruntung aku sempat abadikan reaksi mereka lewat kamera handphone jadi bisa aku lihat berulang-ulang. Memang ya, namanya kado itu sekecil apapun pasti bikin senang. Aku juga dapat kado lho, dari Shane, ---ada makanan, piyama dan baju baru. Sampai hari ini bajunya belum aku terima karena dia pesan online gitu. Tumben banget aku pilih model overall celana padahal biasanya pakai dress. Soalnya desainnya lucu banget sih gambar mangkuk ayam ala-ala penjual mie. Jadi nggak sabar dan juga penasaran aku kaya apa kalau pakai celana, hehehe. Ibu mertuaku juga kirim kado yang harus kami jemput ke kantor pos karena terkena bea cukai, sniff... Isinya banyak banget, ada pernak-pernik Hello Kitty buatku dan The Beatles buat Shane. Senang sekali, karena aku juga dapat sekantung pita rambut dengan berbagai warna. Secara aku punya kebiasaan pakai matching hair bow dengan baju, hahaha (Jojo Siwa mah lewat). By the way, aku bilang "sniff" bukan karena aku kecewa harus bayar bea cukai, ya. Namanya kado, itu pasti tanggungan si pemberi. Tapi jujur aku memang agak bete karena urusan bea cukai ini merusak kejutan. Soalnya jika harga barang di atas 100USD pasti dikirimi email dengan pertanyaan isi barang. Niatnya mau bikin kejutan tapi aku jadi harus nanya-nanya sama Ibu Mertua apa isinya, haduh :( Ini bukan pengalaman pertama, waktu aku dan Shane masih temenan (ecieeeeh...) dia sempat kirim hadiah natal ke sini. Setelah melewati proses bea cukai yang habis 2 jutaan rupiah, rupanya paketnya dibuka dulu dan ada 1 barang (cover CD) yang hilang. Ditambah bonus ada jejak sepatu pula di suratnya. Aku mengerti sih, itu aturan. Tapi aku harap petugasnya bisa lebih hati-hati lagi, kan namanya hadiah pasti ingin diberikan dengan kondisi terbaik, dong.

Reaksi Ibu yang so sweet waktu menerima kado :’D

Bapak dan Ibu membaca notes dari kami.

Jadi aku bersyukur banget, aku dan Shane sudah tinggal bersama. Nggak perlu lagi ada masalah dalam "kado-kadoan". Lagian bukannya aku gombal, TBH ada dia di sini saja sudah jadi kado terbaik buatku. Keluargaku tumbuh, kalau dulu hanya Ibu dan Bapak, sekarang ada dia juga :) Dan apa kado yang aku kasih buat Shane? Well, sampai tulisan ini dibuat aku belum kasih apa-apa, lol. Aku belum pro nih sebagai seorang istri, jadi mau ngasih juga bingung soalnya ntar pakai duit dia juga kan, hahaha. Just kidding. Rencananya aku akan belikan dia kaset kosong untuk dipakai merekam musik-musik buatannya. Agak susah carinya di sini, nggak seperti di negaranya yang penggunaannya masih populer. Kalau ada yang punya rekomendasi seller boleh lah kontak aku :p *Lah, tulisanku jadi ke mana-mana ya.
Setelah acara buka kado yang super menghangatkan hati, kami pindah ke halaman rumah untuk main kembang api. Sebenarnya yang main aku sama Shane saja sih, para bocah cuma nonton :D Mau aku kasih pegang tapi khawatir sama percikannya, lumayan pedih juga lho. Pssst, dulu waktu aku kecil paling takut kalau disuruh pegang kembang api sendiri, di otakku sudah kaya pegang dinamit saja. Tapi syukurlah semakin besar semakin berani karena kalau nggak kan malu di depan para bocah :p Ali beberapa kali pengen coba pegang, what a brave boy, dia kayanya gak takut meski jarak pegangan ke belerangnya dekat sekali. Yang aku beli ini jenis kembang apinya pendek-pendek, cuma berapa detik sudah habis. Lebih aman, tapi lumayan nyebelin karena lebih lama usaha bakarnya daripada nyalanya, hahaha. Ada celetukan kocak dari Ali, aku kan bikin bentuk-bentuk gitu dari kembang api, waktu aku tanya dia mau bentuk apa, dia jawab, "BRI." Spontan aku dan Shane ngakak. Entah dia cuma nyebut huruf-huruf random, atau dia memang bermaksud bilang nama bank. Ini bocah memang nggak terduga :D

Ali minta aku membuat “tulisan” BRI dari kembang api xD

Aku dan Shane menikmati bermain kembang api.

Di tengah acara kembang api iparku datang buat jemput the boys. Dia juga bawa bola yang bisa nyala-nyala gitu. Sudah pasti mereka girang, tapi karena berebutan bolanya nggak berumur panjang. Suara petasan di luar pun kalah sama tangisan mereka, hahaha. Aku sih nggak lihat gimana kejadiannya, yang pasti Ali jadi ngambek sama adiknya dan dia menolak ikut pulang. Setelah itu dia kelelahan dan tertidur sambil memeluk boneka doggynya. ---Well, rupanya bukan cuma dia saja yang lelah. Nggak lama setelah Ali, aku dan Shane pun menyusul. Nggak tahu kenapa badan rasanya lelah padahal masih jauh ke tengah malam. Rencana bikin pizza dan cookies bareng pun batal karena kami langsung ke alam mimpi. Kami baru terbangun karena Eris, anjingku kaget dengan suara petasan. Waktu lihat jam ternyata sudah tahun baru! (---mau ngejokes soal "tidur setahun" tapi basi, ah, lol). Apa ada yang terasa beda? Nop. Semua masih terasa sama seperti tahun kemarin. Tapi kami saling senyum, "We've made it." Kami berhasil melewati tahun 2018 dengan pahit manisnya. Aku dan Shane berhasil melewati fase persahabatan kami dan memutuskan untuk naik ke level yang lebih tinggi. Aku dan Shane berhasil tetap "waras" meski income terbesar kami terhenti dan terus bangkit. Aku dan Shane berhasil menghandle OCD ku dan stop dengan segala macam terapi obat. Aku dan Shane keluar dari zona nyaman dan nggak ada sedikit keinginan pun untuk kembali. Dan yang terpenting aku dan Shane berhasil mengalahkan ketakutan kami sendiri yang pernah bilang kalau hubungan kami "mustahil". Lihat di mana kami sekarang! We've made it... We've made it! Kami berhasil bertahan dan melihat ke belakang membuat yakin kalau kami pasti bisa melewati tahun-tahun yang akan datang. 

Baru bikin pizza keesokan harinya. Kami suka pizza vegan pakai nanas :p

Dan ini vegan cookiesnya. Agak-agak gosong tapi keren juga kami (ternyata lumayan) bisa baking xD


Well, selamat tahun baru untuk semuanya, ---yang merayakan atau tidak, yang pro kembang api atau tidak :p 
Suka atau nggak, here we are now. Why being so negative, tahun baru bisa menjadi penanda untuk melihat apa yang sudah kita lalui dan lalukan. Tahun baru juga bisa digunakan untuk break sejenak, "puji" diri sendiri atas pencapaian sekecil apapun. Bukannya narsis, terlalu keras sama diri sendiri kadang membuat kita terus membanding-bandingkan dan lupa kalau kita juga "hebat". We are worthy. Kalau kalian merasa down, pssst lihat kalendernya sudah ganti lho. Masih ada kesempatan ;)






that sleepy girl,

Indi


----------------------------------------------------------------------
Facebook: here | Twitter: here | Instagram: here | YouTube: here | Contact: namaku_indikecil@yahoo.com